Sistem Tertutup Maupun Terbuka Hasilnya Sama Saja, "Kucing Kurap"

Selasa, 12 Maret 2019 | 12:06 WIB
0
1035
Sistem Tertutup Maupun Terbuka Hasilnya Sama Saja, "Kucing Kurap"
Kucing (Foto: Puisi Romantis)

Gambar atau foto-foto para calon legislatif atau caleg, baik DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD menghiasi jalananan. Dengan berbagai ukuran foto atau gambar. Ada yang paket "hemat" dan ada yang paket "jor-joran". Tergantung kantong atau logistik masing-masing para caleg.

Gambar atau foto-foto para caleg dengan bergagai gaya itu sebenernya malah merusak pemandangan di jalanan atau perempatan. Baik di perkotaan atau kabupaten atau provinsi di seluruh Indonesia. Bahkan jalan perumahan atau gang-gang juga penuh gambar atau foto-foto para caleg.

Tiang rambu-rambu lalu lintas seakan menjadi media gratis untuk memasang foto dan gambar bagi para caleg. Tiang listrik dan tiang telepon juga tak luput dari gambar dan foto para caleg. Bahkan satu tiang listrik atau telpon bisa terpasang 3 sampai 5 gambar atau foto para caleg. Sehingga terkesan menjadi semrawut dan merusak pemandangan. Dan ini terjadi hampir di setiap daerah kabupaten dan kota atau provinsi.

Inilah resiko atau konsekuensi dari sistem terbuka atau proporsional dalam pemilihan calon lagislatif, baik di DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD.

Semua caleg berlomba-lomba mendekati pemilih dan mengais-ngais suara. Satu suara amat berarti atau berharga bagi para caleg.

Dulu, sistem pileg atau pemilihan legislatif memakai sistem tertutup. Masyarakat memilih tanda gambar partai saja. Jadi lebih sederhana, masyarakat tidak pusing dalam memilih. Tetapi ada anggapan dari para aktivis atau masyarakat terdidik, sistem pemilihan tertutup seperti membeli kucing dalam karung. Dan ini dianggap sebagai kelemahan, karena masyarakat tidak bisa memilih sesuai dengan keinginannya dan nuraninya.

Dan sistem pemilihan tertutup hanya menguntungkan petinggi partai atau kader yang dekat petinggi partai atau keluarganya dalam penempatan nomor urut penentuan caleg. Karena caleg nomor urut 1,2,3,4 yang lebih berpotensi terpilih menjadi anggota DPR,DPRD I dan DPRD II.

Karena dulu ada caleg  yang menggugat sistem pemilihan secara tertutup ke Mahkamah Konstitusi atau MK, maka MK mengeluarkan keputusan atau merobah dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka.

Pemilihan sistem terbuka seperti pasar bebas dan dianggap membeli kucing di luar karung, bukan membeli kucing dalam karung lagi. Dan masyarakat bisa memilih caleg secara langsung menurut pilihannya atau hati nuraninya.

Tetapi sistem pemilihan terbuka juga banyak kelemannya, di antaranya:

  • Masyarakat dengan sistem pemilihan terbuka menjadi lebih bingung atau rumit karena harus mengenal caleg yang mau dipilihnya. Jangankan masyarakat yang jarang mendapatkan informasi dengan banyak membaca, masyarakat terdidik atau berpendidikan pun juga merasa bingung dengan sistem pemilihan terbuka ini. Saking bingungnya atau karena tidak kenal dengan calegnya malah terkadang golput. Hanya berpartisipasi memilih dalam pilpres saja.
  • Ukuran kertas menjadi sangat lebar dan ini juga membuat bingung pemilih atau masyarakat waktu mau mencoblos. Padahal yang dicoblos ada 5 kertas suara, yaitu DPR, DPRD I, DPRD II, DPD dan PILPRES. Bagaimana denga orang-orang desa yang sudah lanjut usia?Pasti membuat bingung.
  • Akan banyak terjadi politik uang atau sejenisnya. Seperti ada artis karena menjanjikan sesuatu, malah sekarang masuk penjara.Karena para caleg berlomba-lomba mendekati pemilih. Bahkan satu e-KTP terkadang ada harganya. Banyak calo-calo yang tugasnya mengumpulkan foto copy e-KTP masyarakat dengan iming-iming uang kalau mau memilih calegnya.
  • Sistem pemilihan terbuka menjadikan para caleg harus mempunyai logistik atau materi yang cukup. Karena partai tidak menanggung biaya atau kebutuhan para calegnya. Bahkan untuk DPRD I dan DPRD II dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Bisa mencapai 500 juta sampai 1 milyar.
  • Sesama caleg dalam satu partai bisa terjadi kanibalisme suara. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi jual beli suara sesama caleg dalam satu partai. Dan biasanya  melibatkan oknum KPUD dan oknum Bawaslu.Dan ini bisa terjadi di tingkat kabupaten dan kota yang pengawasannya lemah.
  • Dalam sistem pemilihan terbuka distribusi suara tidak merata dan cenderung suara mengalir kepada salah satu caleg yang punya pengaruh atau anak dari petinggi partai. Seperti dalam pileg DPR 2014 ada beberapa caleg yang mendapatkan suara yang sangat besar. Seperti: Caroline Margaret Natasa anak dari gubernur Kalimantan Barat dari PDIP memperoleg suara sebesar 397.481. Puan Maharani memperoleh suara sebesar 369.927. I Wayan Koster yang sekarang menjadi gubernur Bali, memperoleh suara sebesar 260.342. Edhie Baskoro Yudhoyono memperoleh suara sebesar 243.747. Nusron Wahid memperoleh suara 243.021.
  • Dalam sistem pemilihan terbuka, bila terjadi Pergantian Antar Waktu atau PAW maka yang akan menggantikan nomor urut dibawahnya yang suaranya paling banyak. Cara seperti ini menurut pandangan saya tidak konsisten. Karena dengan sistem pemilihan terbuka yang berhak menunjuk penggantinya harusnya bukan partai tetapi anggota DPR itu sendiri. Karena yang melilih mereka pemilihnya atau massa sendiri dengan berbagai alasan: ada karena suku atau agama atau alasan primordial. Beda dengan sistem tertutup,  bila terjadi PAW,maka nomor urut dibawahnya yang akan menggantikannya. Konsekuensi dari pemilihan terbuka caleg yang tidak terpilih suaranya menjadi hangus.
  • Keterwakilan 30% untuk perempuan akan susah terpenuhi bisa masuk dalam parlemen atau gedung DPR. Beda dengan sistem tertutup, keterwakilan 30% untuk perempuan bisa terpenuhi masuk DPR. Caranya: menempatkan caleg perempuan pada nomor urut jadi atau nomor satu.
  • Sistem pemilihan terbuka lebih cocok diterapkan di suatu negara yang menganut satu partai, bukan multi atau banyak partai. Atau lebih cocok diterapkan dalam pemlihan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD karena tidak berpartai.

Legitimasi anggota DPR menjadi kuat karena dipilih oleh masyarakat secara langsung. Tetapi juga akan menyulitkan partai kalau mau memecat atau menggantinya. Seperti kasus Fahri Hamzah. Ia dipecat oleh partainya. Tetapi ia menggugat dan memenangkan di pengadilan. Malah partainya harus membayar ganti rugi 30 milyar. Di satu sisi tidak ada anggota DPR dari fraksi independen.

Sistem pemilihan terbuka lebih cocok diterapkan di suatu negara yang menganut satu partai, bukan multi atau banyak partai. Atau lebih cocok diterapkan dalam pemlihan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Karena tidak berpartai.

Apalagi kalau partai yang ikut pemilu jumlahnya banyak  dan dengan sistem terbuka seperti saat ini tentu sangat rumit dan membuat pusing  masyarakat. Dan tidak efisien dari segi biaya. Sangat boros, apalagi kalau jumlah golput sangat banyak.

Kalau dengan sistem tertutup dianggap seperti membeli "kucing dalam karung" dan dengan sistem terbuka dianggap membeli "kucing di luar karung".

Menurut pandangan subyektif pribadi, "baik membeli kucing dalam karung atau kucing di luar karung", hasilnya sama-sama "kucing kurap" yang tidak berbeda jauh hasilnya.

***