Jusuf Kalla Bukan Chaplin, Cuma Berbeda dengan Jokowi

jika anak anak Jusuf Kalla ingin melaporkan Ferdinand Hutahahean dan Rudy S. Kamri, itu jelas salah alamat, karena tentu saja JK bukan Chaplin.

Sabtu, 5 Desember 2020 | 12:37 WIB
0
304
Jusuf Kalla Bukan Chaplin, Cuma Berbeda dengan Jokowi
Ferdinand Hutahean dan cuitannya yang diperkarakan Jusuf Kalla (Foto: indonews.id)

Jusuf Kalla tentu bukan Chaplin. Cuma dia segerbong dengan Amien Rais, Anies Baswedan dan Fadli Zon. Beda marwah dengan Presiden Jokowi. Rudy S. Kamri dan Ferdinand Hutahahean menyebut Chaplin – tanpa JK atau Jusuf Kalla. Anak JK berniat lapor polisi. Lucu. Saya punya catatan khusus soal JK. Dari kacamata pengalaman dengan Presiden Jokowi.

Saya paham betul sepak terjang JK. Sejak kasus Ujung Pandang ketika dia memimpin HMI di sana. Sampai dia jadi capres gagal. Lalu jadi wapres dua kali. Intinya, dia politikus oportunis sejati. Sekelas Rizieq Shihab, Anies Baswedan dan Amien Rais.

Suatu saat saya berdiskusi dengan Presiden Jokowi. Saya tanya hal penting. Terkait dengan perilaku dan politik Jusuf Kalla. Dia dijuluki the real president, karena dia berhasil mendikte SBY. Akibatnya, bisnis keluarga Kalla tetap berkibar.

“Bapak Presiden Jokowi, melihat sepak terjang Wapres Jusuf Kalla ketika bersama SBY, apa yang akan Pak Jokowi lakukan untuk mengatasinya?” tanya saya.

Suasana hening. Semua menahan napas mendengar pertanyaan saya. Teten Masduki yang mendampingi Jokowi meletakkan ball-point, dan menatap saya. Seisi ruangan pun menoleh ke arah saya.

“Saya sudah punya formula dan strategi khusus untuk menanganinya. Tenang saja, sudah, sudah, aman,” jawab Jokowi tenang.

Lega. Dan benar. Selama Jokowi memimpin, Jokowi hanya memberikan pekerjaan seremonial. Rapat di PBB dan lainnya. Akibatnya, JK berseberangan dengan Jokowi. Termasuk beda arah politik dengan Jokowi.

Contoh. Mendikbud Anies Baswedan dipecat terkait dengan kasus Pameran Buku di Jerman. Jusuf Kalla dan Amien Rais serta Zulkifly Hasan malah mendorongnya menjadi cagub di DKI Jakarta. Hasilnya, Anies jadi simbol pembangkangan terhadap Pemerintah Pusat.

JK suka ngawur. Dia membiarkan masjid jadi tempat kampanye politik. Pilkada DKI Jakarta 2017 praktik politik identitas paling brutal dalam sejarah NKRI. Kampanye ayat dan mayat. Sampai seorang nenek meninggal dunia tidak disalatkan. Hanya karena dia memilih Ahok.

Maka publik Indonesia paham terhadap maneuver JK. Jokowi, TNI-Polri berjibaku mengatur strategi terhadap kaum radikal termasuk FPI. Dengan enaknya Jusuf Kalla menyebut ada kekosongan kepemimpinan. Dan, dia sebut MRS FPI sebagai pemimpin.

Besar kepala didukung JK, Cendana, dan Cikeas, maka MRS melancarkan kegiatan politik pembangkangan. Rizieq mengerahkan massa penjemputan di Bandara Soekarno-Hatta, Maulid di Petamburan, Tebet dan Megamendung. Dia mengundang 10.000 orang ketika menikahkan anaknya di tengah PSBB. Sampai menutup jalan umum. Show of force yang menakutkan kaum nasionalis.

Baca Juga: Chaplin dan Hitler

Merasa Jusuf Kalla mendukung Rizieq, proxy JK, Anies Baswedan pun menemui Rizieq. Tak lupa kawannya, Donni Monardo dan Erick Thohir, membiarkan pembagian 20.000 masker untuk pernikahan anak Rizieq.

Gelombang dukungan itu membuat Ridwan Kamil pun ingin menemui Rizieq. Juga selentingan Ma’ruf Amin ingin berdialog dengan MRS. Untuk apa urgensi MRS sehingga akan dialog? Apa kapasitasnya? Tak ada.

Kekuatan tanpa batas MRS dan FPI itu dihancurkan oleh Nikita Mirzani dan Firza Hussein. Kata tukang obat meruntuhkan FPI dan MRS. Ditambah langkah fenomenal Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Kini ditambah Kapolda Metro Jaya. 

Dua tindakan yang memicu nasionalisme rakyat bangkit, sehingga menggerakkan langkah perlawanan terhadap kaum radikal, pencopotan spanduk, baliho lambang perlawanan dan pembangkangan hukum oleh FPI dan Rizieq.

Runtuhlah kerajaan FPI akibat ketegasan TNI-Polri. Terlebih Jokowi, Kapolri, Panglima TNI mendukung. Tak pelak runtuh pula nama JK. Karena dia yang koar-koar tentang kekosongan kepemimpinan, dan endorse Rizieq. Jokowi masih memimpin. Senyatanya, tak ada kekosongan. Meski Chaplin sudah tidak ada. Sudah dikubur masa lalu. Tamat.

Maka, jika anak JK ingin melaporkan Ferdinand Hutahahean dan Rudy S. Kamri, salah alamat. Karena JK bukan Chaplin. Dan, Indonesia di bawah pemimpin hebat: Presiden Jokowi. Tentu bukan Chaplin.

Ninoy Karundeng

***