Tentang Mitos Karomah dari Rumah yang Terbuat dari Kayu Jati

benarkah, tuah atau pulung atau karomah KH Kasan Besari akan berpindah menclok ke ubun-ubun Anies Baswedan dalam upaya cita-cita besar "pencapresan" dirinya di tahun 2024 mendatang?

Minggu, 9 Mei 2021 | 06:17 WIB
0
653
Tentang Mitos Karomah dari Rumah yang Terbuat dari Kayu Jati
Anies Baswedan dan rumah joglo (Foto: Grid.id)

Beberapa hari yang lalu, sahabat saya Ade Armando mengunggah cerita di chanel youtube-nya. Ia bercerita tentang Anies Baswedan yang membeli joglo warisan dari KH Besari di Ponorogo. Rumah ini diperoleh dari informasi yang diberikan oleh anak buahnya yang ditugasi mencarikan joglo yang akan didirikan di rumah barunya di daerah Jakarta Selatan. Di atas tanah yang cukup luas, lebih dari 1000 m2.

Singkat kata, cerita ini didramatisasi seolah dia adalah orang yang dipercaya untuk "memiliki" joglo warisan Ki Ageng Kasan Besari yang telah berusia 300 tahun tesebut.

Siapa Ki Ageng Kasan Besari itu? Orang Jawa menyebut Hasan itu Kasan, sedangkan Husein itu Kusen. Konsonan Huruf "H" berubah menjadi "K", sebagaimana juga vokal huruf "A" menjadi "Nga". Jadi jika ada nama Kambali, Kumam, Kasim, Kadi dipastikan dia adalah golongan Islam-abangan.

Ki Ageng Kasan Besari adalah pendiri Pondok Pesantren Tegalsari, Jetis Ponorogo pada awal abad 18 M. Ia dianggap seorang Mahaguru dari Para Maharaja yang disebut Gus Dur sebagai berhasil mengkombinasikan antara Islam dan Nasionalisme.

Dari tangan beliau lahirlah sosok Pakubuwono II (Sultan Kartasura), Raden Ngabehi Ronggowarsito (Begawan Kasultanan Kartasura) dan H.O.S Cokroaminoto (Tokoh Pergerakan Nasional yang dianggap Raja Jawa Tanpa Mahkota). Kelak dari ketiga tokoh itulah yang menginspirasi Presiden Pertama Republik Indonesia: Ir. Soekarno dalam memperjuangkan dan membangun NKRI.

Ia juga dianggap punya pengaruh besar pada para pendiri organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia, yakni KH. Hasyim Asy’ari (NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah). Ia dipercaya sebagai tokoh yang memiliki konsentrasi ilmu tasawwuf, yang menyikapi dunia dengan laku zuhud. Dari cara mendidik dengan penuh rasa iklas dan kepedulian yang tinggi inilah, memungkinkan tokoh seperti Ranggawarsita dengan menciptakan Serat Kalatida berupa dua belas bait sinom atau biasa dikenal dengan kidung Zaman Edan.

Dari sinilah, kemudian berita tersebut "digoreng" sedemikian rupa sehingga seolah Anies Baswedan mendapat hidayah baru (hidayah kok baru yah?), atau minimal karomah. Atau bila dalam konteks ke-Jawa-an berhasil ngalap berkah dari kezuhudan Ki Ageng Kasan Besari.

Saya melihat, apa pun itu di sinilah Anies Baswedan cerdas. Sekali rengkuh, dua tiga pulau terlampaui. Ia dapat joglo yang bagus, juga dapat tambahan berbagai macam citra. Citra peduli budaya lokal (Jawa khususnya), citra dapat "dukungan" spirit dari keluarga besar pewaris KH Kasan Besari. Dapat kehormatan mewarisi rumah warisannya, yang pastinya terbuat dari kayu jati yang bermutui tinggi. Dst dst nya...

Tapi benarkah demikian, mari kita lihat secara obyektif dan santai saja...

Sependek pengetahuan saya tentang kayu jati, varian produknya, dan rumah-rumah terbaik dari jati. Ponorogo memang adalah sumber terbaik, di sanalah kita harus pergi mencari. Bila yang kita ingin lihat adalah melulu jati-nya. Kualitas kayu, sisi primitif produknya. Primitif di sini bisa dibaca sebagai originalitas karya, tanpa ukir-ukuran njlimet yang sekedar mempercantik. Di Ponorogo, semua produk pada dasarnya sudah "cantik dan elok", karena yang mula-mula ditonjokan adalah kualitas, ketuaan dan ketebalan kayunya.

