Chaplin dan Hitler

Hitler meninggalkan “politik kumis sikat gigi” dan kejahatannya, yang menjelma dalam segala macam bentuk: kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan moral, kejahatan kemanusiaan.

Minggu, 29 November 2020 | 09:29 WIB
0
345
Chaplin dan Hitler
Hitler dan Chaplin (Foto: majorten.com)

Satu

Ternyata Charlie Chaplin dan Adolf Hitler, lahir pada bulan yang sama dan tahun yang sama pula. Chaplin lebih tua empat hari. Chaplin dilahirkan pada tanggal 16 April 1889 di London, Inggris dengan nama Charles Spencer Chaplin; sementara Hitler dilahirkan pada tanggal 20 April 1889 di Braunau am Inn, dan diberi nama  Schicklgruber.

Ciri khas keduanya sama: berkumis model sikat gigi (Toothbrush moustache). Kumis sikat gigi adalah kumis model pendek yang tidak menutupi seluruh bibir atas seperti kebanyakan gaya lainnya. Kumis terletak di tengah filtrum. Lebar pastinya bervariasi dari orang ke orang dan biasanya ditentukan oleh lebar lubang hidung individu dan dicukur secara vertikal, tidak meruncing.

Tokoh lain yang mempunyai kumis model sikat gigi ini misalnya, Charles de Gaulle (1890-1970) negarawan Perancis. Tetapi, ia kemudian mengganti model kumisnya karena tidak mau sama dengan Hitler. Selain de Gaulle, tokoh lainnya yang berkumis sikat gigi adalah Georgy Zhukov (1896-1974), pahlawan PD II Uni Soviet, yang memimpin serangan Rusia ke Berlin. Sama dengan de Gaulle, Zhukov juga kemudian menghilangkan kumis model sikat gigi, karena tidak mau sama dengan Hitler. Komedian AS, Oliver Hardy (1892-1957)  juga berkumis model sikat gigi.

Tentu, masih banyak orang—baik itu politisi, pedagang, pelawak, artis, atau rakyat kebanyakan—yang berkumis model sikat gigi seperti itu. Akan tetapi, orang lebih mengasosiasikan kumis model seperti itu sebagai kumis Chaplin, bukan kumis Hitler, meskipun bisa jadi watak orang yang berkumis seperti itu lebih mirip dengan Hitler ketimbang Chaplin.  

Padahal, Chaplin bukanlah orang pertama yang berkumis model sikat gigi. Namun, Chaplin-lah yang membuat  Toothbrush moustache ini terkenal. Menurut  cerita, pertama kali raja komedi ini memakai kumis model sikat gigi pada tahun 1915 saat main dalam film bisu The Tramp. Dalam film itu ia memainkan peran karakter gelandangan.

Dalam sebuah wawancara pada tahun 1933, Charlie Chaplin mengakui bahwa kumis model sikat gigi itu adalah pilihan terbaiknya. Karena jenis model kumis ini terlihat lucu, maka aktor berkebangsaan Inggris itu berharap bisa membuat penontonnya tertawa. Dan, memang lucu. Selain itu, kumisnya yang sangat mungil ini tidak bisa menyembunyikan emosi wajah Charlie Chaplin saat tampil.

Sementara Hitler dengan toothbrush moustache, tidak membuat dia menjadi lucu. Tetapi, justru sebaliknya: menyeramkan. Hingga ada yang mengatakan bahwa kumis Hitler adalah kumis paling menyeramkan dalam sejarah.

Semula, Hitler juga tidak berkumis model sikat gigi. Ia senang model kumis Bavaria yang sedang menjadi mode pada masa itu. Model kumis Bavaria—bagian tengah bagiah bawah hidung tebal dan kedua ujung kiri dan kanan melengkung ke atas, sehingga sering secara guyon dikatakan bisa untuk menggantungkan topi—juga sering disebut sebagai Rotzbremse, “penghalang ingus”, disebut juga Zweifinger (dua jari).

Tetapi, komandannya di Divisi Invanteri Bavaria, menganjurkan agar Hitler ganti model kumis agar tidak menyulitkan saat mengenakan masker gas. Saran itu diikuti. Hitler memilih kumis model sikat gigi, yang sudah dahulu dipopulerkan oleh Charles Chaplin.

Dua

Ada banyak model kumis. Ada yang menyebut 26 model. Tetapi, ada pula yang menyebutkan lebih dari 26 model. Misalnya, kumis model Turki yakni dibiarkan panjang ke kiri kanan, model Salvador Dali (kaku menjulang ke atas), model Albert Einstein (nggak teratur seperti semak-semak), model Freedy Mercury (kumis rapi seperti tanda pangkat), model sepatu kuda seperti kumisnya Hulk Hogan, dan model-model lainnya yang puluhan.

Setiap model kumis, konon, ada filosofinya. Misalnya, kumis yang ekstrem panjang seperti rambut perempuan, menandakan kebijaksanaan, kedewasaan dan kesucian. Sementara gaya yang tidak ekstrim tetapi terkontrol tetap sebagai ekspresi dari norma budaya.

Menurut sejarah perkumisan (Lucinda Hawksley,BBC), di abad pertengahan, di Inggris kumis menjadi simbol fesyen. Ketika Raja James I (1566-1625) naik takhta Inggris, dia bangga dengan kumisnya yang rapi. Putranya, Raja Charles I, menjadikan kumis dan jenggot menjadi ikonik, dan ini ditiru oleh setiap pria pada masa itu.

Maka itu diceritakan, karena kumisnya tidak begitu lebat, Oliver Cromwell (1599-1658) —pemimpin militer juga pemimpin perang saudara dan negarawan Inggris—memimpin revolusi. Cromwell salah seorang tokoh yang menandatangani surat perintah hukuman mati atas Raja Charles I pada tahun 1649.

Ada sebuah kisah, pada akhir abad ke-17, terutama laki-laki Rusia membiarkan kumis dan jenggotnya memanjang. Ini gara-gara Tsar Peter Agung memberlakukan pajak kumis dan jenggot. Tetapi, pada awal tahun 1800-an, orang mulai lagi senang memelihara kumis; dan muncul model baru, kumis melengkung ke atas dan seringkali disambungkan dengan jambang. Lalu muncul model kumis tipis, orang menyebutnya kumis pensil, karena setipis coretan pensil.

Tetapi, pada tahun 1854, model kumis dan jenggot berubah lagi, setelah pecah Perang Krimea (Crimea). Ketika perang berakhir (1856), tentara senang kembali berkumis dan berjenggot tebal. Kumis dan jenggot tebal dianggap sebagai lambang kepahlawanan. Bukan tentara saja yang kemudian berkumis dan berjenggot tebal dan lebat, panjang. 

Bahkan Charles Darwin (1809-1882) berpendapat bahwa kumis dan jenggot adalah lambang daya tarik laki-laki bagi para perempuan. Namun, pada akhir abad ke-19, jenggot tidak lagi populer, misalnya di Inggris, kecuali kaum konservatif saja yang masih senang berjenggot.

Di zaman itulah—akhir abad ke-19—di Amerika dan Eropa Barat mulai populer kumis model sikat gigi. Kumis model sikap gigi ini (toothbrush moustache) menggantikan kumis panjang dan flamboyan yang biasa dimiliki para bangsawan Eropa dan pengusaha Amerika. Kumis model sikat gigi biasanya dipilih oleh kalangan kelas bawah, karena perawatannya lebih sederhana dan murah. Tetapi kemudian, menjadi simbol revolusi, karena menjadi pilihan para buruh, pekerja pabrik.

Pada suatu masa, di seluruh Eropa dan Amerika ada peraturan para pria berjenggot tidak boleh mengurusi makanan dan pasien di rumah saskit. Maka, penampilan pria pada masa itu pun kembali bersih, kumis dan jenggot dicukur rapi. Perang—PD I—juga menjadi lantaran orang (terutama tentara) tidak berkumis dan berjenggot panjang, karena merepotkan saat harus mengenakan marker gas. Dan, hanya tentara berpangkat tertentu saja yang diizinkan berkumis.

Setelah perang, kumis rapi menjadi simbol manusia moderen. Pada tahun 1920, novelis Agatha Christie menerbitkan novel kriminal pertamanya, The Mysterious Affair at Styles. Lewat novel ini, ia mempekenalkan tokoh seorang detektif Belgia berkumis, Hercule Poirot.

Tiga

Suatu ketika, salah seorang teman dekat Hitler, Erns “Putzi” Hanfstaengl mendesaknya agar mencukur kumis “jelek” itu. Hitler menjawab, “Jika saat ini tidak model, tidak masalah. Sebab, nanti saya akan dikenang sebagai orang berkumis model sikat gigi.”

Benar. Orang mengenal Hitler karena model kumisnya itu.

Bahkan, kumis sikat gigi (toothbrush moustache) yang semula oleh Charlie Chaplin dipilih biar wajahnya kelihatan lucu, dan orang tertawa, telah berubah menjadi lambang tirani di Eropa, lambang genosidal atas orang-orang Yahudi; lambang kekejaman; lambang kekuasaan malah most powerful (Vanity Fair, November 2007).

Tidak salah kalau kemudian orang mengatakan bahwa toothbrush moustache, kumis sikat gigi adalah milih dua orang: Charlie Chaplin dan Adolf Hitler. Dua tokoh yang sangat kontradiktif: yang satu simbol kelucuan, bahkan paling lucu, sedangkan satunya adalah simbol kejahatan, paling menakutkan.

Karena Hitler—bukan karena Charlie Chaplin—kumis sikat  gigi menjadi simbol kejahatan abad ke-20. Lalu orang bertanya: apakah kumis memengaruhi sejarah, atau apakah itu hanya masalah gaya? Apakah itu melekat pada seseorang dan membuatnya gila? Apakah pria yang bertanggung jawab, atau kumis yang membuat keputusan?

Sejarawan dan wartawan, Ron Rosenbaum berpendapat bahwa kehadiran “ciri khas” Chaplin di wajah Hitler mendorong para pemimpin Barat untuk meremehkan Führer. “Kumis Chaplin menjadi lensa untuk melihat Hitler,” tulisnya.

Maka itu, kumis sikat gigi akhirnya hanya menjadi simbol Hitler, yang adalah simbol kejahatan (yang amat dibanggakan oleh Robert Mugabe, misalnya); bukan hanya simbol tapi totem Hitler.  Pada mulanya kumis sikat gigi adalah lambang kelucuan, sesuatu yang menghibur, mungkin juga ketololan yang menyenangkan, juga kedunguan yang membahagiakan; tetapi berubah menjadi lambang kejahatan. Orang tidak lagi tertawa melihat kumis sikat gigi, tetapi takut.

Ketika Hitler mati bunuh diri bersama kekasihnya Eva Anna Paula Hitler atau Eva Braun tahun 1945, kumis sikat gigi mati juga, ikut dikubur. Tetapi, Hitler meninggalkan  “politik kumis sikat gigi” dan kejahatannya, yang menjelma dalam segala macam bentuk: kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan moral, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agama, kejahatan sektarian, dan lain sebagainya. Kejahatan muncul dalam banyak wajah, dalam banyak topeng, dan jubah, pakaian.

Itulah sebabnya muncul peribahasa musang berbulu domba: seperti Charlie Chaplin padahal Adolf Hitler.

***

Trias Kuncahyono