RUU KPK, Jebakan Batman buat Jokowi

Kini KPK gaya-gayaan mengirim surat ke Jokowi. Jokowi diminta menolak revisi UU KPK. Padahal yang senyatanya terjadi wewenang juga tidak digunakan sepenuhnya oleh KPK.

Rabu, 11 September 2019 | 05:39 WIB
0
486
RUU KPK, Jebakan Batman buat Jokowi
Penutupan KPK oleh pegawai (Foto: Fajar.co.id)

Ya. Soal RUU KPK adalah jebakan buat Jokowi. Penegakan hukum oleh KPK jilid ini masih memble. Tidak ada kasus top yang ditangani. Justru yang terjadi adalah penguatan KPK sebagai lembaga ad hoc yang menjadi sarang kepentingan. Bahkan ke permukaan muncul faksi-faksi.

Belakangan muncul resistensi dari KPK untuk berubah. Gonjang-ganjing Novel Baswedan menjadi warna publik melihat hakikat KPK, KPK yang sebenarnya. Namun, catatan buat KPK tetap buruk.

Lembaga anti rasuah ini juga mengikuti trend menghukum maling, pencoleng, pengkhianat negara, begundal, dengan hukuman ringan, di bawah 4 tahun. Hukuman bagi para maling pun rerata cuma 1-4 tahun di negeri ini, menurut penelitian ICW. Nah, KPK ikut trend ini. Tak ada bedanya dengan lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.

Kepentingan faksi terlihat jelas di KPK. Wewenang hebat super body tidak dipakai maksimal. Masih sering muncul kesalahan dan kekonyolan. Contoh, kasus Budi Gunawan. Kasus RJ Lino. Kasus Hadi Poernomo. Kok bisa kalah KPK? Penyebabnya jelas dari KPK sendiri tidak mampu memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan penegakan hukum yang cerdas.

Kegagalan menuntaskan kasus, atau kekalahan melawan orang yang sudah menjadi tersangka, menjadi bahan tertawan orang awam. Betapa tidak, lembaga super body yang di atas hukum, gagal mengantisipasi lubang kesalahan. Hingga yang terjadi KPK kalah di pra-peradilan, atau menggantung kasus (karena ada kepentingan apa?) seperti RJ Lino.

KPK Lemahkan Diri Sendiri 

Artinya KPK telah menodai diri sendiri dengan kegagalan. Ya kegagalan menggunakan wewenang hebat dirinya. Padahal selama ini catatan KPK adalah selalu menang. Maka sinyalemen melemahkan diri sendiri – dengan kinerja – yang amburadul, hingga kalah di peradilan adalah sangat menyesakkan bagi upaya pemberantasan korupsi.

Kini KPK teriak-teriak menolak revisi UU KPK. Lah selama ini tidak memanfaatkan kekuatan maksimal. Masih bolong-bolong dan salah. Wewenang full penyadapan hanya dimanfaatkan untuk menangkap maling kelas cere, kelas teri. Ini di luar kasus besar orang terkuat Indonesia, the untouchable Setya Novanto.

Namun, kasus mega besar politis skandal Bank Century gagal disentuh. Takut. Padahal kasus itu akan membuka tabir lebih dalam menggempur mafia yang telah bercokol 40 tahun. Bisa masuk ke Hadi Poernomo dan lain-lain.

Baca Juga: Mengapa KPK Mengusik Kembali Kasus BLBI?

Kasus BLBI pun seharusnya menyasar penuh ke seluruh penjuru. Bukan hanya ditujukan ke pihak-pihak tertentu. KPK gagal mengawal dan menggunakan wewenangnya. Klumprak-klumpruk. Hal ini ditambah lagi militansi campur tangan anak-anak buah KPK seperti paguyuban karyawan. Bertindak membela kepentingan institusi KPK di luar pembicaraan dari Juru Bicara KPK. Ini menunjukkan resistensi dari dalam KPK yang sudah nyaman, tidak mau keluar dari comfort zone, wilayah nyaman.

Kini KPK gaya-gayaan mengirim surat ke Jokowi. Jokowi diminta menolak revisi UU KPK. Padahal yang senyatanya terjadi wewenang juga tidak digunakan sepenuhnya oleh KPK.

Soal penyadapan misalnya, yang selama ini bebas dilakukan oleh KPK, gagal menangkap mega korupsi. Kalau hanya korupsi kelas cere Romy PPP, senilai Rp260 juta. Wahaha. KPK tidak masuk ke ranah lebih dalam. Misal dugaan kasus Anies Baswedan selama di Mendiknas, pameran buku di Jerman dengan nilai M-M-man.

Nah, di tengah prestasi buruk KPK itu, kini DPR mengajukan revisi UU KPK. Kesempatan bagi KPK untuk lempar bola panas. Minta kewenangan menyadap, mengangkat pegawai, pengawas KPK, dll. yang menjadi sumber kekuatan KPK.

Kata KPK, jika terjadi revisi UU KPK maka ada sembilan hal yang berpotensi melemahkan KPK. Yakni, independensi KPK terancam, penyadapan sulit dan dibatasi, dewan pengawas dibentuk, asal pegawai penyidik dibatasi, penuntutan korupsi berkoordinasi dengan Kejagung, tidak ada kriteria kasus yang menyedot perhatian publik, kewenangan pengambilalihan perkara di tingkat penuntutan dibabat, penuntutan dihilangkan, wewenang mengelola laporan LHKPN dibabat.

Nyatanya, selama ini seluruh wewenang ada dan dimiliki, namun tetap saja kinerjanya memble. Tidak ada gigi. Mana BLBI? Mana Hadi Poernomo? Mana RJ Lino? Mana kasus Bank Century? Maka menolak revisi UU KPK hanyalah political move untuk menutupi kegagalan KPK sendiri.

Jebakan Batman buat Jokowi 

Nah, di sisi lain DPR pun juga ketakutan dengan UU KPK. Faktanya banyak sekali anggota DPR/DPRD yang masuk bui gegara KPK. Dari kelas teri ke kelas tongkol – minus kakap. Maka, melemahkan KPK, bahkan memberangus KPK pun bisa. Karena KPK adalah badan ad hoc di bidang hukum. Bukan badan permanen.

Kesempatan ini muncul. Melihat KPK tidak bergigi dengan kinerja yang dianggap tebang pilih, maka DPR dengan entengnya memanfaatkan situasi. Ke mana lagi kalau bola liar ini tidak disampaikan ke Pakde, ke Jokowi.

Baca Juga: Pegawai KPK, Jangan Ajari Rakyat Korupsi!

DPR yang hampir habis waktu kerjanya pun melakukan jebakan batman ke Jokowi. Biar Jokowi dianggap melemahkan KPK, kalau dia setuju RUU dibahas.

KPK mendapat angin. Untuk menutupi kinerjanya yang buruk, KPK melempar permohonan agar wewenang KPK tidak dipreteli kepada Jokowi. Jika Jokowi mengirim surat ke DPR untuk membahas RUU, maka Jokowi dianggap melemahkan KPK.

Tidak dipreteli wewenangnya saja, kinerja KPK payah. Apa tidak sekalian dibubarkan saja? Kalau menghukum dan menindak maling dan begundal, pengkhianat negara, seperti Patrialis Akbar saja hanya 8 tahun bui. Bukan seperti jilid sebelumnya menghukum Akil Mochtar seumur hidup.

So? Jokowi harus bagaimana untuk menghindari jebakan Batman KPK dan DPR? Untuk DPR? Jokowi tidak usah mengirim surat untuk membahas revisi UU KPK. Untuk KPK? KPK disuruh beresin kinerjanya. KPK disuruh hilangkan faksi-faksi yang berkembang di internal KPK: KPK Taliban, dsb., seperti yang disebut Neta S. Pane.

Ninoy N Karundeng, penulis.

***