Kampanye Trumbowo, Strategi Membangun Ketakutan

Kamis, 18 Oktober 2018 | 06:42 WIB
0
515
Kampanye Trumbowo, Strategi Membangun Ketakutan

"Umurmu berapa Kum?" aku iseng bertanya pada Abu Kumkum.

"Gak tahu, mas."

"Lho, kok gak tahu?"

"Ya, namannya umur mana ada yang tahu mas. Itu rahasia Allah," jawabnya santai.

Memang capek ngobrol sama bakul minyak telon oplosan ini.

Tapi benar juga sih, umur, jodoh, rezeki itu ada di tangan Tuhan. Manusia bisa menjaga kesehatan dan keselamatan, kalau sudah sampai umurnya, gak ada yang bisa halangi. Prabowo bisa saja ngotot mau jadi Presiden, kalau garis tangannya gak kesana, ya akan gagal terus.

Meskipun -saking ngototnya- dia meniru Donald Trump dalam cara komunikasinya. Di hadapan peserta Munas LDII, beberapa waktu lalu Prabowo mendengungkan slogan 'Make Indonesia Great Again', meniru Trump yang mengucapkan 'Make America Great Again', dalam kampanyenya melawan Hilary Clinton.

Trump membangun slogan itu dengan terlebih dahulu menyebarkan ketakutan di kalangan warga AS.

Pertama mereka ditakutkan dengan Islam. Dalam kampanye Trump Islam dipandang sebagai energi perusak yang membahayakan. Orang-orang Islam dianggap sebagai biang teroris yang barbar dan biadab. Oleh sebab itu, Trump menutup pintu terhadap semua imigran muslim karena dianggap akan menyebarkan terorisme di AS.

Padahal Trump bersahabat baik dengan Raja Saudi atau emir-emir yang menguasai Timur Tengah.

Bukan hanya kepada Islam. Trump juga membangun ketakutan pada imigran kulit berwarna. Imigran asal Meksiko dan Amerika Latin menjadi sasarannya.

Pada soal ekonomi, Trump membangun ketakutan pada China. Memang secara ekonomi China mulai menguasai dunia. Produknya masuk ke AS dengan murah. Trump melancarkan serangan dengan mengatakan Amerika telah dikuasai China dan jika dibiarkan negerinya akan tergadai.

Sayangnya bagi tim kampanye Hilary, ketakutan yang disebar Trump itu dianggap menggelikan dan recehan. Bagaimana mungkin seorang Capres menggebyah uyah pemahaman soal Islam. Teroris merupakan sempalan dari tafsir keagamaan ala Wahabi, bukan mewakili Islam secara keseluruhan. Lagipula AS masih mesra bersahabat dengan negara berpenduduk muslim.

Tapi penduduk AS yang memang paranoid termakan omongan Trump. Kebencian mereka pada Islam, ketidaksukaan pada imigran dan ketakutan pada dominasi China dijadikan senjata ampuh untuk menggaet suara. Dari penyebaran ketakutan itulah Trump memenangkan Pilpres di AS.

Sepertinya pola yang sama juga ingin dicontek Prabowo di Indonesia. Sebelum dia secara terang-terangan menjoplak slogan Trump, Prabowo dan timnya sudah lebih dahulu menyebarkan ketakutan kepada rakyat kita. Sama persis dengan apa yang dilakukan tim kampanye Trump di AS.

Lihatlah. Bagaimana mereka menyebar ketakutan terhadap PKI. Setiap tahun isu PKI digoreng sampai hangus, padahal barangnya sudah mati sejak lama. Mereka juga menyebar ketakutan pada LGBT lalu menyalahkan pemerintah. Padahal tidak ada satu kebijakan pun dari pemerintah yang permisif pada perilaku seks menyimpang ini.

Sama seperti Trump, mereka juga membangun ketakutan pada penguasaan asing dan China, dengan istilah aseng dan asing. Padahal di jaman Jokowi Freeport berhasil dikuasai Indonesia. Blok minyak Rokan dan Mahakam kembali ke Pertamina. Masih banyak lagi cerita pemerintah mengambil alih eksplorasi sumber daya alam dari tangan asing.

Jika Trump berhasil membangun ketakutan pada rakyat AS, tim Prabowo justru malah membangun ketakutan dengan cara melucu. Mereka menakut-nakuti rakyat terhadap dampak pembangunan jalan tol. "Buat apa dibangun jalan tol. Yang bisa menikmati hanya mereka yang punya mobil. Motor gak bisa lewat," ujar mereka.

"Iya, buat apa juga dibangun Bandara. Perahu gak bisa lewat sana," jawab rakyat serentak.

