Meski RUU HIP dibatalkan dari Prolegnas, namun itu tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak terkait, terutama partai pengusul dan aktor intelektual.
Selanjutnya, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol menunjuk pada keberadaan Parpol yang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Jadi, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol terkait dengan Pasal 107e huruf a dan Pasal 107a UU Keamanan Negara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ketiga pasal itu tergolong delik formil, yakni perbuatan yang tidak mempersyaratkan/membutuhkan adanya suatu akibat tertentu.
Kedua, Pasal 107d UU Keamanan Negara. Pasal ini merupakan delik pemberat atau delik spesialis dari Pasal 107a. Pada Pasal 107a atas perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila.
Pelaku hanya melakukan menyebarkan atau mengembangkannya. Tidak demikian halnya dengan Pasal 107d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme ”dengan maksud” mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara.
Sama halnya dengan Pasal 107a pembentuk UU menambahkan frasa ”dan atau melalui media apapun” mengandung pengertian yang luas. Menurut Abdul Chair Ramadhan termasuk dalam kaitan perumusan rancangan undang-undang (in casu RUU HIP).
“Sepanjang dilakukan dengan maksud itu mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, maka Partai pengusul RUU HIP bisa dijerat dengan Pasal 107d,” ujar Abdul Chair Ramadhan.
Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila, maka kesengajaan sebagai maksud memang diarahkan guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.
“Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP). Dengan demikian, posisinya menggantikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya terjadi perubahan posisi (mutasi) sila,” tegasnya.
Hal ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tergantikannya dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”.
Dalam kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka terjadinya perubahan demikian memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme -Komunisme.
Kemudian perihal ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIP (Pasal 7 ayat 2 RUU HIP) melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.
Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu tidak menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan merubah atau mengganti Pancasila (in casu Ketuhanan Yang Maha Esa). Pasal 107d juga tergolong delik formil.
Ketiga, Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri;
Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Sepanjang Parpol melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 107e huruf b, maka delik telah selesai. Delik ini tak memerlukan adanya suatu akibat atas hubungan dengan organisasi di luar negeri;
“Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dengan demikian tak perlu menunggu terjadinya perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara (delik formil),” ungkap Abdul Chair Ramadhan.
Empat, Pasal 156a huruf a KUHP menunjuk pada rumusan RUU HIP yang mengandung sifat penodaan suatu agama.
Penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia adalah melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai sebagai menodai agama tersebut. Penodaan di sini mengadung sifat penghinaan, melecehkan atau meremehkan dari suatu agama (in casu Islam).
Perbuatan konkrit dalam RUU HIP adalah mengganti kedudukan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Keadilan Sosial.
Sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat 1 RUU HIP yang menyatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Oleh karenanya, menempatkan sila Keadilan Sosial pada posisi sila pertama dan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada posisi yang paling bawah (sila ke-5).
Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi melingkupi, mendasari dan menjiwai sila-sila lainnya. Kemudian, Ketuhanan Yang Maha Esa digantikan dengan ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP.
Rumusan demikian termasuk penodaan terhadap agama dalam hal ini terhadap Allah SWT. Selain itu, agama tidak termasuk dalam pembangunan nasional. Agama hanya menjadi sub-bidang dari pembangunan nasional disandingkan bersama rohani dan kebudayaan (Pasal 23 huruf a RUU HIP).
Pembinaan agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing (Pasal 23 huruf a RUU HIP).
“Rumusan demikian terkait dengan paham ketuhanan yang berkebudayaan. Agama hanya menjadi alat pembentukan mental dan kebudayaan,” tegas Abdul Chair Ramadhan.
Kedudukan agama semakin termarginalisasi, hanya untuk mental dan kebudayaan. Pasal 1 angka 10 RUU HIP menyebutkan, “tata Masyarakat Pancasila yang berketuhanan”, tanpa sebutan, “Yang Maha Esa”.
Tata Masyarakat Pancasila bertujuan membentuk Manusia Pancasila (Pasal 12 ayat 1 RU HIP). Ciri Manusia Pancasila disebut, “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Pasal 12 ayat 3 huruf a RUU HIP. Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” telah mengalahkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama Islam akan semakin termarginalkan, harus berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal 156a huruf a KUHP juga termasuk delik formil.
Kelima, Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menunjuk pada adanya suatu perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Berita atau pemberitahuan bohong ini terkait dengan keberadaan Keadilan Sosial yang disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila. Padahal yang menjadi sendi pokok adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal ini memang termasuk delik materil yang mempersyaratkan harus adanya keonaran di kalangan masyarakat. Padahal faktanya, pengusulan RUU HIP sebagai hak inisiatif telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat secara meluas.
Berbagai Ormas besar seperti MUI Pusat dengan MUI Daerah, PBNU, PP Muhammadiyah dan lain-lainnya telah menyatakan sikap penolakan dan meminta dihentikannya pembahasan RUU a quo.
Kesemuanya itu telah menunjukkan fakta terjadinya kegaduhan/kegemparan yang demikian sangat. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai aksi demontrasi yang demikian meluas di berbagai wilayah dalam rentang waktu yang cukup lama.
Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menentukan perbuatan “dengan sengaja”. Hal ini bermakna terjadinya keonaran melingkupi tiga corak (gradasi) kesengajaan yakni “dengan maksud”, “sadar kepastian” atau “sadar kemungkinan”.
Ketiga corak kesengajaan tersebut bersifat alternatif. Pada suatu kondisi, timbulnya akibat berupa keonaran walaupun tidak dikehendaki, namun menurut doktrin harus dipertanggung-jawabkan secara hukum pidana.
Tidak dikehendakinya akibat yang berujung pertanggungjawaban pidana menunjuk pada corak kesengajaan sadar kepastian atau sadar kemungkinan. Perihal dengan sengaja ini juga berlaku pada Pasal 156a huruf a KUHP.
Kesemua rumusan tindak pidana tersebut di atas berhubungan dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (delik penyertaan). Pada delik penyertaan, antara satu peserta dengan peserta yang lainnya adalah satu kesatuan.
Jadi, trdapat dua bentuk kesengajaan dalam penyertaan. Pertama, elemen melawan hukum subjektif yakni sikap batin diantara para pelaku. Kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik.
Kedua, elemen melawan hukum objektif. Adanya kerjasama yang nyata dalam mewujudkan delik. Delik penyertaan tersebut bukanlah perluasan perbuatan pidana namun perluasan pertangungjawaban pidana.
Jadi, “Kesemua pihak yang terlibat dalam pengusulan RUU HIP harus bertanggungjawab,” tegas Abdul Chair Ramadhan.
Menurutnya, meski RUU HIP telah dihentikan/dibatalkan dari Prolegnas, namun hal tersebut tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak-pihak terkait, terutama Partai pengusul dan aktor intelektualnya.
Artinya, petugas Kepolisian harus tetap memproses LP dari TAKTIS. Bukan lagi Dumas!
(Bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews