Pilihan diksi judul tulisan di atas saya kira tepat untuk menginsinyuasi tabiat dan syahwat rakus orang-orang di negeri ini.
Seorang anggota DPRD memperkenalkan diri di sebuah acara organisasi kepemudaan. Dengan bangganya, ia menceritakan pengalaman organisasi dan jabatan-jabatan penting yang pernah dan sedang didudukinya saat itu.
Melalui sebuah layar presentasi, berderet 126 jabatan organisasi dan institusi, yang mendapuk dirinya sebagai pimpinan. Tak satupun dari ratusan jabatan itu luput disebutkannya.
Dari semua jabatan itu, 45 diantaranya menempatkan dirinya sebagai ketua atau orang nomor. Dan lucunya, semua itu dijabatnya dalam waktu atau periodesasi yang sama.
Ada rasa kagum dari sebagian besar peserta. Tapi tidak sedikit pula yang nyiyir dan meragukan. Tiba-tiba wanita di belakangku bertanya.
“Bagaimana bapak membagi waktu dengan jabatan sebanyak itu?.“
Ya itulah. Potret buruk kita sedari dulu. Kemaruk dan mabuk jabatan. Bisa jadi kita yang maruk, bisa pula kita yang berkelindan pada orang-orang mabuk jabatan.
Memang, semua orang ingin punya jabatan. Makanya, Jabatan sering diperebutkan bahkan diributkan. Paling tidak ada-lah keluarga, teman dan orang yang dekat dengan kita yang memiliki jabatan.
Orang akan merasa terhormat, berkuasa dan berharga. Dengan jabatan, orang punya kesempatan mengumpulkan harta, menambah pasangan bahkan keluarga. Keluarga? Iya, banyak orang yang akan mengakui anda keluarga jika anda seorang pejabat.
Ribut-ribut soal rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro yang nyambi sebagai komisaris salah satu BUMN.
Agar tidak terus ribut, Pemerintahpun merevisi peraturan pemerintah tentang statuta UI yang membolehkan seorang rektor rangkap jabatan sebagai komisaris.
Pemerintah ingin menegaskan bahwa Ari Kuncoro boleh rangkap jabatan sebagai rektor dan komisaris. Yang dilarang itu, kalau ia menjadi rektor dan direksi. Ya, gitulah kira-kira maksudnya. Yang penting, orang-orang enggak ributlah!
Ehh, ternyata malah tambah ribut. Tiba-tiba tuduhan dan kecurigaan keluar dari kandungan.
"Bukan pelanggarannya yang ditindak, kok malah aturannya yang diubah".
"aneh!"
"Bagi-bagi jabatan tidak boleh didiskoun"
"Tidak Konsisten"
"Penguasa punya kepentingan"
"Ada agenda politik 2024"
Dan, komentar-komentar negatif lainnya.
Begitulah realitas kita di negeri ini. Kritik dan sinisme mengemuka, hanya karena kita lagi lupa atau tidak bersabar. Lupa bila kita juga sedang berharap jabatan itu. Tidak bersabar, karena kita belum mendapat kesempatan menduduki kursi itu.
Sejak orde lama dan orde baru rangkap jabatan bagi pejabat publik bukanlah persoalan, karena memang tidak ada yang mempersoalkan.
Kita tidak pernah mempermasalahkan ketika ada petinggi militer dalam waktu bersamaan menduduki banyak jabatan sipil di pemerintahan, perusahaan, organisasi kemasyarakatan bahkan di partai politik sekalipun.
Setelah era itu, apa tetap menjadi persoalan? Sudah tentu jadi persoalan, peluangnya makin beragam dan uangnya juga makin cuan, sehingga banyak orang memburunya.
Jika ada yang doyan mengonjang -ganjingnya dan secara terbuka memprotesnya. Itu bukan karena lagi protes rangkap jabatannya tapi sedang memasang perangkap kesempatannya.
Kedudukan yang diributkan, boleh jadi alasan kita merasa lebih pantas ketika jabatan-jabatan itu tidak diberikan kepada i orang lain.
Jabatan tidak hanya kegilaan bagi pemburunya, tapi juga perangkap yang mencengkram kegilaan para penikmat kuasa, syahwat dan kehormatan. Kenapa Ari Kuncoro tetap bertahan sebagai komisaris BRI sementara jabatan rektor lebih mentereng dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi? Kenapa seorang Dwia Aries Tina Pulubuhu (Rektor Universitas Hasannuddin) yang notabene dari keluarga konglomerat masih keukuh jadi komisaris di PT Vale Indonesia?
Jika mau dipreteli lebih jauh mungkin tidak hanya dua atau tiga jabatan yang terperangkap dalam kuasa mereka.
Bisa jadi ratusan jabatan baik di organisasi sosial, organisasi profesi maupun organisasi bisnis yang memasukan nama mereka. Ada jabatan yang sengaja ditawari, ada yang diminta, dan mungkin juga ada yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.
Yang dipersoalkan bukan jabatan-jabatan itu? tapi soal konflik kepentingannya. Seribu jabatanpun tak jadi soal. Asal tidak bergesek dengan yang namanya konflik kepentingan.
Dinilah letak permasalahnya. Ternyata benar, kita sesungguhnya tidak pernah mempersoalkan rangkap jabatan seseorang. Kita sebenarnya terjebak pada ketakutan yang dibuat-buat. Ya, ketakutan yang sengaja kita ciptakan sendiri, yakni jubah gelap " konflik kepentingan".
Kenapa? Karena konflik kepentingan atau conflict of interest itu hanya soal kekuatiran dan ketakutan bila tugas dan tanggungjawab seorang bercampur dengan kepentingan pribadi.
Ia dikontruksi dari halusinasi seseorang terhadap suatu yang mungkin terjadi. Framenya bukan lagi objektifitas tapi dibangun dari subjektifitas seseorang.
Konflik kepentingan itu juga sering menjadi isu basah para politisi. Tergantung, siapa yang punya hasrat mempermasalahkannya. Apa yang melatari kepentingan dan pandangan politiknya. Jabatan yang diuber sangat tergelantung oleh subjektifitas politik. Kenapa? Karena ribut-ribut konflik kepentingan itu selalu dikaitkan dengan bagi-bagi jabatan, kepentingan dan kewenangan dalam konteks dan dimensi politik yang lebih luas.
Jikapun saat ini ada individu yang mempersoalkan anggap saja mereka tidak sungguh sungguh. Karena , sebenarnya mereka hanya mempersoalkan jabatan yang tidak pernah singgah untuk mereka.
Mereka ataupun kita, saat ini sedang tidak sabar menunggu momentum perangkap jabatan itu memberikan mangsanya untuk diri sendiri, keluarga dan kelompok. Itu lah kita dan mereka, penikmat perangkap jabatan.
Tommy Manggus
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews