Tiga Hambatan Besar Anies Baswedan di 2024

Selain banjir, Jakarta sebagai kota besar juga harus menghadapi bahaya besar pandemi COVID 19. Seluruh energi akan terkuras habis untuk menanggulangi dampak virus tersebut.

Kamis, 19 Maret 2020 | 07:34 WIB
0
700
Tiga Hambatan Besar Anies Baswedan di 2024
Anies Baswedan (Foto: Detik.com)

Menuju Pilpres 2024 nanti, setidaknya Anies Baswedan memiliki momen yang sama sebagaimana didapat Jokowi di 2014. Namun demikian, dia juga akan mengalami hambatan yang sama sebagaimana dihadapi Gatot Nurmantyo di Pilpres 2019.

Menjanjikan ketenaran. Itulah satu keuntungan yang didapat oleh Gubernur DKI. Hal yang sulit didapatkan oleh gubernur-gubernur lain di Indonesia, apalagi bila punya angan-angan meraih impian jadi RI 1. Pendek kata, jabatan Gubernur DKI tak ubahnya RI 3.

Sebagaimana kita ketahui, ketenaran atau elektabilitas sangat penting di era Pemilu langsung. Itu terbukti di Pilpres 2014 di mana Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI mampu bersaing dengan Prabowo, kandidat Presiden paling kuat saat itu.

Namun demikian, posisi Anies sekarang sama seperti Gatot Nurmantyo, yakni, sama-sama tidak memiliki basis partai pendukung dan hanya mengandalkan dukungan dari ‘Koalisi Keumatan’.

Anies Baswedan tetap punya peluang besar. Setidaknya bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain untuk dilawankan dengan Prabowo. Survei Indo Barometer bulan Pebruari 2020 lalu menunjukkan elektabilitas Anies mampu mengungguli nama-nama lain yang masuk deretan bursa Capres seperti: Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Mahfud MD.

Di survei tersebut Anies mampu meraih angka 14.3%. Dia berada di urutan kedua setelah Prabowo Subianto yang meraih angka 22,5%.  Sementara itu kandidat lainnya hanya memperoleh angka di bawah 10%.

Dengan menimbang antara peluang dan tantangan, setidaknya ada 3 hambatan besar yang akan menghadang Anies menuju perhelatan Pilpres 2024.

1. Anies tidak memiliki partai pendukung.

Walaupun Anies menempati posisi yang sama dengan Jokowi saat Pilpres 2014, namun Anies seorang nonpartai. Dia maju di Pilgub DKI atas dukungan Partai Gerindra dan PKS. Sementara itu, Gerindra sendiri pasti akan mencalonkan Prabowo sebagai Capres 2024. Sedangkan PKS di Pemilu lalu hanya meraih suara 8,21%, masih butuh tambahan suara 11.79% untuk mencapai syarat minimal 20%.

Situasi yang dihadapi Anies sekarang berbeda dengan Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI. Jokowi adalah kader partai besar, PDIP. Selain itu, Jokowi mendapat dukungan penuh dari Partai Nasdem yang sangat gencar membesarkan namanya melalui acara “Gebrakan Jokowi” yang tayang setiap hari di Metro TV.

Pada kenyataannya, Jokowi memang benar-benar menggebrak hingga elektabilitasnya mampu melampaui angka yang diraih Prabowo menjelang Pilpres 2014. Dukungan Nasdem yang diberikan ke Anies masih setengah hati, tidak sebesar dukungan yang diberikan pada Jokowi kala itu.

2. Anies tidak punya cukup uang.

Yang selalu menjadi sorotan dalam penyelenggaraan Pemilu Langsung adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang calon. Menjelang Pilpres 2019, dalam sebuah acara, Prabowo pernah mengatakan butuh 300 milyar bagi kandidat calon Gubernur.

Untuk  seorang calon presiden tentu lebih besar lagi biaya yang harus dia siapkan. Sementara itu, total kekayaan Anies Baswedan di tahun 2019 hanya Rp 7.307.042.605 dan USD 8.893. Tidak mudah mendapatkan dukungan suara 20% dengan hanya mengandalkan modal di bawah 10 milyar.

3. Jabatan Anies sebagai Gubernur DKI berakhir 2022.

Sebagaimana telah disinggung di atas, Anies Baswedan selalin memiliki momen yang sama dengan Jokowi, dia juga memiliki hambatan sebagaimana dialami Gatot Nurmantyo. Anies diangkat jadi Gubernur DKI tahun 2017. Itu artinya masa baktinya akan berakhir di tahun 2022, dua tahun menjelang Pemilu 2024.

Selepas berakhir masa jabatannya sebagai Gubernur DKI, dia akan digantikan oleh seorang PLT hingga Pilkada 2024. Sama seperti Gatot Nurmantyo yang memasuki masa pensiun dan harus melepaskan jabatan  Panglima TNI satu tahun sebelum Pilpres.

Baca Juga: Bagi Anies, Banyak Panggung Menuju Istana

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI, sulit bagi Anies untuk mendapatkan panggung untuk mendongkrak elektabilitasnya. Walaupun dia berada di peringkat dua, selisih angka dengan raihan angka Prabowo masih cukup jauh. Apalagi Prabowo adalah seorang ketua partai besar dan berstatus menteri aktif di kabinet sekarang. Dia hampir tidak mungkin bisa bersaing dengan Prabowo yang sejauh ini adalah calon terkuat di Pilpres 2024.

Itulah 3 hambatan besar yang akan menghambat Anies meraih ambisinya sebagai RI 1. Sebenarnya masih ada beberapa hambatan lain yang juga tidak kalah hebatnya, hambatan-hambatan alam yang tidak terprediksi sebelumnya, yakni, curah hujan yang cukup tinggi di Pulau Jawa sehingga menyebabkan banjir di hampir seluruh wilayah DKI. Tidak bisa dipungkiri, banjir yang semakin meluas dan berlangsung lama telah menurunkan elektabilitasnya sebagai kandidat Capres.

Selain banjir, Jakarta sebagai kota besar juga harus menghadapi bahaya besar pandemi COVID 19. Seluruh energi akan terkuras habis untuk menanggulangi dampak virus tersebut sehingga mengacaukan seluruh program kerja yang sudah disusun selama masa baktinya yang akan berakhir 2 tahun lagi.

***