Moeldoko dan Adab Berpolitik

Sebagai pejabat negara, harusnya juga menjadi pemimpin yang patut diteladani. Setiap sikap dan perilakunya menjadi panutan masyarakat yang dipimpin.

Senin, 29 Maret 2021 | 11:28 WIB
0
214
Moeldoko dan Adab Berpolitik
Foto:Ngopibareng.id

Politik memanglah Seni Kemungkinan, yang tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin. Namun tidak berarti dalam berpolitik tidak memerlukan Adab dan Etika, karena seorang politisi bisa menjadi mulia juga karena memiliki adab, etika, dan akhlak yang baik.

Cara untuk mendapatkan sebuah kedudukan dan kekuasaan juga harus dengan adab yang baik, bukanlah dengan cara-cara yang tidak beretika, meskipun politik itu sendiri sangat identik dengan menghalalkan segala cara.

Cara-cara Moeldoko and the gang, dalam mengkudeta tampuk kekuasaan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), adalah cara yang tidak beradab. Memanfaatkan 'pembusukan' di internal Demokrat secara terstruktur dan masif, dan mengabaikan sikap hormat terhadap SBY yang pernah merekrutnya sebagai Panglima TNI.

Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan/etika agama, pada semua agama. Norma tentang adab ini digunakan dalam pergaulan antarmanusia, antartetangga, dan antarkaum.

Seperti yang saya kutip dari Muslim.or.id,
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.

Jadi, sebutan orang beradab sesungguhnya berarti bahwa orang itu mengetahui aturan tentang adab atau sopan santun yang ditentukan dalam agama. Namun, dalam perkembangannya, kata beradab dan tidak beradab dikaitkan dari segi kesopanan secara umum dan tidak khusus hanya dalam agama Islam.

Ir.Soekarno sebagai penggagas Pancasila sangat meninggikan Adab, sehingga dalam Sila kedua Pancasila beliau memosisikan Adab, bersamaan dengan Kemanusiaan dan Keadilan, dibawah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara agama pun meninggikan Adab diatas Ilmu.

Dari penjelasan diatas tentang adab, rasanya saya tidak perlu menjelaskan dimana letak tidak beradabnya Moeldoko untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang. Moeldoko perlu belajar dengan Fahri Hamzah dan Anis Matta cara berpolitik yang lebih bermartabat.

Bagaimana Fahri dan Anis memosisikan dirinya sebagai politisi yang sangat beradab, dengan tidak melakukan kudeta terhadap Presiden PKS, dan mendirikan Partai baru untuk memenuhi hasrat politiknya.

Masyarakat sudah terlalu capek menyaksikan drama politik perebutan Partai secara paksa, sejak masa Order Baru sampai sekarang. Masyarakat perlu pendidikan politik yang baik, dan pendidikan tersebut harusnya diajarkan dari adab berpolitik para politisi.

Pada level Moeldoko itu harusnya lebih meninggikan adab, terlebih dia berada dalam lingkaran sumbu kekuasaan. Agak aneh jadinya, seorang Kepala Staf Kepresidenan yang aktif, dengan sangat atraktif melakukan kudeta terhadap ketua umum sebuah partai, dan itu dilakukan bersama eks kader Demokrat, dan kader aktif partai Demokrat.

Manusia yang meninggikan Adab, pastinya akan meninggikan Ilmu dan agama, sementara manusia yang tidak beradab tidak mungkin dia bisa meninggikan Ilmu dan agama, karena yang namanya manusia tidak beradab adalah manusia yang meninggalkan segala akhlak yang baik, dengan meninggalkan akhlak yang baik sudah jelas tidak akan melakukan hal yang baik.

Fitrah manusia dilahirkan adalah untuk berbuat kebaikan, bukanlah berbuat kerusakan. Manusia yang cenderung berbuat kerusakan dan keburukan adalah manusia yang Biadab, alias manusia yang tidak beradab, yang tidak meninggikan Adab, yang mencari jabatan dan kekuasaan dengan meninggalkan Adab.

Padahal sebelum menggali Ilmu, hendaklah manusia mempelajari Adab terlebih dahulu. Artinya, manusia yang berilmu pastinya beradab. Tapi pada kenyataannya, tidak semua orang yang berilmu memiliki adab yang baik.

Dengan adablah manusia menciptakan peradaban dan Ilmu, agar adab dan Ilmu yang diwariskan bermanfaat bagi kebaikan dan kemaslahatan manusia. Inilah yang sekarang hilang dari peradaban manusia, berilmu tapi tidak beradab, sehingga Ilmu yang diwariskan dijadikan alat untuk berbuat kerusakan.

Ibnul Mubarok berkata, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun. (Muslim.or.id)

Berapa banyak negara yang porak poranda hanya dikarena manusia-manusia yang tidak beradab, yang meninggikan nafsu ketimbang Adab. Manusia tidak akan bersikap Adil kalau tidak memiliki Adab, manusia tidak akan berperikkemanusiaan kalau tidak memiliki Adab.

Makanya Sila kedua Pancasila berbunyi: "Kemanusiaan yang Adil dan beradab. Agar manusia Indonesia berperikkemanusiaan dengan Beradab, juga berkeadilan dengan Beradab, beragama pun dengan Beradab, bukanlah sekedar beragama tapi tidak memiliki Adab alias Biadab.

Kenapa ada manusia yang beragama tapi Biadab, karena tidak pernah memprioritaskan Adab dalam bermasyarakat. Mempelajari Ilmu agama tidak dengan mendahukan mempelajari adab, padahal agama menganjurkan sebelum mempelajari ilmu hendaklah juga mempelajari adab terlebih dahulu.

Kalau sudah beragama dan berilmu tapi tidak memiliki adab yang baik, yang salah bukanlah agama atau pun juga juga guru yang mengajarnya. Hal seperti itu berpulang kepada kepribadian masing-masing, juga soal pola berpikir masing-masing.

Sebagai pejabat negara, harusnya juga menjadi pemimpin yang patut diteladani. Setiap sikap dan perilakunya menjadi panutan masyarakat yang dipimpin. Kalau teladan yang baik saja tidak bisa diberikan, lantas masyarakat mau dapat apa dari pemimpinnya.

***