Negeri Para Pe-Rangkap Jabatan

Sabtu, 24 Juli 2021 | 11:22 WIB
0
265
Negeri Para Pe-Rangkap Jabatan
negeri Perangkap Jabatan

Pilihan diksi  judul tulisan di atas saya kira tepat untuk menginsinyuasi tabiat dan syahwat rakus    orang-orang  di negeri ini. 

Seorang anggota DPRD   memperkenalkan diri di sebuah acara organisasi  kepemudaan. Dengan bangganya, ia  menceritakan pengalaman organisasi dan jabatan-jabatan penting yang pernah dan sedang  didudukinya saat itu. 

Melalui sebuah layar presentasi, berderet 126   jabatan organisasi dan institusi, yang mendapuk dirinya  sebagai pimpinan. Tak satupun dari ratusan jabatan itu luput disebutkannya.

Dari semua  jabatan itu,  45 diantaranya menempatkan dirinya  sebagai  ketua atau orang nomor. Dan lucunya, semua itu dijabatnya dalam  waktu atau periodesasi yang sama. 

Ada rasa kagum dari sebagian besar peserta. Tapi tidak sedikit pula  yang nyiyir dan meragukan. Tiba-tiba  wanita di belakangku bertanya.

“Bagaimana bapak  membagi waktu dengan jabatan  sebanyak itu?.“ 

Ya itulah. Potret buruk   kita sedari dulu.  Kemaruk dan mabuk jabatan. Bisa jadi kita yang maruk, bisa pula  kita yang berkelindan pada orang-orang    mabuk jabatan. 

Memang, semua orang ingin punya jabatan. Makanya, Jabatan sering diperebutkan bahkan diributkan. Paling tidak ada-lah keluarga, teman dan orang yang dekat dengan kita yang memiliki jabatan.

Orang akan merasa terhormat, berkuasa dan berharga. Dengan jabatan, orang punya kesempatan mengumpulkan harta,  menambah pasangan bahkan  keluarga. Keluarga? Iya, banyak orang yang akan mengakui anda keluarga jika anda seorang pejabat.

Ribut-ribut   soal rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro yang nyambi  sebagai komisaris salah satu BUMN.   

Agar tidak terus  ribut, Pemerintahpun  merevisi peraturan pemerintah tentang statuta UI yang membolehkan seorang rektor rangkap jabatan sebagai komisaris.

Pemerintah ingin menegaskan bahwa  Ari Kuncoro  boleh rangkap jabatan sebagai rektor dan komisaris. Yang dilarang  itu, kalau ia menjadi rektor dan direksi. Ya, gitulah kira-kira maksudnya. Yang penting, orang-orang enggak ributlah!

Ehh,  ternyata  malah tambah ribut. Tiba-tiba   tuduhan dan kecurigaan keluar dari kandungan.

"Bukan pelanggarannya yang ditindak, kok  malah aturannya yang diubah".

"aneh!"

"Bagi-bagi jabatan tidak boleh didiskoun"

"Tidak Konsisten"

"Penguasa punya kepentingan"

"Ada agenda politik 2024"

Dan, komentar-komentar  negatif lainnya.

Begitulah realitas kita di negeri ini. Kritik dan sinisme  mengemuka,   hanya karena kita lagi  lupa atau tidak bersabar. Lupa bila kita juga  sedang berharap  jabatan itu. Tidak bersabar, karena kita   belum mendapat kesempatan menduduki kursi  itu.

Sejak orde lama dan orde baru rangkap jabatan bagi pejabat publik bukanlah persoalan, karena memang tidak ada yang mempersoalkan.

Kita tidak pernah mempermasalahkan  ketika  ada petinggi militer dalam waktu bersamaan  menduduki banyak jabatan sipil  di pemerintahan, perusahaan, organisasi kemasyarakatan bahkan di partai politik sekalipun. 

Setelah era itu, apa tetap menjadi persoalan? Sudah tentu jadi persoalan,  peluangnya makin beragam dan uangnya juga makin cuan, sehingga banyak orang memburunya.

Jika ada yang doyan mengonjang -ganjingnya dan secara terbuka memprotesnya. Itu bukan karena lagi protes rangkap jabatannya tapi sedang memasang perangkap   kesempatannya.

Kedudukan yang diributkan, boleh jadi alasan kita  merasa  lebih pantas   ketika jabatan-jabatan itu  tidak diberikan kepada i orang lain. 

Jabatan tidak hanya  kegilaan bagi pemburunya, tapi juga  perangkap yang mencengkram kegilaan para  penikmat kuasa, syahwat dan kehormatan. Kenapa  Ari Kuncoro tetap bertahan sebagai  komisaris BRI sementara jabatan rektor lebih mentereng dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi? Kenapa  seorang   Dwia Aries Tina Pulubuhu (Rektor Universitas Hasannuddin) yang notabene dari keluarga konglomerat  masih keukuh jadi komisaris di PT Vale Indonesia?

Jika mau dipreteli lebih jauh mungkin tidak hanya dua atau tiga  jabatan yang terperangkap dalam kuasa mereka. 

Bisa jadi ratusan jabatan baik di  organisasi sosial, organisasi profesi maupun  organisasi bisnis yang memasukan nama mereka. Ada jabatan yang sengaja  ditawari, ada yang diminta,  dan mungkin juga  ada  yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.

Yang dipersoalkan  bukan  jabatan-jabatan itu?  tapi soal konflik kepentingannya. Seribu jabatanpun tak jadi soal. Asal tidak bergesek dengan yang namanya konflik kepentingan. 

Dinilah letak permasalahnya.  Ternyata benar, kita sesungguhnya tidak pernah mempersoalkan rangkap jabatan seseorang. Kita sebenarnya terjebak pada ketakutan yang dibuat-buat. Ya, ketakutan yang  sengaja kita ciptakan sendiri, yakni jubah gelap " konflik kepentingan".

Kenapa? Karena konflik kepentingan atau conflict of interest itu hanya soal kekuatiran dan ketakutan  bila tugas dan tanggungjawab seorang bercampur dengan  kepentingan pribadi.

Ia dikontruksi dari  halusinasi seseorang terhadap suatu yang mungkin terjadi. Framenya   bukan lagi objektifitas tapi dibangun dari  subjektifitas seseorang. 

Konflik kepentingan itu juga sering menjadi isu basah  para politisi. Tergantung, siapa yang punya hasrat mempermasalahkannya. Apa  yang melatari  kepentingan dan pandangan politiknya.   Jabatan yang diuber sangat  tergelantung oleh subjektifitas politik. Kenapa? Karena ribut-ribut konflik kepentingan itu selalu dikaitkan dengan bagi-bagi jabatan, kepentingan dan kewenangan dalam konteks  dan dimensi politik yang lebih luas. 

Jikapun saat ini ada individu yang mempersoalkan  anggap saja mereka  tidak sungguh sungguh.  Karena , sebenarnya mereka hanya mempersoalkan  jabatan yang tidak pernah singgah untuk mereka.

Mereka ataupun kita, saat ini sedang tidak sabar  menunggu momentum  perangkap jabatan itu memberikan mangsanya  untuk diri sendiri, keluarga dan kelompok. Itu lah kita dan mereka, penikmat perangkap jabatan.

Tommy Manggus