3 Jam Bersama Panembahan Reso , Antara Singgasana Raja dan Wanita

Tak salah rasanya jika muatan moral dan pesan yang tersirat bisa menjadi ruang kaderisasi bagi para politisi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya agar lebih mawas diri.

Minggu, 26 Januari 2020 | 19:50 WIB
0
347
3 Jam Bersama Panembahan Reso , Antara Singgasana Raja dan Wanita
sumber Tempo.Co

Penuh intrik, namun terkesan heroik. Itulah inti dari apa yang menjadi langgam cerita sang Reso. Sosok ambisius yang terdukung oleh situasi dan kondisi. Tokoh utama sekaligus menjadi judul dari pementasan teater Mahakarya W.S Rendra ini sungguh sarat makna atas tabir kuasa. Kisah berlatar sebuah kerajaan tanpa permaisuri utama dan memiliki 3 selir beserta masing-masing anaknya ini sejatinya merupakan karya lama Rendra pada tahun 1986. Praktis Karya teatrikal ini telah cukup dimakan usia. Namun bukan berarti jalan ceritanya menjadi basi. Justru sebaliknya, menjadi cermin bagi pelaku lintas zaman.

Panembahan Reso era tahun 1986 konon dipentaskan selama kurang lebih 6 jam. Teater kontemporer kala itu masih didominasi oleh kekuatan dialog, monolog dan kalimat yang berdiksi khas si burung merak. Namun Panembahan Reso yang dipentaskan pada 25-26 Januari 2020 di Ciputra Artpreuner kini dipadatkan sedemikian rupa tanpa menghilangkan essensi cerita dari karya asli W. S Rendra. Hasilnya?,  3 jam Panembahan Reso "reborn", begitu memukai dengan melibatkan para pemilik talenta handal baik itu kalangan teater, koreografer, penata musik, penata rias dan busana hingga tata panggung, sound dan lighting yang teracik sedemikian apik.

Alhasil,menonton Panembahan Reso di era Milenial ini dibuat takjub tak hanya dari sisi ceritanya saja, melainkan efek kolosal hadir begitu nyata. Sinergi para pemain teater gabungan yang berasal dari Yogjakarta, Solo dan  Jakarta ini patit diacungi jempol. Hal yang tak kalah penting ada pada pemain yang memerankah tokoh inti itu sendiri. Sebut saja Whani Dharmawan (Panembahan Reso) yang aktingnya cukup mencuri hati sebagai Darsam dalan Bumi Manusia; serta pemain warok dalam Ku Cumbu Tubuh Indahku. Si cantik pemeran Nyai Ontosoroh, She Ine Febriyanti (Ratu Dara) pun total dalam bermain peran. Tak kalah menarik hadirnya pedangdut Ucie Sucita (Siti-Asasin, pembunuh bayaran berdarah dingin) yang turut mewarnai jalan cerita.

Tak hanya ketiga tokoh diatas saja, turut berpentas sederet pegiat teater antara lain :Ruth Marini,  Sruti Respati,, Maryam Supraba, Gigok Anugoro, Jamaludin Latif, dan Dimas Danang Suryonegoro dan puluhan pemeran pendukung yang luar biasa. Panembahan reso berdurasi 3 jam ini disutradarai oleh Hanindawan dengan asisten sutradara Sosiawan Leak. Pementasan ini didukung oleh banyak kalangan yang selama ini telah malang melintang  di dunia kreatif, tak terkecuali Ken Zuraida (project) yang merupakan istri dari almarhum Rendra. Bertindak sebagai produser pementasan Auri Wijaya yang selama ini berkecimpung di Genpi.co.

Tiga jam bersama Panembahan Reso yang dalam kacamata perempuan saya "reborn", dan bisa menjadi kaca benggala bagi para pemangku kuasa. Kisah tentang pergolakan tahta raja dan wanita seolah abadi adanya. Sejak zaman dahulu kala, sekarang hingga kelak di kemudian hari pun wanita dan singgasana kuasa bak dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Bukan kembar siam memang, keduanya saling berpengaruh. Tarik menarik, berlawanan, hingga kadang saling membutuhkan. Dimana ada singgasana kuasa, maka hadirnya pancaran wanita menjadi sesuatu yang luar biasa.

Adalah Reso, seorang Panji yang oleh karena Wanita, perlahan tapi pasti menaiki tangga kuasa. Gelar Arya dan kedudukan senopati yang menjadikannya  puas begitu saja. Sang Ratu pun berhasil dia gagahi kala keduanya tengah dimabuk kuasa. Hingga tega menghilangkan nyawa masing-masing pasanganya. Dengan memanfaatkan potensi pemberontakan dan konflik antar pangeran, Reso begitu mulus memainkan babak demi babak perebutan tampuk singgasana terkesan elegan. 

Sungguh prihatin nasib Pangeran Rebo yang galau saat tahta dipaksakan untuknya. Elegi cinta pun hadir dalam rangkaian cerita. Cinta karena kuasa. Hingga akhir kisah yang tragis. Penggambaran Aura mistis dari penggambaran telaga darah dan teratai yang mengambang diatasnya. Sisipan diksi syair penuh pergolakan jatidiri ala Rendra terlantun dalam monolog yang diucap panembahan Reso. Sungguh penggambaran intrik kuasa yang patut direnungkan dan tentu saja dihindarkan dalam tata kelola kekuasaan yang sesunggguhnya.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo yang tampak hadir menonton pentas Panembahan Reso, bahwa kisah ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang., meski sudah 34 tahun yang lalu .Bamsoet menyebut dirinya sudah mengenal Rendra sejak masih menjadi wartawan pemula di Harian Prioritas ( Media Indonesia Group), milik Surya Paloh.'Tahta itu ternyata bukan kursi biasa'. Orang bisa berubah  begitu menduduki tahta. Kalau tidak menjadi semakin arif, ya semakin gila, tamak bahkan sewenang-wenang," lanjutnya. 

Begitulah, kisah Panembahan Reso, saya sendiri berharap Karya  ini bisa kembali dipentaskan pada waktu yang akan datang . Tak salah rasanya jika muatan moral dan pesan yang tersirat bisa menjadi ruang kaderisasi bagi para politisi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya agar lebih mawas diri. 

Salam.

***