GP Pemimpin yang "Crobo" atau "Kemproh"?

Pansos dan flexing adalah perpaduan perbuatan kotor itu. Ia adalah perpaduan antara istilah "kemproh" dan "crobo".

Rabu, 26 April 2023 | 09:28 WIB
0
250
GP Pemimpin yang "Crobo" atau "Kemproh"?
Ilustrasi (Facebook.com)

Dalam kultur Jawa untuk menunjukkan kata "kotor" memiliki sedemikian banyak istilah. Kotor di sini digunakan sebagai antonim atau lawan kata bersih atau resik. Yang sebaliknya justru hanya memiliki sedikit istilah sinonim.

Fenomena ini menunjukkan bahwa orang Jawa, sedemikian peduli pada kebersihan. Bukan sekedar menguatkan idiom "kebersihan sebagian daripada iman", tetapi memang sejak dulu orang Jawa sedemikian teliti dan peduli terhadap gaya hidup diri pribadinya. 

Orang Jawa di masa lalu boleh saja dianggap miskin, papa, dan tak punya "raja brana". Rumahnya boleh gedeg, tiangnya boleh reyot, gentengnya bisa saja kripik. Tapi umumnya halamannya bersih, disapu dari dedaunan yang rontok. Jogan atau lantai rumahnya boleh saja dari tanah dan tak berubin, tapi nyaris tak ada kotoran yang ada. Semua disapu bersih sehari tiga kali. Ini adalah bagian dari hidup yang bertumpu pada ideologi "eling lan waspada".

Selalu ingat, selalu waspada, karena itu harus selalu siap-sedia. Bersiap kalau sewaktu-waktu ada tamu, atau ada tetangga yang mau jagongan. Bersedia menjadi tuan rumah yang baik, terbuka, dan tidak pilih kasih. Intinya hati bersih tercermin dari rumah yang bersih...

Hal inilah, yang membuat orang Jawa memiliki belasan istilah yang menguatkan kosa kata "kotor". Yang itu bisa diduplikasi pada dirinya sendiri sebagai subyek maupun rumah tempat tinggalnya sebagai obyek. Mari kita mulai satu persatu.   

Reged adalah istilah paling dasar untuk menunjukkan konteks kata sifat kotor. Di mana kemudian apa yang disebut kotoran diistilahkan sebagai "rereged". Yang lalu kemudian melahirkan istilah "uwuh", yang tempatnya lalu disebut "pawuhan". Dalam budaya Jawa sendiri juga dikenal istilah "kotor", tapi menjadi sangat spesifik untuk menyebut wanita yang sedang datang bulan. 

Bila dilihat secara kualitas, kotor bisa dipisahkan secara ekstrim dalam istilah "ngeres" pada titik paling bawah. Ngeres itu mulanya digunakan bila kita melihat mebel atau perkakas yang terkena debu. Jadi bila kita usap akan terasakan kotor dan nggriseni. Sebaliknya dalam titik paling parah disebut "suker", ini menunjukkan perpaduan antara orang dan lingkungan yang kotornya tak terperikan. 

Dulu di Jakarta ada seorang alumni UI, yang minta di-euthanasia, berharap dirinya disuntik mati. Karena ia tak berdaya lagi menanggung beban hidupnya. Belakangan ketika dikunjungi ke rumahnya, sedemikian berantakan. Ia sudah bertahun tak pernah mandi. Makan, minum, buang air bersih di tempat. Tak terbayangkan betapa kotor hidup dan rumahnya.

Itulah aplikasi istilah suker yang paling tepat. Mungkin kalau dalam keseharian, hanya "orang gila", eh maaf gak boleh dipakai ya. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) jalanan sajalah yang pantas disebut suker. 

Pergerakan waktu sendiri, membuat hal yang baru menjadi menua, sehingga sering disebut jadi kotor. Dalam konteks ini disebut "luwus" atau "kluwus". Kedua istilah ini tak lagi populer, dan yang lebih sering digunakan adalah istilah "mbladus". Terutama untuk pakaian lama, yang karena waktu pewarna aslinya mulai memudar. Dari pakaian ini pula, kemudian muncul istlah perilaku kotor yang lain seperti "klembreh" dimana pakaian cuma sekedar dilempar "pating klumpruk". Acak-acakan!

Biasanya orang yang melakukannya memiliki sifat yang disebut "kleler" dan "klalar". Terjemahan bebasnya serba terserak di sembarang tempat. Orang mabuk suka dianggap "pating kleler nang ndalan". Sedang klalar menunjukkan ketidakberdayaan, saat ia tak dianggap lagi. Dibiarkan hilang terhempas dan terserak di jalanan.

Di sinilah muncul istilah yang mirip yaitu "klewer" yang mulanya menunjukkan selendang perempuan yang dipakai secara "tidak tertib".

Tidak diselendangkan sempurna ke bahu, tapi nglembreh jatuh ke tanah dan tersaruk2...

Sampai saat ini, saya selalu menganggap penamaan Pasar Klewer di Solo. Bukan kebetulan, dan tanpa sengaja. Ini adalah semacam protes yang sungguh genuine dari wong cilik. Di atas kertas, keayuan Putri Solo yang sudah terkenal, keanggunan mereka yang memikat lelaki mana pun sampai hari ini. Tapi rerata mereka tak suka ke pasar ini. Di luar karena pasar itu kotor, bau, sumpeg dan tak tertata. Juga pedagang maupun buruhnya suka pating "klewer". Ya gaya hidupnya, cara bicaranya, apa pun. Beda dengan Pasar Gede yang lebih "resik dan elitis". 

Tapi itu dulu, setelah melalui beberapa kali kebakaran, karena kesumpegkannya. Pasar Klewer dapat dikatakan pusat perbatikan paling penting di Indonesia. 

Dalam konteks air, kotor minimal terkait dua istilah yaitu "jenes" dan "jemek". Jenes itu bila sebuah lantai berair kotor, situasinya becek, licin, dan bikin kepleset. Dan selama airnya belum mengering, kotorannya sulit dibersihkan. Sebaliknya "jemek" mengacu pada lantai tanah yang lembab, yang terkadang karena sedemikian berairnya kita injak dapat ambles.

Jenes kemudian diasosiakan pada konteks pikiran yang kotor, terutama terkait dengan libido. Yang dalam pergaulan kaum genderis: lelaki yang pikirasnya jenes dan ngeres dipersalahkan sebagai tindak awal perbuatan asusila. 

Di penghujung tulisan ini, sampailah kita pada istilah kotor sebagai kata sifat manusia. Keduanya sama-sama dapat digunakan untuk menunjukkan watak dasar seorang manusia. Di mana boleh saja, ia tampak ganteng, memukau, dan bersih secara fisik. Tetapi justru di situlah, tabir yang menutupi watak aslinya. Apa yang di hari ini, disebut "pencitraan". Yang bila ia bergerak dari atas ke bawah dilakukan melalui pansos, tetapi bila sekedar mengamankan citranya dilakukan secara terus menerus melalui "flexing". 

Pansos dan flexing bagi saya adalah perpaduan perbuatan kotor itu. Ia adalah perpaduan antara istilah "kemproh" dan "crobo".  

"Kemproh" jelas tak terjemahkan dalam bahasa Indonesia, orang Jawa membuat istilah tersebut untuk "wong sing ora resikan". Orang yang sesungguhnya tidak memiliki watak bersih yang sejati. Sebaliknya "crobo", barangkali adalah asal muasal istilah ceroboh. Sifat ceroboh bermula dari watak kekurang hati-hatian, yang bisa bermula dari ketergesa-gesaan. Ketergesaan asalnya dari ketidakpercayaan diri, ambisi pribadi yang berlebihan, yang intinya karena hari yang tidak bersih.  

Singkat kata ia tidak pernah eling lan waspada. Ia betul etnis Jawa, yang sekedar nJawani. Ning "Ora Jawa"...  

NB: Tentu saja, sejak awal harus teguhkan saya bukanlah pendukung GP. Bagi saya GP itu dihadirkan sampai hari ini hanya sekedar antitesis AB. Bahwa survainya tinggi, karena yang diperhadapkannya adalah AB. Tak lebih. Lembaga-lembaga survai bayaran itu, tak ingin repot-repot memunculkan figur lain, yang sebenarnya lebih layak dan pantas. Mereka umumnya cari gampang dengan menyodorkan nama yang ada, atas dasar demikianlah opini publik sejauh ini. 

Para pendukung GP adalah mereka yang tutup satu mata. Mereka butuh figur dan terutama butuh kegiatan. Mereka lah yang selama ini asal-muasal kekemprohan dan kecroboan GP. 

Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, tentu saja bukanlah (melulu) kesalahan GP semata. Ia adalah cermin betapa hipokritnya politik luar negeri Indonesia. Betapa kita masih "inward looking" boro-boro bisa melihat "outward looking". Dalam kaiatan dengan GP, tentu ini adalah skakmat baginya. Ia terlalu berambisi, membenarkan istilah Bambang Pacul dulu sebagai "kemajon". Ia memang tidak pantas sebagai pengganti Jokowi, apalagi penerusnya. 

Apapaun situasinya, semestinya kita memahami siklus politik Indonesia memang demikian, ia berpendar laksana siklus matahari. Setelah terang terbitlah gelap. Tak mungkin jika Jokowi sukses lalu kemudian akan lahir pemimpin sesukses dirinya. Mencari penggantinya saja sulit, apalagi penerusnya. Bila demikian, untuk gampangnya salahkan saja Jokowi. Kenapa ia mencitrakan diri terlalu sukses. Hingga yang lain tampak sedemikian jeleknya. 

GP adalah salah satu korbannya. Ia sejak awal kegeeran, ia nggege mangsa, ia terbuai dari watak oportunis pendukungnya. Ia mendekati watak Sysipus terlalu terpesona oleh dirinya sendiri. Singkat kata ia kemproh sekaligus jadi crobo.

Mereka-mereka yang menolak Israel, dengan cara bodoh mengkaitkannya dengan Palestina. Ia tanpa sadar, sungguh keterlaluan egonya. Ia mengembalikan Indonesia dari seorang tuan rumah menjadi peminta-minta seperti tergambar dalam kartu pos di bawah ini. Kita kembali menjadi terbelakang, kita akan selamanya menjadi bedelaars....