Cerpen: Jejak Cinta di Lembah Bambu

Bisikan Cinta di lembah Bambu menguatkan tekatnya mengejar cinta. Semoga Parmi mau melabuhkan cintanya pada "sang pengintip" paling setia.

Jumat, 8 Mei 2020 | 14:17 WIB
0
262
Cerpen: Jejak Cinta di Lembah Bambu
Ilustrasi sepasang kekasih (Foto: kompasiana.com)

Lembah berlereng dengan deretan bambu kekar, saling bergesekan, sesekali terdengar bebunyian dari bambu yang menggeliat manja. Mereka saling bermesraan, dan dedaunan seperti ingin selalu berciuman.

Sepasang kekasih tengah duduk meriung di bawah gerumbulan bambu, mereka seperti terlelap mendengarkan rintihan mesra ranting- ranting yang nakal menyentuh tangan dan kepala mereka.

Jatuh klaras menimpa kepala si pemuda, si gadis memungutnya seraya menjerit ketika slugut (duri lembut daun klaras) menembus kulit tangan si gadis.

Si pemuda segera memegang tangan gadis dan meletakkan di ujung lututnya. Dengan mesra ia mengamati jejari gadis itu sambil matanya nanar mencari duri yang menancap di ujung jari si gadis.

Si gadis pelan menutup mata tak kuasa menahan sakit ketika bibir si pria menyentuh jarinya, sekali isap lepaslah duri yang menancap di jarinya, sedangkan si pemuda terlihat meringis karena duri berpindah pada lidahnya.

“Kau sakit, Mas?”

“Tidak, aku baik- baik saja, Dik”

Pacaran gaya desa yang menggemaskan dan membuat sang pengintip semakin tidak sabar.

“Ayo, das des, lambat amat sih, langsung pada pokoknya.”

Parjo dan Parmi  sedang menikmati bagaimana rasanya cinta. Mengapa pacaran harus sembunyi  di bawah pohon bambu? Susah menjelaskan. Bagi Parjo lucu saja bisa pacaran di bawah  pohon bambu, selain sejuk  mereka seperti mendengarkan dendang  asmarandana. Suara–suara itu seperti renyahnya Waljinah ketika sedang nembang, apalagi dendang Asmaradhana yang membuat cintanya semakin membara.

Adalah Parjo pemuda lugu yang kerjaan sehari-hari adalah bertani, sesekali di sela bertani Parjo membelah batu, dan mengumpulkan pasir sungai Pabelan. Ia memanggul batu sungai menyusuri lembah ngarai sekitar sungai. Matanya sudah terbiasa melihat kelokan petak sawah sambil menaiki tangga di tebing batas desa dan lembah sungai. Guratan wajah dan kekarnya otot bahu menandakan Parjo terbiasa kerja keras. Wajahnya sih biasa saja tetapi Parmi merasa Parjo dapat diandalkan sebagai calon jodohnya kelak.

Di sela- sela waktu Parjo menjemput Parmi, mereka menyusuri sawah lalu masuk ke gerbang reriungan bambu dan duduk manis sambil mata bertatapan. Mereka diam, hanya tangan mereka saling berpagutan, jari jemarinya saling bersentuhan tanpa kata mendengarkan kesiuh angin. Malah mereka seperti mendengar musik alam itu terus hadir.

Mereka tidak sadar ada mata yang terus mengikuti gerak – gerik mereka. Berharap lebih dari hanya sekedar memegang tangan. Sebuah film yang memberi tontonan yang mengasyikkan. Tapi selama mengintip ia tidak pernah melihat apa- apa selain jari yang bersentuhan. Sang pengintip hanya melihat sepasang kekasih itu tampak menyala pendar matanya oleh cinta dari pandangan mata mereka.

“Aneh, Pacaran gaya tentara PETA kali…oh tidak mungkin mereka tidak pacaran, mereka langsung pada intinya”

Cerita Pardal si pengintip sampai di cakruk yang terletak di selatan dusun mereka.

“Matamu tidak terimbilan mengintip terus, Dal.”

“Ah, itu khan kepercayaan kuno, jelas tidak Nyomet *)!”

“Ah Wedhus kau Dal, cari kerjaan kek supaya otakmu tidak dipenuhi oleh hal- hal kotor. Kemarin baru saja disemprot mbah Darmin. Katanya kau ngintip sewaktu Istirah tengah mandi. Gadis masih kinyis kinyis kau intip juga.”

“Nah justru…?”

“Sttth… tidak usah diteruskan Mbah Carik lewat lagi, jika cerita ini didengar olehnya kau habis Dal?”

Manusia- manusia dengan pikiran kotor selalu membuat repot tetangga dan kampung. Pardal memang agak aneh. Beda dengan pemuda lainnya yang lebih sering ngaji di Langgar (surau). Bukannya baca Kitab Suci malah ngintip orang pacaran, ngintip orang mandi. Wah gawat.

“Otak Pardal memang sungguh terlalu, iblis apa sih merayumu sehingga  rajin sekali mengintip.”

Pardal sendiri orangnya terlalu cuek. Kalau pernah sempat ditegur ya akan diulangi hari berikutnya.Ndableg itu tepatnya julukan buat Pardal sang pengintip.

**

Parjo dan Parmi sudah pacaran lebih dari setahun. Lembah bambu saksi mereka ketika tengah pacaran, pacaran dalam diam karena hanya jemari dan mata mereka yang bicara. Tidak tampak ada dialog lebih dari sepuluh kata. Mereka rasanya tidak butuh bicara, mereka hanya butuh deburan jantung yang berpacu oleh tatapan lembut Parmi kepada Parjo. Pun Parmi merasakan Jemari lembutnya tersentuh oleh kulit tangan Parjo yang penuh kapalan. Sebuah sensasi tidak terkatakan.

Sesekali bau keringat meruar, terbawa  angin tetapi Parmi sudah hapal dengan bau keringat Parjo, sangat khas. Dada kekar Parjo tampak menonjol. Ia suka memandanginya, legam kulit Parjo semakin membuat Parmi terkesima.

Pardal  pengintip setia dengan kesuh mengumpat. Kapan cerita seru akan terjadi melihat sepasang kekasih merenda kisah cinta.

‘Tak akan pernah kau lihat pacaran seperti pikiranmu yang kotor itu Dal??!”

“Darimana kau tahu kamu tentang dia.”

“Ya tahulah… Parjo cerita sama saya. Ia tahu bahwa seseorang dengan setia selalu mengintip pacarannya.”

Muka Pardal langsung memerah. Malu benar rasanya, ternyata selama ini Parjo tahu bahwa ia setia mengintip saat tengah pacaran.”

“Jangkrik. Dia tahu Tho!”

“O, Ladalah, kau saja yang kurang kerjaan mengintip orang pacaran.”

“Itu tantangan luar biasa.”

“Pardal, Pardal .Dasar koplak!”

Senja langit semburat kemerahan, suara- suara serangga di sela- sela lembah selalu terdengar bunyi serangga. “tongkeret, tongkeret, tongkeret”

Gemeresak dedaunan dan lilitan ranting bambu semakin menambah bising lembah, tetapi mendengar suara-suara itu keteduhan tampak terasa. Senyum lebar mbok-mbok buruh tani dengan mudah ditemui saat suara tongkeret nyaring berbunyi. Matahari tengah surut dan alam siap menyambut keheningan.

Dalam hening malam, tiba tiba pecah tangisan Parmi. Senja tadi adalah pertemuan terakhir ia dengan Parjo. Sebuah kecelakaan telah melepaskan impian Parmi merenda kasih sayangnya. Parjo kekasihnya berlumuran darah di kepalanya. Sepertinya benturan keras mengenai kepalanya. Kata orang- orang ia terpeleset saat mau naik tangga jalan dari lembah sungai menuju desanya. Batu yang ia panggul mendarat di kepalanya. Nyawa Parjo tidak bisa diselamatkan.

Dalam kesedihannya beberapa hari setelah pemakaman Parjo, Parmi  tersedu di rumpun bambu tempat ia biasa berpacaran. Seperti biasa Pardal dengan setia mengintip kisah cinta sepasang kekasih. Kali ini ia hanya melihat Parmi dengan isakan tangis tak henti- henti keluar dari mulutnya dan air matanya terus menetes. Kali Ini Pardal seperti susah membendung tumpahan air matanya. Iapun terisak menangisi kisah pilu sepasang kekasih yang polos- polos saja saat pacaran.

Pardal menyesal menyaksikan cerita pilu yang terjadi. Dalam hatinya sebetulnya sudah memendam cinta. Parmi saja yang tidak pernah menanggapi. Pardal sebetulnya cemburu tetapi hanya pasrah karena ia tidak pernah bisa menggantikan kekuatan cinta Parjo yang amat besar pada Parmi.

Dari jauh ia hanya berharap Parmi mau melupakan Parjo dan menerima cintanya.Ia mengirimkan cinta dengan bahasa alam. Kepada suara- suara klaras yang bergesekan, pada ranting- ranting yang kadang genit menyentuh kulit Parmi yang halus. Pada daun klaras itu ia gambar hati dengan sepenuh rasa.

Pardal tidak pernah merasa bisa meluluhkan hati Parmi. Ia selalu duduk di lembah itu seakan – akan Parjo masih ada di depannya menatap matanya, menyentuh jari jemarinya dan mendengarkan alunan musik dari Waljinah, hanya sayangnya sayatan pilu suara musik itu terdengar repih bukan asmaradana tatapi maskumambang.

**

Pardal sekuat tenaga merayu Parmi, tetapi Parmi bergeming tidak mau lagi pacaran dan menjalin cinta dengan siapapun. Cintanya hanya untuk Parjo, Lelaki lugu yang meninggal karena kecelakaan saat ia tengah  kerja Nyunggi *)batu.

Ia masih terbayang dan dalam pikirannya Parjo selalu menemuinya di lembah rumpun bambu itu. Matanya masih selalu memandangnya mesra, meski pelan- pelan ia mulai menjauh. Dalam mimpinya Parjo berpesan untuk mencari penggantinya. Parmi memang tidak berjodoh dengannya.

“Kau harus mencari penggantiku. Tidak usah larut dalam kesedihan. Mungkin suatu saat kita akan bertemu. Dalam sebuah keabadian cinta. Kini kau menatap kenyataan kekasihku. Carilah penggantiku karena kau perlu hidup dengan segala ujian kehidupan yang akan kau lalui.”

Mimpi itu membangunkan Parmi. Dalam sisa tetes air matanya Parmi berjanji melupakan Parjo. Meski perih ia memang harus mencari sosok pengganti Parjo, meskipun tidak sesempurna cinta Parjo padanya.

Parmi duduk reriungan di bawah gerumbulan bambu tempat ia selalu merasakan bau keringat Parjo yang khas. Gemeresak ranting kering dan klaras bambu ia dengar. Seperti telapak kaki mendekat. Desah nafas yang tidak teratur membuatnya ingin segera beranjak dan pergi. Namun tiba - tiba ada yang memanggilnya.

“Parmi, Emm, bolehkah aku menemanimu?”

“Hei, Pardal, berani juga kau mendekat!”

“Iiiya, Aku beranikan diri meskipun susah benar kaki melangkah. Aku benar benar grogi bila lihat kamu.”

“Ooo, jadi maumu apa sih, langsung… aku tidak banyak waktu … takut ada orang yang melihat kita berdua.”

“E,eee,jujur sebenarnya aku, aku  suka kamu sejak dulu, aku iri betapa beruntungnya Parjo bisa kau cintai.”

“Jadi kau menunggu sampai Mas Parjo meninggal?”

“Iya…”

“Modalnya apa kamu berani mecintaiku”

“Kesetiaan, kesabaran…”

“Itu saja…Apakah kau setangguh Mas Parjo, Serajin dia dan sekekar dia hingga berani mencintaiku”

“Ya, kalau soal itu aku kalah jauh dengan Parjo, tetapi setidaknya aku setia…”

“Maaf, aku pulang dulu…”

Tetesan air mata yang meleleh di pipi Parmi membuat Pardal tidak berani mendekat, ia membiarkan Parmi pergi. Ia hanya duduk menangkap kesiur angin serasa mendengar bisikan Parjo. Kalau mau meluluhkan hatinya bekerjalah dengan tekun. Kalau kamu bekerja tidak akan sempat mengintip pacaran orang, atau mengintip orang mandi. Itu hanya pekerjaan orang menganggur yang malas, Perempuan tidak suka pada orang yang malas.

Pardal bergegas pulang. Semenjak itu ia bekerja apa saja demi cintanya pada Parmi. Bisikan  Cinta di lembah Bambu menguatkan tekatnya mengejar cinta. Semoga Parmi mau melabuhkan cintanya pada "sang pengintip" paling setia.

Selesai.

***

*)Nyomet:istilah halus makian sama saja dengan kata monyet.

*) Nyunggi: membawa batu diletakkan di atas kepalanya. Biasanya dialasi dengan kain tebal supaya nyaman membawa batu besar dan berat yang teksturnya kasar dan tidak beraturan.