Trump mempelopori slogan itu dilatarbelakangi semangat rasialisme. Dia mendorong supremasi kulit putih seperti yang terjadi di jaman Klux Klux Klan. Waktu itu warga kulit putih AS menguasai budak kulit hitam dan kulit berwarna. Bahkan sebelum masa itu, kehadiran pendatang kulit putih di benua Amerika menyebabkan penderitaan pada suku Indian, sebagai suku asli benua Amerika.

Setelah berhasil merampas tanah-tanah orang kulit merah, penduduk kulit putih menguasai pertanian dan menjadi tuan tanah disana. Mereka mengimpor budak dari Afrika. Budak-budak kulit hitam hidup bagaikan setengah manusia, setengah hewan.

Kalau Anda disuguhkan film koboi, yang menceritakan bahwa suku Indian adalah penjahat, itu adalah cara bangsa kulit putih memutarbalikkan sejarah. Padahal merekalah yang merampas tanah-tanah warga Indian. Merekalah yang mengusir penduduk asli dari ladang perburuannya. Kisah-kisah dalam cerita Old Shatterhand karangan Karl May menggambarkan dengan jelas konflik peradaban itu.

Lalu Amerika berubah. Perbudakan dihapuskan. Mereka menerapkan kehidupan sosial yang terbuka. Orang kulit hitam dan kulit berwarna masuk berimigrasi mengejar sebuah impian di negeri terbuka itu.

Kehidupan ekonomi mulai terbagi. Warga kulit putih bukan lagi satu-satunya pemilik sumberdaya ekonomi. Masuknya imigran yang bersedia bekerja apa saja dengan bayaran murah menggeser para pekerja kulit putih.

Uniknya, terhadap Islam, justru malah kebalik. Kelompok ini malah mendeskriditkan sikap Islam yang ramah dan toleran. NU diserang. Islam Nusantara sebagai ciri keagamaan masyarakat lokal dikafir-kafirkan.

Malah mereka yang sering menampilkan wajah Islam yang beringas. Yang mentang-mentang dan mau menang sendiri. Kelompok-kelompok pendukung Prabowo, justru banyak diisi oleh tokoh-tokoh yang berwatak puritan dalam beragama.

Strategi membangun ketakutan ini tampaknya mau digoreng dengan kasus Ratna Sarumpaet. Bermodal hoax, mereka ingin menuding pemerintahan Jokowi suka menganiaya nenek-nenek. Eh, gak tahunya, yang hendak mereka jadikan simbol cuma nenek-nenek genit yang sibuk mengurus wajahnya. Kasus ini seperti menempeleng bagian belakang kepala Prabowo.

Dalam bahasa yang lebih akrab, Pranowo 'dikelepak' Ratna Sarumpaet. Atau ditoyor.

Tapi, seperti kata Abu Kumkum. Umur, jodoh dan nasib gak ada yang tahu. Kini usia Prabowo memasuki 67 tahun. Dia telah berkali-kali gagal maju sebagai Capres. Makanya Pilpres kali ini dia begitu ngotot mengalahkan Jokowi, sampai rela menjiplak strategi kampanye Trump mentah-mentah.

Ketika ekonomi kita dipuji dunia bahkan dijadikan salah satu contoh keberhasilan dalam suasana perang dagang yang tidak menentu, Prabowo malah teriak ekonomi kita hancur. Padahal dia sendiri dan Sandiaga Uno bertambah kekayaannya. Kalau ekonomi hancur, bagaimana bisa mereka semakin kaya.

Sandiaga juga sama. Dia ikut-ikutan menyebar ketakutan denga informasi hoax. Yang tempe setipis kartu ATM-lah. Atau harga makan di Indonesia lebih mahal dari Singapura. Jelas saja omongan Sandi ditujukan buat orang yang gak pernah dolanan ke Sinagapura. Jadinya gampang ditipu.

Jikapun ekonomi kita stabil, inflasi di bawah 3%, harga-harga stabil. Gak mungkin mereka mau mengakui hasil tersebut. Sebab strategi mereka memang cuma menyebarkan ketakutan.

Yang mereka lupa, warga Indonesia ini gak mudah ditakut-takuti. Wong, film horor selalu menempati jumlah penonton paling banyak. Atau ketika terjadi teroris malah jadi bahan tontotan. Jadi, ketakutan yang disebar Prabowo selain gak masuk akal juga hanya layak jadi bahan tontotan.

"Kum, kenapa ya, mereka gak mau mengakui keberhasilan Pak Jokowi," tanyaku.

"Gak mungkin, mas. Itu sama saja mereka punya mantan yang mau nikah sama orang lain. Eh, dia yang disuruh menyebarkan surat undanganya.  

Sakiiitttt..."

***