Belum-belum Sudah Celeng

Rakyat kuat negara kuat, demikian sesanti Bung Karno selalu yang juga selalu suka saya mengutip. Mangsud Bung Karno bukan soal 'negara kuat', tapi subjek pertamanya adalah rakyat.

Jumat, 15 Oktober 2021 | 09:58 WIB
0
120
Belum-belum Sudah Celeng
Ilustrasi celeng (Foto: detik.com)

“Belum-belum sudah…,” begitu ucapan Hendrawan Riyanto marhum, kakak Garin Nugroho Riyanto, di trotoar Sarkem, depan studio radio Unisi Yogyakarta.

Waktu itu, sumpah lupa tahunnya, awal 90-an, sehabis saya menginterview beliau dalam program ‘Dialog Seni Kita’ (yang suatu ketika saya diberhentikan tapi tidak diberitahu, hiks. Dengan gaya khas Ngayogya. Saya waktu itu berproblem dengan Mafia Katholik di Yogya. Ehm). Celethukan Riyanto itu, baru saya sadari kemudian, diambilkan dari adagium kebijaksanaan orang Jawa. “Durung-durung uwis…”

Belum pinter sudah mbagusi. Belum kaya sudah sombong. Belum gila sudah njelehi. Belum nulis puisi sudah ngaku penyair. Belum juga selesai ngadepin pandemi yang bikin ambyar, sudah ribut copras-capres. Belum layak jual sudah bikin baliho.

Ngomongin politik Indonesia, memang menyebalkan. Tetapi ketika orang-orang cuek dengan persoalan kepolitikan kita, para elite politik akan makin senang dan bahagia. Karena dengan begitu, kaum oligarkis partai akan makin leluasa bergerak, karena calon-calon korban mereka tak mau ikut campur.

Para SJW, social joker warrior, pun juga lebih sibuk nyari lawan yang bisa dipakai sebagai pansos. Partai Ummat, yang di beberapa daerah ditinggalkan pengurus dan anggotanya, menuding Jokowi gagal menjalankan UU Agraria. Kenapa? Lha kalau dia ngritik pegawai Puskesmas yang tak mau memberi rujukan pasien ke RS, tidak gagah. Tak diliput media.

Kalau Haris Azhar nantang-nantang LBP, juga wajar dalam upaya memantaskan diri. Mongsok sebagai generasi baru pejuang Indonesia, cuma mau mendidik rakyat jelata sadar hukum dan sadar hak-haknya? Giliran disomasi, pusing tujuh keliling.

Kalau punya data kuat, disomasi justeru pintu masuk untuk membuktikan secara hukum bahwa tudingannya benar. Tapi kalau lawyernya ngomong ‘itu soal semantik, bahasa yang disederhanakan,…’, selesai lu, cing!

Yang lebih menyedihkan lagi, kalau justeru Haris Azhar masuk jebakan betmen, permainan intelijen yang dia nggak ngerti. Wasalom, kata Asmuni.

Jangan bandingkan dengan upaya Sukarno dan Tan Malaka membangun kesadaran jiwa-raga jelata Indonesia. Tentu, kamu akan ngomong karena jamannya beda, tuntutannya beda.

Para pejabat pemerintah di level bawah, setidaknya eselon 3 ke bawah, yang menguasai teknis administrasi birokrasi dan lapangan, pasti senang karena sasaran kritik adalah atasan mereka. Apalagi yang berpaham salawi. Dan kita tinggal ngomong, lha kalau bawahan jelek 'kan karena atasannya juga jelek? Nggak ada anak buah yang salah katanya.

Lihatlah juga system dan birokrasi kita. Jokowi pernah hendak menghapus 30.000 aturan birokrasi, tetapi MK menolaknya. Karena hal itu konon akan memunculkan kekacauan negara. Bayangkan, sekarang Presiden bisa punya kewenangan langsung memecat ASN, tetapi itu pun hingga kini tak bisa dijalankan. Kenapa? Karena ada banyak aturan hukum yang saling kunci. Sehingga seorang PNS yang beberapa tahun tidak aktif, masih tetap terima gaji.

Namun senyampang itu, coba lihat kasus TWK-KPK, ukuran apa yang dipakai untuk melihatnya? Ukuran kepentingan dan sudut pandang masing-masing. Dimasukkan ke ranah politik, bahkan oleh ahli hukum bernama Refly yang bukan saudara Dona Harun. Dan Novel Baswedan juga tak keberatan jadi pansos politicking para oposan.

Drama-drama politik juga sudah digelar, dengan bagaimana menciptakan penjahat dan korban. AHY dan SBY bisa plek persis, menggunakan sisi sebagai korban. Anies Baswedan juga mencoba mengais-kais di situ, dengan sentimen kelompok yang dimainkan. Untungnya, setelah di-skak Mohamad Sobary, JK beberapa waktu ini jadi pendiam dan anak manis.

Senyampang itu, drama-drama di PDIP membenturkan Puan Maharani dengan Ganjar Pranowo? Sebetulnya apa agenda Bambang Pacul, hingga mesti memunculkan istilah celeng? Benarkah hendak memunculkan Puan, jadi capres? Atau justeru menjebloskan Puan ke dalam tanah, dengan hiden agenda menyodorkan Ganjar sebagai korban?

Politik tak bisa dibaca dengan kacamata kuda. Lagian, kayaknya kuda memang juga nggak bisa membaca. Apalagi kuda Troya.

Sementara di PDIP, ujung semua pernyataan mereka sama sekali tak revolusioner. Tak sebagaimana ajaran Bung Karno. Closing statemen mereka copy-paste, “Semua nanti ujungnya menjadi otoritas Ibu, dan tidak terbantahkan. Apa pun keputusan Ibu, kula ndherek.”

Dengan enteng seketika kita mengejek pernyataan itu. Namun senyampang itu pula, dengan gagah pula mengejek pencapresan Giring dari PSI.

Jadi, apa ukuran kita? Kepentingan masing-masing. Itu yang menyebabkan demokrasi kita hingga 2045 pun, mungkin masih gitu-gitu doang. Cuma ketika murid langsung Soeharto sudah tiada, militer sudah bener-bener dikuasai generasi baru, dan isu PKI/1965 tak lagi jadi jualan yang pro dan anti, mungkin barulah negara Republik Indonesia jaya di udara, darat, dan laut.

Rakyat kuat negara kuat, demikian sesanti Bung Karno selalu yang juga selalu suka saya mengutip. Mangsud Bung Karno bukan soal 'negara kuat', tapi subjek pertamanya adalah rakyat. Tidak mungkin negara kuat, kalau rakyatnya lemah. Karena kalau rakyat cuek, apolitis, politikus dan pejabat pemerintah akan tetap punya kesempatan menipu rakyat jelantah.

***