Tentang "Nggege Mangsa"

Ini menjelaskan kenapa Tim BPN melakukan hal-hal yang menurut cara berpikir pihak pemenang atau minimal netral atau katakanlah memilih bersikap obyektif: tidak masuk akal!

Rabu, 22 Mei 2019 | 07:01 WIB
0
510
Tentang "Nggege Mangsa"
Prabowo sujud

Sejatinya saya mau berhenti menulis tentang hal politik selama bulan puasa. Mosok bulan suci harus berkomentar tentang politik, yang makin hari makin absurd dan kemproh itu. Kemproh itu kotor karena watak, bukan karena keadaan. Kotor karena pergaulan itu gupak, makanya jangan dekat-dekat kerbau.

Tapi karena sahabat saya yang jurnalis VOA, Eva Mazrieva yang meminta tak berani saya menolaknya. Tentu saja ini berkait tentang berkali-kali Prabowo dan TIM BPN-nya melakukan klaim kemenangan, yang menafikan hasil Quick Count yang dilakukan oleh berbagai lembaga survai. Seolah mereka tak sabar menunggu hasil real-count hasil KPU 22 Mei nanti.

Ironiknya, persentase kemenangan-nya naik-turun, tanpa data dan argumentasi yang jelas. Lebih sial lagi, Tim yang melakukan perhitungan seolah Tim Siluman, yang bekerja secara rahasia dan tersembunyi.

Baca Juga: Akhir Pemilu dan Rapuhnya Koalisi Prabowo-Sandiaga

Intinya, selain mengklaim kemenangan mereka juga menuduh semua pihak yang berada di luar dirinya adalah curang!

Sesuatu yang kian hari, mendapat pembenaran dan pembelaan tak hanya dari tokoh-tokoh politik, agamawan panggung, namun juga para purnawirawan tentara yang berada di belakangnya. Salah satu bukti bahwa gak usah bangga jadi orang pinter di hari ini, apalagi sekedar terkenal, terlebih bila cuma pernah berkuasa.

Apakah hal tersebut yang disebut sebagai nggege mangsa? Mempercepat hasil sebelum waktunya tiba? Saya pikir sama sekali tidak!

Kalau menurut saya, yang nggege mangsa itu justru para lembaga survai yang hanya sejam dua jam setelah proses pemilihan selesai, telah tahu siapa yang jadi juaranya!

Lepas bahwa metode tersebut telah teruji secara ilmiah, namun itulah watak demokratisasi abad milineal. Segalanya bahkan bisa ditera jauh sebelum proses D-Day dilakukan. Jadi apa istimewanya proses-proses selanjutnya. Traada!

Hal ini menjelaskan kenapa Tim BPN melakukan hal-hal yang menurut cara berpikir pihak pemenang atau minimal netral atau katakanlah memilih bersikap obyektif: tidak masuk akal!

Apa yang sudah sejak era Socrates telah disinyalir dan dinyatakan bila kau kalah debat, maka buatlah fitnah! Dan siapa pun yang mebuat fitnah pertama-tama, ia haruslah orang yang ke-pede-an, setrong, bermuka badak, bernyali kunti...

Baca Juga: “Wasiat” Prabowo, Menuju Kemenangan Rakyat!

Padahal , sependek penalaran saya sesungguhnya justru menunjukkan watak orang Jawa yang selalu memulai segala sesuatu dengan terlalu hati-hati. Kalau tidak mau dikatakan penuh pesimisme.

Hidup di tanah yang subur, dengan siraman matahari yang melimpah. Apa yang selalu dibanggakan Soekarno sebagai: Ora ono panas, ora ono adem. Kadyo siniram, banyu ayu sewindu lawase. Tidak ada panas yang terlalu, tak ada dingin yang terlalu. Semua serba tenang dan tentram seperti disiram kesegaran air sepanjang waktu.

"Kemewahan alam tropis" inilah yang justru membuat orang Jawa pada masa lalu sangat asketis. Bersikap terbuka sekaligus tertutup. Terbuka terhadap hal-hal di luar dirinya, tetapi selalu lambat untuk larut berubah. Perihal yang akan diikuti oleh ungkapan-ungkapan peribahasa Jawa lainnya seperti "ngono ya ngono, ning aja ngono". Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.

Yang akan mengundang pertanyaan: Lha karepmu ki piye? Atau yang lebih kleleran (dan juga kleweran) lagi: alon-alon waton kelakon. Semua hal yang akhir-akhir ini akan dianggap sebagai tidak relevan dengan zamannya yang serba cepat dan instan.

Kembali ke pemaknaan aja nggege mangsa, semakin tidak mathuk, karena siapa pula yang bisa menebak musim di hari ini? Efek pemanasan global, membuat Pranatamangsa menjadi nyaris tak berguna lagi, semua jungkir balik tak karuan. Jadi hal ini makin mudah dimengerti, kalau tiba-tiba Prabowo membuat surat wasiat. Sudah jadi wataknya ia ingin segera cepat, mempercepat segala sesuatu yang belum waktunya. Bahkan dalam hal kematian pun.

Saya tidak terlalu percaya hal ini karena desakan para keturunan Arab Wahabi yang terus menempel dan menyanderanya, sebagimana dituduhkan Hendropriyono itu!

Watak-watak arab brengsek yang sedang berusaha melakukan kolonisasi melalui FPI, HTI, PKS, dan entah organisasi apa lagi. Suatu taktik intelejen ketinggalan jaman yang masih digunakan untuk memecah fokus, dengan mencari kambing hitam.

Dalam kultur Jawa itu status orang Arab dan Barat itu sama mulianya, ia baik digauli tapi tentu harus "dinaturalisasi dulu". Ingat pepatah "Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat". Itulah yang hilang dari watak asli orang Jawa hari ini semua ditelan mentah-mentah....

Menurut saya tak ada satu pun peribahasa Jawa yang cukup indah untuk menjelaskan perilaku Prabowo dan Tim-nya. Yang belakangan didukung penuh oleh kelompok sakit hati macam CN (Cak Nun) yang bikin KPU tandingan itu. Semuanya satu jenis, satu benang merah. Kalau pun ada hanya satu: edan keturutan!

Kegilaan yang mendapat ruang, ia kesampaian menuruti hawa nafsunya! Pasa ragane, sujud endase, ning mati atine...

***