Kala Hendro Tolak Wiranto

Secara garis besar dia menjelaskan soal kebijakan Wiranto dan alasan dirinya menolak. Tapi soal isu ini tak masuk materi wawancara.

Rabu, 6 Januari 2021 | 18:55 WIB
0
302
Kala Hendro Tolak Wiranto
Hendropriyono dan saya (Foto: Dok. pribadi)

Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto pernah membuat kebijakan agar para perwira tinggi yang menempati jabatan sipil melepas jabatan di ketentaraan. Kebijakan ini tentu menuai kontroversi. Salah satu yang menolak adalah AM Hendropriyono yang kala itu menjadi Menteri Transmigrasi. Dia berdalih, menempati posisi jabatan sipil adalah permintaan Presiden BJ Habibie.

Hendro memang lebih senior dari Wiranto. Saat menjadi Pangdam Jaya, Kepala Staf Kodam adalah Brigjen Wiranto yang sebelumnya menjadi ajudan Presiden Soeharto.

“Cita-cita saya sejak kecil pan jadi tentara. Saya siap mundur dari kabinet,” begitu kurang lebih Pak Edo (Hendropriyono) bersikap.

Tabloid tempat saya bekerja kala itu akan mengangkat isu tersebut sebagai cover story. Saya bersama rekan Hanif Suranto (kini dosen di UMN) kebagian tugas memburu sang Menteri.

“Jangan ke kantor kalo belum dapet,” begitu catatan di kertas TOR.

Selepas Jumatan kami tiba di kantor Departemen Transmigrasi di Kalibata. Tak lama berselang datang rekan dari Tempo, mas Dwi Wiyana. Juga dari Gatra. Mereka mendapat tugas yang sama. Belakangan kami jadi teman sekantor dengan mas DW.

Staf humas dan protokoler mengabari kalau Pak Edo tak ada di kantor. Kami tak percaya, karena sebelumnya sudah mengecek ke lokasi parkir, mobil dinas terparkir di sana.
Hingga Ashar, Magrib, Isya Pak Edo taka da tanda-tanda mau menerima kami.

Seorang stafnya berkali-kali membujuk agar kami sebaiknya pulang, karena Pak Edo tak akan mau bicara soal itu. Dia malah sempat membujuk akan mentraktir makan malam di sebuah restoran di Kalibata. Kami bergeming.

Mendekati pukul 22, si staf kembali mendekati kami yang menanti di koridor dekat ruang kerja Menteri. “Mas, Mas. Bapak sudah bilang gak akan bicara di sini. Kalau mau, besok pagi Bapak main Golf di deket Merapi. Cegat di sana saja ya,” kata si staf berpangkat Mayor.

Benar saja. Ketika kami tengah menyimak penjelasannya, kami mendengar suara beberapa mobil lalu melesat meninggalkan halaman gedung. Si staf tersenyum. “Iya, itu Bapak.” Kami tentu masygul. Sebel banget.

Senin (4/1/2021) kemarin, kami dari Grup Transmedia menemui Pak Hendropriyono di kediamannya. Kami diantar Pak Ishadi SK, Komisaris Utama Transmedia. Selama lebih dari satu jam mantan Kepala BIN itu memaparkan potensi ancaman, gangguan, dan hambatan yang akan muncul sepanjang 2021. Di ujung paparan, hidangan Laksa Singapura yang dipesan dari restoran di Senayan City kami santap dengan lahap.

Beruntung, setelah paparan Pak Hendropriyono masih berkenan kami wawancara untuk program Blak-blakan. Sebelum wawancara, saya sempat menyinggung kembali kejadian pada 1998/1999 lalu itu. Dia cuma tersenyum.

Secara garis besar dia menjelaskan soal kebijakan Wiranto dan alasan dirinya menolak. Tapi soal isu ini tak masuk materi wawancara.

Pak Hendro berjanji akan memberikan waktu lagi jelang dia ulang tahun, 7 Mei mendatang. “Cerita nostalgia entar aja kamu ke sini lagi.” Pak Ishadi yang tetap menemani selama wawancara pun manggut-manggut. Semoga, insya Allah…

Sementara, teman-teman dapat menyimak Blak-blakan dengan Pak Hendro soal analisisnya di taun 2021 ini.

***