Akhir Pemilu dan Rapuhnya Koalisi Prabowo-Sandiaga

Mereka harus mempersiapkan diri menerima kenyataan, apa pun yang terjadi beberapa hari ke depan, entah manis atau pahit. Tidak perlu menuduh pihak lain curang.

Sabtu, 11 Mei 2019 | 14:32 WIB
0
514
Akhir Pemilu dan Rapuhnya Koalisi Prabowo-Sandiaga
Pidato

Penentuan pemenang pasangan capres-cawapres di Pemilu 2019 sedang dalam proses karena penghitungan suara masih berlangsung di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusan finalnya akan segera diumumkan ke publik pada 22 Mei mendatang. 

Meski demikian, masing-masing kubu pemenangan diketahui telah mendeklarasikan kemenangan dengan caranya sendiri. Ada yang melalui konferensi pers, pesta bersama, dan ada pula dengan cara memasang baliho. Tentu kedua kubu punya alasan mengapa dalam waktu dini melakukan hal itu.

Berdasarkan perkembangan yang ada dari hasil quick count dan rilis update Sistem Perhitungan Suara (Situng) KPU, pasangan capres-cawapres unggul adalah Jokowi-Ma'ruf Amin. Pasangan ini sudah berhasil mengantongi lebih dari 50 persen suara. Selisih suara mereka dengan pasangan Prabowo-Sandiaga mencapai belasan juta.

Refleksi dan Evaluasi

Di samping ajang pemilihan calon pemimpin, pesta demokrasi Pilpres 2019 sejatinya dimaknai sebagai kesempatan untuk menghimpun kebersamaan, persatuan dan persaudaraan di antara sesama anak bangsa. 

Pilpres 2019 wajib dilalui dengan rasa gembira dan penuh tawa, itulah harapannya sejak awal. Namun faktanya harapan tersebut nyata tidak terealisasi optimal, di baliknya bahkan menyisakan bekas luka dan duka.

Bekas lukanya ialah bahwa ternyata Pilpres 2019 berujung perpecahan karena terbentuknya polarisasi di tengah masyarakat. Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar yang sama-sama ingin perjuangannya diakui dan dimenangkan, padahal proses terhadap hal itu sudah usai, tinggal menunggu hasil akhirnya. 

Sampai kapan keterbelahan tersebut selesai, belum dapat dipastikan. Semoga saja setelah pengumuman pemenang Pilpres 2019 digelar, seluruh masyarakat akur dan kembali pada aktivitas awalnya, melakukan hal-hal produktif untuk membangun negeri.

Baca Juga: Jika Pemilu 2019 Terdapat Kecurangan, Buktikan

Sedangkan dukanya adalah Pemilu 2019 (Pileg dan Pipres) menelan banyak korban jiwa dan sakit. Ratusan orang meninggal dunia dan kemudian ada juga yang terpaksa mengalami perawatan di rumah sakit. 

Mayoritas korban yaitu para petugas di lapangan. Beragam pandangan menyebutkan bahwa mereka meninggal dunia atau pun sakit karena kelelahan bekerja, gagalnya fungsi organ-organ tubuh, dan sebagainya.

Apa pun pandangannya, yang paling penting saat ini adalah upaya penanganan para korban. Korban meninggal dunia sebaiknya telah difasilitasi (oleh negara) untuk dikebumikan secara layak dan terhormat, serta keluarga mereka diberi santunan. 

Dan korban sakit pun wajib dirawat sungguh-sungguh sampai sembuh total. Ingat, tanpa para korban itu, pesta demokrasi kali ini belum tentu terselenggara sesuai target. Jeri payah mereka patut dihargai dan dikenang.

Pemilu 2019 dan penentuan pemenang selesai bukan berarti kegiatan berikutnya tidak ada lagi. Masih ada yang perlu dilakukan yakni evaluasi menyeluruh, dari proses awal hingga akhir. Pihak penyelenggara dan pemerintah wajib menemukan kelebihan dan kelemahan pemilu kali ini. 

Dari hasil evaluasi akan ditemukan mana yang boleh diteruskan dan mana pula yang dihentikan atau diperbaiki bila perhelatan serupa dilaksanakan ke depan. Mencegah tidak kembali menelan korban jiwa merupakan salah satu bagian penting dari kegiatan evaluasi.

Koalisi Prabowo-Sandiaga Bubar Sebelum Waktunya

Menjelang pengumuman Pilpres 2019 yang tinggal beberapa hari lagi, ternyata satu di antara dua kubu pemenangan mengalami keretakan, yaitu kubu Prabowo-Sandiaga, dan dapat dipastikan semakin hari kondisinya akan bertambah parah. 

Bagaimana tidak, relasi di internal mereka yang seharusnya kompak menanti hasil final dari KPU justru renggang, dan mungkin bisa dikatakan sudah bubar sebelum waktunya.

Saat ini kubu Prabowo-Sandiaga terlihat gontok-gontokan satu dengan yang lain. Mereka saling serang karena faktor beda pendapat. Suara mereka pecah, terutama dalam menyikapi hasil sementara perhitungan suara. Ada pihak yang kukuh mengklaim kemenangan dan ada pula pihak yang menganjurkan untuk bersabar menunggu seluruh proses selesai.

Belakangan, pihak yang ramai berseteru itu yakni Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Partai Gerindra menuding Partai Demokrat tidak jelas sikap di dalam koalisi. Partai Demokrat dianggap bermain dua kaki dan setengah hati mendukung Prabowo-Sandiaga.  

Tidak hanya itu, bergabungnya Partai Demokrat ke dalam kubu pemenangan dinilai malah menurunkan perolehan suara. Dan ini diungkap secara terang-terangan ke publik.

"Demokrat sebaiknya keluar saja dari koalisi Adil Makmur. Jangan elitnya dan Ketum kayak serangga undur-undur ya, mau mundur dari koalisi saja pakai mencla-mencle segala. Monggo keluar aja deh, wong enggak ada pengaruhnya menghasilkan suara Prabowo-Sandiaga kok selama ini. Malah menurunkan suara," ujar Arief Poyuono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra (10/5/2019).

Anjuran Partai Gerindra di atas diungkap karena Partai Demokrat tidak sependapat dengan klaim kemenangan Prabowo-Sandiaga yang disebut sebesar 62 persen. Partai Demokrat mengaku bahwa klaim itu sesat dan juga membantah berasal dari hasil survei internal mereka.

"Jadi itu bukan internal yang menyatakan bahwa Prabowo akan menang Pilpres 62 persen, tapi persentase kader Demokrat yang menginginkan berkoalisi dengan Prabowo. Itu bulan Agustus 2018 sebelum ada pendaftaran Pilpres," bantah Ferdinand Hutahaean, Ketua DPP Partai Demokrat (6/5/2019).

Bukan cuma kalangan Partai Gerindra yang merasa panas atas bantahan Partai Demokrat, bahkan seorang tokoh yang juga simpatisan Prabowo-Sandiaga, Kivlan Zein menyerang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan partainya.

"Saya tahu sifatnya mereka ini saling bersaing antara Prabowo dan SBY. Dia tak ingin ada jenderal lain yang jadi presiden, dia ingin dirinya sendiri dan dia orangnya licik. Sampaikan saja bahwa SBY licik. Dia junior saya, saya yang mendidik dia, saya tau dia orangnya licik, dia mendukung 01 waktu menang di tahun 2014," tutur Kivlan Zein (10/5/2019).

Mendengar serangan Kivlan Zein terhadap SBY dan Partai Demokrat, anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade justru menyampaikan pandangan berbeda. Andre membela SBY dan Partai Demokrat.

"Yang jelas kami merasakan Pak SBY dan Demokrat mendukung Pak Prabowo. Itu yang BPN rasakan. Pak Kivlan bukan anggota BPN. Pendapat saya berbeda dengan Pak Kivlan Zein. Pak SBY ingin Pak Prabowo jadi presiden dan PD solid di koalisi. Jadi saya tidak sepakat dengan Pak Kivlan Zein," kata Andre (10/5/2019).

Baiklah bahwa Kivlan Zein bukan anggota BPN, lalu bukankah beliau salah seorang pendukung Prabowo-Sandiaga? Mengapa tanggapan beliau bertolak belakang dengan BPN padahal perjuangannya sama? Apakah Kivlan Zein dapat disebut simpatisan liar yang bermanuver sendiri?

Selanjutnya bagaimana pula dengan Arief Poyuono yang jelas-jelas berada di dalam BPN, yaitu dari Partai Gerindra, bukankah anjuran beliau agar Partai Demokrat keluar koalisi malah memperparah keadaan? Bukankah sikap Arief Poyuono akhirnya sama saja dengan Kivlan Zein?

Sebenarnya beda pendapat di kubu Prabowo-Sandiaga sudah dari awal muncul, bahkan sejak penentuan pasangan capres-cawapres, terutama persoalan dalam memilih sosok cawapres pendamping Prabowo. Pemilihan Sandiaga mengagetkan beberapa partai pendukung. Awalnya bukanlah Sandiaga yang diinginkan mendampingi Prabowo, melainkan seorang ulama. Tapi apa daya, yang dipilih secara tiba-tiba adalah Sandiaga, dan mau tidak mau terpaksa diterima.

Kemudian ditambah lagi dengan misi dari masing-masing partai pendukung yang lebih memprioritaskan kepentingan internalnya, yakni memenangkan Pileg dibanding Pilpres. Dan masih banyak persoalan besar lain yang tidak mungkin dapat diuraikan satu per satu di sini.

Sekali lagi beda pendapat dan haluan di dalam kubu pemenangan Prabowo-Sandiaga sudah lama, maka tidak heran kemudian keadaan rapuhnya semakin hari semakin terasa menjelang pengumuman final KPU. 

Dan andaikata pun nasib baik memihak Prabowo-Sandiaga, misalnya mereka terbukti memenangkan Pilpres 2019, kerjasama dan koordinasi di antara para pendukung dipastikan tidak akan berlangsung hangat dan mulus.

Oleh sebab itu, daripada saling serang-menyerang dan bantah-membantah, alangkah baiknya bagi BPN dan seluruh pendukung Prabowo-Sandiaga menyatukan kembali sikapnya. 

Hasil quick count dan Situng sementara KPU agak menyiratkan bahwa yang akan menjadi pemenang adalah pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Maka dari itu mereka harus mempersiapkan diri menerima kenyataan, apa pun yang terjadi beberapa hari ke depan, entah manis atau pahit. Tidak perlu menuduh pihak tertentu dengan segala macam sikap dan alasan. 

Apalagi jika disampaikan liar, tentu sangat tidak baik. Jangan sampai penilaian buruk masyarakat tertuju kepada mereka. Masyarakat ingin suasana di dalam negeri tetap aman dan damai, termasuk di kubu pemenangan Prabowo-Sandiaga.

***