Penyakit Warisan Pemilihan Presiden Langsung

Kalau kaum intlektualnya sendiri sudah terpapar pengaruh negatif, bagaimana dengan masyarakatnya. Pengaruh radikalisme sudah menjadi ancaman hebat bagi bangsa ini.

Rabu, 16 Oktober 2019 | 05:50 WIB
0
384
Penyakit Warisan Pemilihan Presiden Langsung
Foto: Kompasiana.com

Masyarakat yang terpolarisasi akibat dua  pelaksanaan Pilpres yang terakhir, mereduksi nilai-nilai kebenaran. Fakta kebenaran ditanggapi dengan berbagai sinisme dan kebencian.

Padahal pada Pilpres 2004 dan 2009, tidak ada kegaduhan politik seperti Pilpres 2014 dan 2019. Dimana masyarakat terbelah menjadi dua, selama dua periode pemilihan, dan perseteruan antara kedua kubu pendukung seakan-akan tidak pernah selesai.

Masifnya penyebaran berita bohong dan fitnah di sosial media, selama pelaksanaan Pilpres, menguatnya stigma negatif terhadap pemerintah berkuasa. Ini memang sebuah skenario yang diciptakan oleh kelompok yang menginginkan perpecahan.

Tanpa kita sadari, masyarakat yang tadinya guyub dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, sudah terbelah menjadi dua bagian.

Nilai-nilai luhur yang dimiliki dan dibanggakan bangsa ini sebagai ciri sebuah bangsa yang beradab, mulai terkikis. Sikap permisif dan pragmatis menjadi sesuatu yang sangat dipuja.

Sebagian begitu rela menanggalkan budaya sendiri demi mengadobsi budaya luar dengan keterbatasan pengetahuan. Hanya terbawa arus yang begitu mengahanyutkan, karena berbalut agama.

Harus ada kerelaan dari kalangan elit politik untuk "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah". Menanggalkan ego politik demi kepentingan Bangsa, demi mempersatukan bangsa yang sudah terbelah.

Bangsa ini sudah kehilangan Identitas, kehilangan kebanggaan terhadap kekayaan budayanya sendiri. Budaya yang begitu agung, yang mampu mengedepankan adab diatas Ilmu.

Politik hanyalah sarana untuk mencapai sebuah kekuasaan, dan kekuasaan adalah suatu kekuatan untuk memperbaiki keadaan, bukan malah menghancurkan keadaan.

Tidak ada artinya sebuah kekuasaan diatas puing-puing kehancuran bangsa dan peradaban. Bangsa yang rapuh secara mental akan dengan mudah untuk ditindas.

Adanya kekuasaan untuk memperkuat persatuan, bukan menciptakan kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan akan kuat kalau rakyatnya kuat dan sejahtera.

Kesadaran politik atas kepentingan bangsa, yang menempatkan kepentingan Bangsa diatas kepentingan politik, patut diapresiasi. Asal memang tidak sebatas retorika.

Kasus penusukan terhadap Wiranto, haruslah menjadi pelajaran, bahwa sebuah fakta tidak bisa dipercayai begitu saja. Ini dikarenakan endapan kebencian dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi akibat Pilpres.

Pro dan kontra yang tidak sehat, yang tidak lagi menjunjung tinggi kebenaran, sehingga sikap sinis dan apriori lebih mengemuka didalam masyarakat. Ini adalah bibit perpecahan yang sangat berbahaya.

Apa yang dapat kita banggakan dengan kondisi masyarakat yang seperti itu. Ini sebuah kenyataan yang mengerikan, yang memberikan gambaran seperti apa bangsa ini kedepan.

Keberadaan elit politik dan kaum intlektual adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memberikan pendidikan politik yang baik, politik yang mengedepankan adab dan etika.

Kalau kaum intlektualnya sendiri sudah terpapar pengaruh negatif, bagaimana dengan masyarakatnya. Pengaruh radikalisme sudah menjadi ancaman hebat bagi bangsa ini.

Mulai dari pendidikan terendah, sampai pendidikan tertinggi sudah terpapar pengaruh radikalisme. Ini bahaya laten yang harus diperangi secara serius, sama seperti bahaya laten PKI.

Bayangkan pengaruh tersebut juga sudah menjangkiti berbagai institusi, termasuklah Institusi TNI sebagai Pilar pertahanan NKRI. Bukankah ini sebuah ancaman besar yang sedang dihadapi.?

Pengaruh ini semakin menjangkiti masyarakat, ketika ada peluang masyarakat terpecah karena pilihan. Pilkada dan Pilpres menjadi pintu masuk kelompok ini untuk meracuni masyarakat dengan berbagai agitasi. 

***