Jangan sok, merasa bersih, hanya karena kamu pegawai KPK. Lalu merasa semua yang kamu lakukan mewakili kepentingan publik.
Wadah Pegawai KPK kini lebih sibuk main politik ketimbang mengurusi pekerjaannya. Dulu ketika isu Cicak vs Buaya, garda depannya adalah gerakan masyarakat sipil. Publik yang mencintai KPK tidak ingin lembaga ini diganggu. Apalagi oleh kekuatan luar yang mau merusaknya.
KPK adalah harapan publik. Harapan untuk pemberantasan korupsi. Kekuasaan yang diberikan begitu besar. Sampai orang lupa, bahkan terkadang KPK juga kebablasan.
Berapa banyak orang yang ditersangkakan KPK, tetapi bertahun-tahun kasusnya gak diproses. Bayangkan ada orang distempel tersangka, tetapi dibiarkan begitu saja. Kasus RJ Lino adalah salah satunya. Sekitar 5 tahun lalu dijadikan tersangka oleh KPK, tetapi sampai kini tidak ada kejelasan.
Bayangkan. Ada rakyat Indonesia yang status hukumnya dibuat terkatung-katung. Apalagi biasanya ketika menjadi tersangka KPK, sekuruh rekening bank di blokir. Terjadi kematian perdata. Sementara tidak ada geliat penyelesaian juga.
Kabarnya tidak sedikit orang bernasib seperti RJ Lino. Dibunuh secara perdata oleh KPK. Tapi kasusnya mandeg. Entah apa alasannya. Di KPK tumpukan kasus menggunung. Berpotensi melanggar HAM. Ini diakui sendiri oleh Komisioner KPK, Alexander Marwata.
Sebetulnya kasus-kasus ini adalah PR besar bagi KPK. Kalau memang alat bukti belum siap naik ke pengadilan, ngapain sok-sokan menetapkan orang jadi tersangka. Kalau sudah berani menetapkan orang jadi tersangka, mestinya cepat ajukan ke pengadilan. Agar hidup orang tidak dibuat rusak dengan status hukum gak jelas. Apalagi di KPK tidak ada mekanisme penghentian perkara atau SP3.
Janganlah, mentang-mentang diberi kuasa, KPK semena-mena terhadap hidup orang lain. Lebih baik menunda menetapkan orang sebagai tersangka jika belum siap maju ke pengadilan. Jangan gunakan wewenang yang berlebihan justru dengan tujuan merusak hidup orang lain.
Tumpukan kasus itu sebetulnya adalah PR besar KPK. PR besar pegawai KPK yang digaji dari duit rakyat. Jika gara-gara nafsu memenjarakan orang KPK bertindak serampangan, Lama-lama orang muak.
Kini justru WP KPK malah sibuk main politik. Wadah Pegawai yang mestinya hanya menjadi partner pimpinan KPK kini malah jadi ajang tim sukses Capim KPK. Yang memuakkan, mereka sok bawa-bawa isu Cicak vs Buaya lagi. Seolah kepentingan politik mereka mau ditumpangi ke pundak masyarakat sipil.
Aneh kan. Pegawai KPK kini malah sibuk cawe-cawe urusan pemilihan Capim KPK ketimbang menjalankan tugasnya sendiri menyelesaikan kasus-kasus. Mereka gak peduli dengan status hukum orang yang sudah dijadikan tersangka. Mereka lebih peduli pada hinggar bingar pemilihan komisioner yang akan menjadi atasannya.
Ada prajurit, yang berkumpul dalam satu wadah, lalu sibuk bermanuver untuk memilih siapa yang pantas jadi jenderal. Berusaha menyingkirkan calon jenderal lain dan memenangkan kandidat lainnya. Itu sungguh menggelikan.
Karyawan KPK dibayar oleh rakyat untuk memberantas korupsi. Menyelesaikan kasus-kasus yang tertunggak. Rakyat tidak membayar mereka menjadi tim sukses Capim. Rakyat tidak menggaji mereka untuk memenangkan seseorang dalam pemilihan komisionernya. Biarkan itu urusan Tim Seleksi, Presiden dan DPR.
Kalaupun ada masukan dari publik, biarkan publik yang bersuara. Bukan malah WP KPK yang jadi motornya. Sepertinya WP KPK menganggap semua rakyat bloon, bisa ditunggangi dengan kepentingannya. Rakyat dianggap seperti kerbau yang dicucuk hidungnya ikut saja irama genderang yang ditabuh WP KPK.
Sudahlah. Urusanmu hanya kerja. Kerja. Kerja. Itulah cara agar kamu gak korupsi waktu. Agar duit gajimu jadi halal. Kamu dibayar bukan untuk main politik. Kamu dibayar untuk menuntaskan kasus-kasus yang masih menggunung.
Jangan sok, merasa bersih, hanya karena kamu pegawai KPK. Lalu merasa semua yang kamu lakukan mewakili kepentingan publik. Apalagi sok, mengadu-adu publik dengan menaikkan lagi isu Cicak vs Buaya.
Jika begitu sikapmu, maka kalian menganggap kami ini goblok semua, sebagai orang yang gampang dimanipulasi hanya dengan isu yang kalian lemparkan. Justru karena kami perhatian dengan KPK, kami tahu daleman kalian. Kami memonitor kerja kalian.
Kalian bukan orang suci dan jangan pernah merasa jadi orang suci. Kami menggaji kalian untuk kerja. Memberantas korupsi. Menyelesaikan kasus-kasus yang menggantung. Bukan untuk main politik. Bukan untuk mengambangkan sentimen like or dislike. Bukan untuk mewakili identitas keagamaan.
Menggunakan waktu kerja untuk bermanuver politik, itu adalah korupsi. Anda tidak dibayar untuk itu. Memanfaatkan fasilitas negara untuk mengedepankan identitas keagamaan tertentu, itu juga korupsi. Fasilitas negara bukan fasilitas keagamaan. Duitnya berasal dari pajak rakyat dari berbagai agama.Kembalilah bekerja. Kembalikan identitas KPK sebagai bagian dari wajah negara. Bukan mewakili keyakinan agama tertentu.
Kalian cuma karyawan biasa. Yang digaji dari duit rakyat. Kalian harus bertanggungjawab kepada rakyat. Wadah Pegawai sesuai fungsinya, cuma partner pimpinan KPK dalam soal-soal kepegawaian. Bukan organisasi politik. Bukan juga ormas. Gak usah sok mengkorupsi makna organisasi kalian seolah lebih hebat dari gerakan sipil anti korupsi.
Kembalilah bekerja. Jangan habiskan waktumu untuk bermanuver. Sebab saat kamu masih makan gaji dari rakyat, tetapi sibuk bermanuver untuk kepentinganmu sendiri, kamu sesungguhnya sudah mencontohkan bagaimana caranya menjadi koruptor. Makan gajinya. Abaikan kerjanya.
Mungkin Anda semua tahu, kenapa PNS dilarang berpolitik. Mengapa mereka dihukum kalau ikut secara terbuka mendukung Capres tertentu. Dan mengganjal Capres lainnya. Karena kita gak mau PNS mengorupsi waktunya bekerja untuk kepentingan politiknya!
"Mas, di KPK ada wadah pegawai penggemar Drama Korea gak sih?" tanya Abu Kumkum.
"Kalau ada aku mau menggelar nonton bareng Drama Korea di gedung KPK," katanya lagi.
Mbuhhh!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews