FX Rudy Curhat soal Jokowi, Gibran hingga Megawati

Kalau Gibran masuk lewat pintu lain di PDIP, dia menyerahkan sepenuhnya kepada DPP. Rudy percaya Megawati sebagai ketua umum akan mengambil keputusan yang sebijak mungkin.

Rabu, 20 Mei 2020 | 12:02 WIB
0
642
FX Rudy Curhat soal Jokowi, Gibran hingga Megawati
FX Hadi Rudyatmo (Foto: fakta.news)

Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo belakangan ini terkesan frontal dalam mengkritisi beberapa kebijakan Presiden Joko Widodo. Ia misalnya menyebut pelarangan mudik lebaran pada pertengahan April lalu sebagai kebijakan yang terlambat. Juga meminta agar Presiden membatalkan kenaikan iruan BPJS.

Tentu terlalu naif bila menganggap kritik tersebut sebagai keberpihakan terhadap masyarakat kecil semata. Ada yang menyebut kevokalan Rudy menyikapi iuran BPJS terkait dengan kian susutnya anggaran kota Solo di tengah pandemi. Tudingan lain yang paling gampang adalah mengaitkannya dengan pilkada Kota Solo.

Soal kenaikan iuran BPJS, Rudy mengaku harus merogoh kas Rp6 miliar perbulan untuk mensubsidi warga miskin. Jumlah itu dipastikan akan bertambah karena warga miskin meningkat akibat pandemi. “Makanya untuk Juni sampai Desember saya ngutang saja,” ujarnya.

Rudy sadar sikap kritisnya akan dimaknai macam-macam. Dia mengaku dalam posisi dilematis. Bila diam saja terhadap kebijakan Jokowi yang menurutnya tidak tepat, dia merasa salah. Sekalinya bicara tetap dianggap salah.

Akhirnya dia memutuskan untuk tetap bicara meski berisiko menghadapi kemarahan para pendukung Jokowi. “Lebih baik saya disalahkan orang waras daripada disalahkan orang sakit,” ujarnya.

Tapi kenapa tidak berbicara langsung ke Jokowi sebagai sahabat lama?

Mendapat pertanyaan itu, FX Rudy langsung menukas bahwa dirinya tak lagi punya hotline kepada sang Presiden. Kondisi berbeda dengan lima tahun sebelumnya.

“Saya sudah terseleksi,” ujarnya dengan senyum lebar yang terasa hambar. Toh begitu, secara pribadi dan kedinasan hubungan pribadinya tetap baik. Cuma lebih formal, protokoler. Lelaki kelahiran Solo, 13 Februari 1960 merasa harus tahu diri. Di pasif. Tak bisa lagi slanang-slonong ke istana.

Tak jelas benar sejak kapan hubungan yang formal-protokoler itu mulai terjadi. Mungkin sejak Rudy kukuh menutup pintu pencalonan walikota Solo untuk Gibran Rakabuming, putra sulung sang Presiden.

Sebagai orang yang meniti karir politik dari bawah sejak 1977, Rudy yang cuma lulusan STM Penerbangan, 1976-1979 itu merasa dirinya harus taat aturan. Dia tak bersedia meninjau ulang pencalonan Purnomo–Teguh Prakosa, dan menyisipkan nama Gibran.

Sikap kukuh itu terus diperlihatkan meski para petinggi PDIP coba merayunya. Pun ketika Sekretaris Negara M. Pratikno menemui, termasuk Jokowi yang langsung menyampaikan bahwa Gibran minat menjadi walikota. Rudy merespons secara normatif. Sebagai warga negara Gibran punya hak untuk mencalonkan diri. Hanya saja calon dari PDIP Kota Solo sudah ditetapkan: Purnomo–Teguh Prakosa.

“Kalau dari awal ada info dia berminat, tentu pengurus ranting dan cabang akan menyuarakannya. Tapi kan saya dengarnya dia cuma mau berbisnis, baru belakangan mau ke politik,” kata Rudy.

Tanpa bermaksud meremehkan kemampuan Gibran, dia merujuk perjalanan karir pribadinya di kancau politik. Rudy melakoninya bertahap dari tingkat pengurus RT, RW, LKMD, hingga DPRD, wakil walikota, dan kini walikota. Ada proses dan kesabaran. Ada dedikasi dan loyalitas terhadap organisasi.

Kalau pun kemudian Gibran masuk lewat pintu lain di PDIP, dia menyerahkan sepenuhnya kepada DPP. Rudy percaya Megawati sebagai ketua umum akan mengambil keputusan yang sebijak mungkin.

Andai keputusan tak sesuai dengan harapannya?  “Berpolitik dan masuk partai itu harus siap kecewa dan dikecewakan. Siap dibuang, siap dibunuh, dan siap di bui,” tandas Rudy.

***