Zaken Kabinet, Mungkinkah?

Kalau porsi pemerintahannya terdiri dari sebagian besar profesional yang ditambal dengan orang partai, maka zaken kabinet yang didambakan bisa saja terwujud.

Rabu, 8 Mei 2019 | 10:04 WIB
0
469
Zaken Kabinet, Mungkinkah?
Kabinet Jokowi (Foto: Detik.com)

Di tengah kegaduhan politik pasca-pencoblosan Pemilu serentak kemarin, kini mulai kencang berhembus kabar evaluasi kinerja di tubuh kabinet kerja Jokowi, yang juga digadang-gadang bakal menjadi langkah awal kabinet Indonesia Maju di masa akan datang. Meskipun sebelumnya eskalasi isu reshuffle Kabinet Kerja sudah berjilid-jilid, namun rasanya Jokowi tak bosan untuk terus meracik kabinet terbaiknya.

Muncul pula interpretasi kritis sejumlah pihak yang mengendus adanya dampak politik akomodatif ala Jokowi yang mau tak mau harus menyediakan kursi bagi koalisi barunya. Di sisi lain, perombakan formasi ini dianggap niscaya bagi Jokowi karena beliau ingin mempertimbangkan pendatang baru dalam kabinetnya, terutama kaum milenial.

Baca Juga: Tak Ada Lagi Reshuffle, Anggota Kabinet Jangan Berpolitik!

Tak peduli plus-minusnya nanti, sebenarnya secara substansial, langkah evaluasi kinerja ini sangat penting dilakukan Jokowi lantaran performa beberapa kementrian sudah mulai melempem, di antaranya kinerja menteri perhubungan yang dianggap publik tak lagi bertaji untuk mengendalikan perusahan maskapai yang melambungkan harga tiket.

Kalau reformulasi ini dilakukan, barangkali tujuan Jokowi adalah untuk mendapatkan gambaran seputar akuntabilitas penggunaan anggaran (result oriented goverment). Poole, Seibold dan McPhee dalam bukunya A Structurational Approach to Theory Building in Group Decision Making Research (1986), memandang perlu adanya refleksivitas dalam setiap upaya membangun perbaikan birokrasi.

Refleksivitas merujuk pada kemampuan memonitor tindakan-tindakan dan perilaku di birokrasi. Ada dua kesadaran yang harus digalakan, yakni kesadaran berwacana dan kesadaran praktis. Konsep, ide, gagasan dan perencanaan saja tak cukup, harus diimplementasikan dalam sejumlah program nyata yang secara objektif bisa dirasakan kemanfaatannya (Heryanto; 136).

Selain itu, merombak kabinet juga menjadi kebutuhan akan sirkulasi elit yang kurang produktif bekerja. Dalam perspektif Vilpredo ParetoThe Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite itu digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respon institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan.

Sampai di sini, bisa kita prediksi bahwa perbaikan kabinet kali ini bukan sekadar bongkar pasang elite saja, melainkan lebih dari itu.

Pertama, upaya mengamankan fase transisi. Paling tidak, Jokowi sudah mulai berbenah sebelum kesempatan periode kedua jatuh ke tangannya nanti.

Kedua, Jokowi mencari formula kabinet yang minim risiko penentangan dari masyarakat. Sehingga, menjadi tak aneh kalau Jokowi kini mulai melirik anak-anak muda potensial untuk menduduki jabatan di kabinet. Mungkinkah? Ya, mungkin saja.

Baca Juga: Jika Kalah, Sandiaga Sebaiknya Bergabung di Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin

Ketiga, ada skema participative government, dimana masyarakat diajak aktif dalam pemerintahan. Menurut Guy Peter (2001), model ini berupaya memberi ruang pelibatan masyarakat dalam peningkatan kemampuan birokrasi dan pelayanan. Model ini tentu hanya bisa direalisasikan jika Jokowi mampu membentuk kebinet kerja atau kabinet ahli (zaken cabinet) sebagaimana diharapkan banyak orang. Hanya saja, ini bisa menghambat lajunya tokoh-tokoh muda yang mungkin baru hanya cocok sebagai publik figur namun belum tepat menjadi pejabat publik.

Keempat, menyiapkan skema pemerintahan lima tahun ke depan. Yes, bukan Jokowi namanya kalau tidak berpikir jauh ke depan dengan melihat struktur peluang yang dimiliki masing-masing parpol. Bukan untuk membagi kue kemenangan, namun memperkuat efek besar di parlemen nanti jika dinyatakan menang dalam pilpres 2019 ini.

Kelima, menyiapkan tenaga profesional yang berintegritas untuk memimpin 5 tahun ke depan di bawah komando Jokowi sebagai kapten “kapal” bernama Indonesia. Namun, lagi-lagi ini sangat ideal dalam membentuk zaken kabinet alias kabinet profesional. Mengapa? Sebab pastilah parpol punya jatah terkait posisi-posisi strategis seperti kementerian, sehingga kalaupun dipaksakan mungkin bisa 60:40 untuk formasi profesional dan orang partai.

Nah, kalau porsi pemerintahannya terdiri dari sebagian besar profesional yang ditambal dengan orang partai, maka zaken kabinet yang didambakan bisa saja terwujud. Mungkinkah?

Bisa jadi!

***