Bagi saya, ia menyiratkan makna arti dari Ponorogo itu sendiri. Berasal dari dua kata yaitu pramana dan raga. Pramana berarti daya kekuatan, rahasia hidup, sedangkan raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah/lawamah, shufiah dan muthmainah.

Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri di mana pun dan kapan pun berada. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa pana berarti melihat dan raga berarti badan, raga, atau diri. Sehingga arti Panaraga adalah "melihat diri sendiri" atau dalam kata lain disebut "wawas diri". Bisa dimengerti, bila Ranggawarsita bisa mendedah konsep "mawas diri" ini ke dalam dua kata terpenting bagi orang Jawa: eling lan waspada.

Dalam konteks jati, menjelaskan kenapa berbagai produk kayu jati di daerah tersebut lebih menonjolkan kekuatan tinimbang keindahan. Lebih pada pengertian bakoh, wanteg, dan kalau dalam bahasa pergaulan "sangar". Sesuai dengan watak para warok yang memang jadi identitas daerah ini.

Dari kelebihannya tersebut, tentu saja konsekuensinya. Berbagai artefak yang menjadi "banda desa" (kekayaan rumah tangga, kekuatan kampung). Daerah ini paling "parah" mengalami "perampokan". Bagaimana barang-barang jati tercerabut dari habitat aslinya. Diburu para kolektor dengan menijam tangan para makelar yang masuk sampai ke tingkat desa2 terpencil. Sangat mudah pada masa2 lalu, menemukan para pengepul barang antik di pinggir jalan raya "Madiun-Ponorogo".

Tapi benarkah tuah barang itu akan ikut berpindah, seiring bergesernya karya-karya tersebut keluar dari daerah itu? Benarkah AB akan memperoleh "tuah" dari rumah joglo yang konon adalah warisan KH Kasan Besari. Ini pendapat saya....

Apa pun yang terjadi, dari kasus di atas, saya makin memahami sifat unik dari kayu jati. Bahwa apa pun produk yang dihasilkannya, jati memang memiliki sifat "fleksibilitas dan mobilitas", bisa dan baik untuk dipindah-pindahkan.

Secara kualitas memungkinkan untuk itu. Jangan kan perkasas rumah tangga, yang memang pada mulanya ditujukan untuk diperjual belikan. Rumah yang terbuat dari material kayu jati juga relatif biasa untuk dimobilisasi. Pada masa lalu, selain melalui proses jual beli, rumah jati juga dipindahkan melalui proses turun waris atau bagi waris.

Proses pemindahannya pun sangat unik, karena alih-alih dipreteli satu persatu. Ia akan digotong ramai-ramai. Yang paling umum dipindahkan adalah rumah yang masuk kategori model kampung atau limasan. Sejauh ini saya tak bisa membayangkan, bagaimana mungkin joglo bisa dipindahkan utuh tanpa membongkarnya. Tampaknya muskil.

Di sini juga, menyiratkan watak joglo itu sendiri. Bahwa sebenarnya ia adalah rumah pendapa, ruang pertemuan. Dan bukan sebagaimana limasan atau kampung yang memang dibuat untuk tempat tinggal.

Salah kaprah seperti ini, yang ingin saya luruskan dalam serial "sejating jati". Bahwa walau sama asalnya kayu jati, namun begitu memiliki suatu bentuk dan nama tertentu akan sangat membedakan fungsinya. Bentuk gotong royong seperti ini di banyak kampung disebut sebagai "sambatan mindah omah". Pemindahan ini tentu dengan mempertimbangkan hari baik, yang didasarkan dari perhitungan Jawa yang disebut "petung jawa" didasarkan primbon dan weton dari si pemilik baru.

Salah satu videoclip yang mencuplik adegan "pindah rumah" yang paling berkesan adalah karya Dimas Djajadiningrat. Suatu advertensi untuk produk kopi Kapal Api. Saya pikir, ia sangat berhasil mendeskripsikan "secangkir semangat" asli berbagai suku bangsa Indonesia dalam spirit gotong royong dan kebersamaan. Saya kebetulan tahu adegan mindah rumah ini, karena memang lokasinya tak jauh dari rumah saya di Kotagede. Juga tahu milik siapa rumah yang dijadikan scene adegan tersebut.

