jika seorang mantan pimpinan KPK Busro Muqaddas menganggap bahwa pemerintahlah yang berada di balik aksi bom bunuh diri di Medan, saya tidak tahu lagi harus bersimpati kepada siapa.
Simpati kepada radikalisme dan terorisme sesungguhnya bisa diukur dari komentar siapapun yang muncul, baik melalui media massa maupun media sosial. Biasanya berupa narasi dalam bentuk pembelaan, misalnya simpati terhadap pelaku bom bunuh diri.
"Tunggu hasil penyelidikan", "Jangan asal menuduh", "Ini rekayasa untuk mengalihkan perhatian", "Pemerintah di balik peristiwa itu", "Pelaku hanya korban", dan seterusnya.
Itulah narasi yang biasanya berhamburan dari mereka yang mau tidak mau harus dikatakan bersimpati kepada teror!
Jika narasi itu berasal dari teman-teman Facebook saya, misalnya, saya anggap biasa saja. Bersimpati 'kan hak segala bangsa, termasuk simpati kepada pelaku bom bunuh diri yang tubuhnya sudah terkoyak-koyak macam tempoyak. Termasuk juga bersimpati kepada Rabbial Muslim Nasution, pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
"Coba diselidiki lebih jauh. Menurut berita dia tukang ojol beneran juga. Siapa tahu ada yang order paketan ke markas polisi dan meledakan bom lewat remote atau timer," kata seorang teman Facebook menanggapi unggahan saya berupa artikel ringan mengenai aksi bom bunuh diri di Medan itu.
"Polisi sedang menyelidiki nya, Mas," timpal saya yang kemudian ia balas lagi, "Ya, nunggu hasil penyelidikan, baru spekulasi dengan artikel macam ini."
"Masak harus nunggu polisi kerja menyelidiki, kalo hasil penyelidikannya baru kelar sebulan kemudian, baru nulis artikel ini, gitu? Itu sebabnya Allah ngasih kita akal, bukan sekadar iman," kata saya lagi.
Benar, saya memang membuat semacam tulisan ringan yang kemudian saya beri label "Sketsa Harian" untuk keperluan web personal saya PepNews.com, sebagai pengganti "berita" yang pasti sudah dimakan media arus utama.
"Sketsa Harian" itu murni opini saya beralas peristiwa faktual bahkan fenomena penting atau menarik. Saya bisa menulis lebih dari satu "Sketsa Harian" ini tergantung apakah peristiwa atau fenomena itu menarik subjektivitas saya atau tidak. Suka-suka saja.
Fakta yang muncul setidaknya melalui layar CCTV, Rabbial memasuki halaman Polrestabes Medan dengan jaket ojek online (ojol) sambil membawa sebuah ransel di punggungnya. Alasannya hendak membuat SKCK sebagai syarat pendaftaran CPNS.
Tetapi berdasarkan rekaman CCTV pula, sebelum bom diledakkan atau persisnya meledak, Rabbial menjauh dari kerumuman orang yang sedang mengurus SKCK dan meledak dekat kendaraan aparat kepolisian. Seperti pilih-pilih sasaran. Bom bukan untuk para CPNS, tetapi memang untuk aparat kepolisian.
Peristiwa itulah yang kemudian menerbitkan simpati para simpatisan teror yang disebarkan melalui group WhatsApp, seolah-olah aksi itu bukan bom bunuh diri tetapi driver gojek yang mendapat orderan barang ke Polrestabes Medan, kemudian barang yang dibawanya meledak.
"Jadi bukan driver gojek yang bunuh diri," demikian narasi kesimpulan yang mereka bangun, termasuk oleh teman Facebook saya itu, narasi yang seolah-olah meluruskan berita di berbagai media agar tidak terjebak fitnah.
Teman Facebook saya lainnya menulis, "Padahal faktanya, aksi bom dunuh diri di Polrestabes Medan memang aksi bom bunuh diri yang menyamar atau memakai jaket ojol karena pelaku ini dua tahun yang lalu pernah menjadi driver ojol."
Siapakah yang membangun narasi sampai ada yang membangun narasi bom itu diledakkan dari jarak jauh dengan menggunakan remote control?
"Yaaa... tentu orang-orang merasa tersudutkan setiap ada aksi bom bunuh diri. Minimal mereka simpatisan. Mereka simpatisan teroris, bahkan mungkin pelaku teror juga, hanya saja belum 'aktif bekerja' saja," sambungnya.
Kecerdasan pelaku teror alias teroris itu di atas rata-rata, tetapi khusus kecerdasan dalam melancarkan aksi teror yang tidak terpikirkan orang biasa. Dalam aksinya, bisa saja ia menyamar sebagai tukang ojek online, sebagaimana yang dilakukan Rabbial kalau itu benar. Atau menyamar sebagai apa saja.
Maka meski berbeda jarak, tempat dan waktu, menjadi menarik peristiwa polisi di Bogor yang menendang ojek online saat memasuki area steril Paspampres karena akan dilewati kepala negara. Video itu viral dan caci-maki tertuju kepada polisi yang kemudian dimutasi. Sebaliknya simpati milik ojol.
Padahal kalau dihubungkan dengan bom bunuh diri di Polrestabes Medan, bisa saja motifnya sama. Ojol pengantar barang menjadi modus operandi. Sekarang boleh saja menilai, jangan-jangan polisi si penendang ojol itu yang benar, yang telah menjalankan prosedur yang benar berdasarkan kehati-hatian.
Memang simpati itu adalah hak segala bangsa, tetapi simpati kepada pelaku teror belum tentu dilindungi konstitusi.
Namun jika seorang mantan pimpinan KPK bernama Busro Muqaddas menganggap bahwa pemerintahlah yang berada di balik aksi bom bunuh diri di Medan, saya tidak tahu lagi harus bersimpati kepada siapa.
Baiklaih, saya bersimpati kepada mantan terindah saja.
Meski cuma sekadar narasi.
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [24] Aturan Ganjil Genap
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews