Suka Cita Rakyat di Bulan Kemerdekaan dan Elit yang Kerap Lupa Janji

Merdeka dari nafsu berkuasa, merdeka dari mencari nama. Kepada rakyatlah elit harus belajar. Namun yang terjadi, elit memang sering merasa lebih pintar.

Senin, 5 Agustus 2019 | 05:47 WIB
0
388
Suka Cita Rakyat di Bulan Kemerdekaan dan Elit yang Kerap Lupa Janji
Ilustrasi 17 Agustusan (Foto: Bibli.com)

Setiap memasuki awal bulan Agustus, kita dengan mudah melihat antusiasme warga menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Hampir di setiap kampung, masyarakat mengadakan berbagai kegiatan untuk menyemarakkan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (RI). 

Berbagai kegiatan dilakukan. Memasang umbul-umbul, mengecat ulang jalan dan gapura, memasang lampu hias dan menggelar berbagai lomba. Lomba yang kerap membuat kita tertawa karena memang tujuannya sekedar bersuka cita, bukan menjadi yang paling juara. 

Jalan santai sambil bercengkerama dengan teman dan tetangga. Anak-anak bersepeda hias. Belajar kreatifitas sembari bergembira.

Semarak dan meriah. Mungkin itu dua kata yang pas untuk menggambarkan bagaimana aneka kegiatan menyambut 17 Agustus itu berlangsung. 

Jangan tanya soal dari mana dananya? Semangat warga untuk bersuka cita atas ulang tahun kemerdekaan tentu tak mengambil anggaran APBN atau APBD. Atau sampai-sampai harus korupsi sebagaimana dilakukan oleh sebagian elit neger ini. Tidak.

Warga atau rakyat kecil ini iuran dari kantong masing-masing. Besarannya ada yang diseragamkan, ada yang berdasarkan kemampuan. Gotong royong. 

Memang ada yang mengajukan proposal ke tokoh masyarakat, anggota DPR atau perusahaan di lokasi dekat kampung jika ada. Tapi nilainya tak dominan. Sumbangan dari wargalah yang utama. 

Saya pikir, kalau kita ingin melihat dimana rasa nasionalisme rakyat terwujud, di momen perayaan 17 inilah rasa nasionalisme itu terlihat. Nasionalisme yang hampir tidak mereka jargonkan atau mereka ucapkan, tapi mereka kerjakan. 

Dalam perayaan HUT Kemerdekaan ini, kita juga melihat bagaimana kebhineakan itu nyata. Tak ada pertentangan agama atau suku. Apapun agamanya, apapun sukunya, warga menyatu dan bergotong royong untuk memeriahkan kemerdekaan. Tak ada juga caci maki sebagaimana caci maki yang terkadang kita temukan di media sosial. 

Dari rakyat inilah semestinya para elit politik berkaca. Rakyat yang kerap mereka beri janji.  Rakyat yang katanya mereka wakili. 

Elit perlu belajar bagaimana mencintai negeri. Bagaimana memberi, bukan justru korupsi. Bagaimana mengabdi, bukan justru mengambil untuk diri sendiri. 

Karena sejatinya, rakyat lah yang sudah merdeka. Merdeka dari nafsu berkuasa, merdeka dari mencari nama. Kepada rakyatlah elit harus belajar.  Namun yang terjadi, elit memang sering merasa lebih pintar. 

***