Kembali lagi benarkah, tuah atau pulung atau karomah KH Kasan Besari akan berpindah menclok ke ubun-ubun AB dalam upaya cita-cita besar "pencapresan" dirinya di tahun 2024 mendatang.

Pendapat saya begini...

Pertama, Ponorogo adalah rumah besar KH Kasan Besari. Semua orang berhak menyebut dirinya sebagai keturunannya. Beliau hidup 300 tahun yang lalu, dan tak mudah lagi melacak siapa yang sungguh-sungguh keturunan langsung. Mana yang cuma ngaku-ngaku. Klaim seperti ini wajar, apalagi kalau tujuannya adalah kepentingan politif atau sekedar motif-motif bisnis.

Kedua, rumah joglo di Ponorogo jumlahnya puluhan ribu. Walau sudah banyak berkurang jumlahnya, tapi tetap saja masih bersisa banyak. Yang akhirnya tercerabut, biasanya muncul dari keluarga dengan mentalitas lemah, kurang penghargaan terhadap masa lalu, dan terutama secra ekonomi ruwet. Kalau betul ia adalah warisan KH Kasan Besari masak iya, pemerintah daerah diam saja? Warga di sekitarnya sedemikian cuek....

Ketiga, watak dari pedagang barang antik sebagaimana biasa akan "memblow-up", melebih-lebihkan sejarah dari barang dagangannya. Sependek ingatan saya, ini adalah lewat 30 tahun ketika periode pertama exodus barang antik terjadi. yang awal mulanya terjadi sejak era reformasi terjadi. Saat tiba-tiba nilai eksport barang-barang ndeso ikut meningkat drastis, karena nilai rupiah melemah terhadap dollar.

Tentu saja, barang-barang terbaik sudah "melayang pergi jauh" pada era-era tersebut. Dari era "perampokan besar-besaran di era itu pula", sekarang kita hanya bisa memandangnya dari dokumentasi buku indah dan klasik Javanesse Antique Furniture and Folk Art karangan Bruce W. Carpenther (EDM, Singapore, 2009). Di buku inilah catatan barang-barang terbaik pada masa tersebut.

Kalau pun sekarang masih ada kalau nggak barang repro yang dituakan, tembakan yang asal-asalan, atau sekedar sisa-sisa yang kualitasnya tak lagi dahsyat....

Lalu apa pelajaran dari kasus di atas. Demikianlah watak politisi, ia selalu membesar-besarkan hal-hal biasa. Membesarkan dirinya dengan cara-cara tak elok, dengan tujuan "mengangkat namanya sendiri". Ketika proses kontestasi Pemilu 2024 masih sangat jauh. Ketika ia semestinya, mengurus daerahnya sebagai eksportir virus paling dahsyat. Ia malah sibuk nyari joglo, bangun rumah, dan pencitraan. Gitu masih mengklaim dapat karomah....

Saya malah melihat fenomena ini dari sisi lain: ia telah bermain-main dengan "walat jati". Lebih parah ia memainkan isunya dari Ponorogo lagi. Yang bahkan, mungkin ia sama sekali tak menyadari dengan arti dan makna Ponorogo itu sendiri.

Menarik ditunggu apa yang terjadi setelah ini....

NB: Walau masih membahas jati, artikel ini bukan bagian dari serial "Sejatining Jati". Saya tidak sudi memasukkan isu politik, dalam serial ini. Apalagi ada tokoh culas yang hobi menghalalkan segala cara ini. Tokoh yang selalu membuat saya malu, sebagai sesama orang yang berasal dari Jogja. Pun saya, tidak akan mengunggah gambar apa pun. Kali ini untuk senang-senang, saya segarkan ingatan video clip karya Dimas Djay, yang di dalamnya ada beberapa detik adegan mindah rumah. Kita ini punya Indonesia yang indah, jangan mau dipimpin oleh pemimpin berwatak serakah dan tak amanah....

***

Catatan: Foto ditambahkan oleh redaksi PepNews.com, sumber: Grid.id