Bung Karno dan Lahirnya Pancasila

Jumat, 31 Mei 2019 | 21:28 WIB
0
552
Bung Karno dan Lahirnya Pancasila
Foto: Detik.com

Pentingnya landasan dasar negara sudah dipikirkan oleh Bung Karno jauh sebelum Indonesia Merdeka. Sejak tahun 1918, saat usianya baru 18 tahun. Bung karno sudah berpikir meletakkan landasan dasar “Kebangsaan Indonesia” sebagai prinsip pertama bagi negara Indonesia merdeka.

Kata Bung Karno, Indonesia Merdeka bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan bangsawan, atau golongan kaya, tetapi “semua buat semua”.

Bung Karno memberikan gambaran tentang beberapa tokoh lain didunia, bagaimana mereka mendirikan negara beserta landasan negaranya, Lenin mendirikan negara Soviet Rusia tahun 1917 tetapi dasar negaranya sudah berpuluh-puluh tahun umurnya.

Adolf Hitler yang naik singgasana tahun 1933 tetapi sudah mengikhtiarkan Naziisme sejak tahun 1921 dan 1922. Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka tahun 1912 tetapi sejak tahun 1885 sudah memiliki dasar negara tertuang dalam buku “The Three People’s Principle” yakni nasionalisme, demokrasi, sosialisme.

Dalam risalah “Mencapai Indonesia Merdeka”, dibuat tahun 1933, Bung Karno menyebutkan kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menyeberang menyempurnakan masyarakat.

Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, mengutip tulisan Armstrong itu pada 1 Juni 1945 tatkala berpidato di depan sidang Panitia Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI), atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai. Ia saat itu berbicara tentang prinsip-prinsip dasar sebuah negara merdeka.

Karena Bung Karno menyebutkan lima dasar, dan diterjemahkan sebagai Pancasila, maka 1 Juni itu dikenallah sebagai Hari Lahir Pancasila, dan nama Proklamator ini disebut pula sebagai penggalinya.

Sebuah pemikiran yang besar dari orang yang berjiwa besar, bahwa pentingnya memberikan sebuah landasan bernegara yang kuat dalam satu bangsa yang begitu majemuk, yang mampu mempersatukan yang berbeda suku dan agama dalam satu ikatan bangsa yang satu Bangsa Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia ini sudah dipikirkannya.

“Kita semua harus mendirikan satu negara kebangsaan di atas satu kesatuan bumi Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ke Irian, bukan sekedar satu golongan yang hidup di satu daerah kecil. Bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan oleh Tuhan tinggal di semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian.”

Pemikiran tentang Pancasila dituangkannya dalam rangkaian kata yang bermuara pada Persatuan dan Kesatuan bangsa, dalam ikatan persaudaraan tanpa membedakan ras, suku dan agama.

Tentulah ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena berbagai suku dan agama harus masuk dalam pemikiran dan juga bermusyawarah dan bermufakat untuk kemajuan bersama dalam persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. 

Pemikiran tentang makna dan isi sila-sila yang ada dalam Pancasila tersebut dituangkan dalam gagasan besar untuk persatuan Indonesia menuju Kemerdekaan Indonesia.

Paham kebangsaan tidak akan meruncing menjadi chauvanis. Tanah air Indonesia yang berbangsa satu, yang berbahasa yang satu, hanyalah satu bahagian kecil dari dunia. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang menyendiri, tetapi seperti dikatakan Mahatma Gandhi, seorang nasionalis yang kebangsaannya berperikemanusiaan.

Indonesia jangan pernah berkata sebagai bangsa yang terbagus, yang termulia. Indonesia harus menuju persatuan dan persaudaraan dunia sekaligus menuju kekeluargaan bangsa-bangsa. Karena itu prinsip dasar kedua adalah “Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.”

Syarat mutlak menuju Indonesia “semua buat semua” ialah ada permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat perbaiki segala hal, termasuk keselamatan agama dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan.

Apa-apa yang belum memuaskan, dibicarakan di permusyawaratan seperti tuntutan-tuntutan Islam. Kalau orang Kristen ingin tiap-tiap letter peraturan negara harus menurut Injil, misalnya, bekerjalah mati-matian agar sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan adalah orang Kristen. Itu adil, fair play, karena itu prinsip ketiga adalah “Mufakat atau Demokrasi.”

Prinsip keempat adalah “Kesejahteraan sosial”. Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Kita tidak mau Indonesia Merdeka kaum kapitalnya merajalela. Atau, semua rakyatnya sejahtera, cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi. Kita mencari demokrasi permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Prinsip kelima Indonesia Merdeka dengan “Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Hendaklah negara Indonesia negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menurut kitab-kitab yang ada padanya. Semua bertaqwa dengan cara yang berkeadaban yakni yang hormat-menghormati satu sama lain.

Tentunya ini bukanlah pemikiran yang mudah, tapi bukan juga sesuatu yang sulit kalau hal tersebut memang dipikirkan secara sungguh-sungguh. Dalam menyusun gagasan ini beliau juga di bantu oleh Mr. Mohammad Yamin. Bukankah ini sebuah upaya yang patut dan harus kita hargai, tidaklah harus mensakralkan Pancasila, tapi menghargai Pancasila sebagai dasar Negara dan alat pemersatu Bangsa, harus tetap terus dikedepankan.

Karena itulah salah satu cara kita menghargai apa yang sudah dirintis dan diupayakan oleh Pendiri Bangsa ini, untuk menyatukan bangsa ini dari perpecahan. Apa yang sudah digagas Bung Karno tersebut terus disempurnakan, selaras dengan perjalanan dan kepentingan Bangsa, sampailah pada akhirnya seperti Pancasila yang menjadi pegangan Bangsa dan landasan negara seperti saat ini.

Semoga saja dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sekarang ini, kita bisa merenungkan apa yang sudah diupayakan Bapak Pendiri Bangsa ini, Ir. Soekarno, dan kita bisa tetap senantiasa mengenang jasa-jasa beliau, juga tetaplah mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara dan alat pemersatu bangsa. Semoga kita juga tetap bisa mengamalkannya dalam kehidupan bernegara, mampu menghargai perbedaan demi persatuan dan kesatuan Bangsa.

Tulisan ini saya kutip dari berbagai sumber, baik buku, blog maupun beberapa media on line.
Tulisan ini sudah pernah ditayangkan di Ajinatha/blogspot.com sejak tahun 2011