Politik Kuda Troya Pilkada Kota Surabaya

Sebagai fans-club Risma, saya hanya merasa seperti "munyuk ketulup", monyet yang sesungguhnya jadi kehilangan sedikit asa. Saya harus berposisi layaknya, para politisi busuk itu berujar.

Kamis, 10 Desember 2020 | 17:18 WIB
1
233
Politik Kuda Troya Pilkada Kota Surabaya
Eri dan Atmuji (Foto: cnnindonesia.com)

Jika ingin mengamati peta politik Indonesia paling muthakir, maka tengoklah Pilkada Kota Surabaya. Jangan melulu mempersoalkan Gibran dan Bobby, yang juga menang telak di Solo dan Medan itu. Bukan malah mempersoalkan "politik dinasti". Salah kaprah yang kadang keterlaluan, karena dinasti sendiri maknanya kekuasaan yang diturunkan secara cuma-cuma. Tanpa proses pemilihan langsung oleh rakyat. Kalau lalu istri, anak, mantu, ponakan "public figure" yang berkuasa masih dimungkinkan untuk nyalon, itu delik praktek demokrasi.

Selama prosedur dimungkinkan, maka persoalannya adalah melulu "wilayah rasa". Dan kalau sudah masuk wilayah rasa, sesungguhnya konsekuensinya malah lebih sederhana take it or leave it. Dan untuk itu tak perlu argumentasi apa pun, wong dasarnya juga cuma like or dislike. Sesimpel itu!

Saya lebih suka mengamati fenomena politik di Kota Surabaya. Karena banyak hal yang akan berdampak pada politik Indonesia lebih lanjut berada di sana. Terutama tentang Tri Rismaharini (TR), salah satu favorit pemimpin Indonesia di masa datang. Bagi saya dia ini "Ahok Perempuan". Saya menaruh respek tinggi terhadapnya secara pribadi, walau sekaligus beberapa catatan juga. Salah satu, komentar paling pedas justru dari istri saya sendiri yang arsitek itu: "pada wae pak, sing dibangun mung nang tengah".

Maksudnya, dia hanya mempercantik tengah kota. Sebagaimana juga banyak fenomena banyak kota yang lain, di mana yang di-Make up, yang bersolek habis hanya "tengah kota" doang. Itu tidak hanya Jakarta, Bandung, Semarang, Sala, bahkan kota tempat tinggal saya sendiri Jogja. Apa boleh buat, mudah-mudahan segera kelak merayap ke pinggir...

Baiklah, kita petani, kita urai fenomena ini satu persatu!

PDI-P Pusat pada mulanya cukup kesulitan memilih siapa yang akan dicalonkan. Karena "ketokohan" TR agak sulit tergantikan. Ini akan jadi terjadi besok, ketika Jokowi selesai pada masa jabatan keduanya. Tak heran jika muncul wacana perpanjangan satu kali masa jabatan buat dirinya. Justru bukan dari partai asalnya, namun dari partai lain yang menjadi pendukungnya.

Galibnya yang dipilih adalah wakilnya TR, yaitu Wisnu Sakti Buana (WSB), anak almarhum Sutjipto (Sekjen Pusat). Sayangnya, ia selama menjabat belum pernah menunjukkan kemampuannya bekerja selain pidato yang belepotan. Hubungan TR sama Wisnu tidak pernah akur, meski dia yang merawat kader di tingkat grassroot.

Tidak dipilihnya WSB jelas menimbulkan gejolak di tingkat bawah yang sangat keras. Karena kemudian, PDI-P lebih mendengar saran TR yang lebih Eric Cahyadi, yang typical dirinya seorang birokrat yang memiliki concern pada tata kota.

Di sinilah cerita menariknya terjadi, akhirnya PDI-P terasing sendiri, dikeroyok oleh koalisi delapan partai yang lainnya. Gilak! Resistensi yang sangat laten. PDI-P yang hanya menguasai 15 kursi melawan 31 kursi. Apalagi lawannya adalah Machfud Arifin, seorang bekas Kapolda Jatim yang memiliki reputasi mentereng berani mengusut kasus korupsi Dahlan Iskan (DI). Walau kemudian, sebagaimana biasa kasus ini dideponir. Konon, sebagai balas jasanya, DI pernah akan mengusulkan anaknya Azrul Ananda untuk jadi wakilnya. Tapi tak jadi, mungkin sudah mencium bau tak bakal menang...

Cerita menarik kemudian muncul seorang tokoh bernama Mat Mochtar (MM) yang pada awalnya jadi centeng TR berbalik arah membela Machfud Arifin dan Mudjiaman (Dirut PDAM, yang sebenarnya juga disinyalir orangnya TR). MM inilah yang memproklamirkan diri sebagai sempalan membentuk "Banteng Kedaton". Kelompok inilah yang kemudian membuat aksi sambil teriak-teriak menghabisi TR... "Hancur³.. Hancurkan Risma sekarang juga..."

Tayangan ini viral dan justru membuat warga Surabaya terkesan merasa jijik melihat tayangan YouTube tersebut.

Kondisi rivalnya ini diperparah mejengnya Machfud dengan seorang "habeb" pro Rizieq. Lengkap sudah kebencian warga Surabaya pada Pasangan 02. Teks ini jadi penting, bagaimana sesungguhnya reaksi masyarakat terhadap kasus HRS. Betapa figur ini sangat dibenci masyarakat. Menjelaskan tak lama kemudian, FPI Surabaya tiba-tiba membubarkan diri! Gitu masih ada yang percaya pada Imam Besar Umat Islam. Cih!

Inilah yang membuat citra lawannya Eric- Armuji terjun bebas. Mereka kalah cukup telak, hanya memperoleh suara 23%. Pasangan Eric-Armuji panen besar di angka 77%!

Politik "Kuda Troya" seperti ini menurut saya menjadi sangat luar biasa menarik. Bagaimana PDI-P bisa menyusupkan "orang" ke pihak koalisi musuhnya, yang secara tak sadar menganggap dirinya sudah pasti menang. Permainan politik dua kaki seperti ini, yang sesungguhnya dulu juga dilakukan oleh PDI-P hanya dengan tujuan akhir membuat Ahok justru kalah. Mau bukti? Bancakan anggaran yang direncanakan DPRD DKI Jakarta beberapa waktu terakhir adalah buktinya!

Lalu apa relevansi dengan peta perpolitikan nasional?

Jelas reputasi PDI-P dan TR terselamatkan. Menunjukkan, bahwa gaya berpolitik PDI-P juga makin matang. Harus diakui partai ini sangat taktis dan cerdas. Walau konon kemenangan mereka menyisakan bau busuk yang menyengat pada dua konteks.

Pertama, "pengamanan" TR atas beberapa kasus besar yang dilakukan anaknya dalam bermain proyek. Seperti amblesnya jalan Raya Gubeng akibat amdal RS Sheloam yg melanggar ketentuan. Juga pembangunan area bawah tanah Balai Pemuda, yang juga sangat abai amdal.

Kedua, ia bisa menang karena wakilnya adalah orang yang justru mengendalikan massa grassroot dan mewakili kepentingan para taipan yang menguasai 2/3 tanah di Surabaya. Artinya, tetap saja kekuatan finasial berbicara di belakangnya. Dalam konteks inilah, saya merasa masygul! Tidak tahu harus gembira, sekedar lega atau bagaimana. Yang jelas saya happy, sekaligus tidak happy!

Harapan tinggi saya terhadap TR sedikit runtuh. Ia juga menyimpan beban psikologi yang di "rumah lama"-nya cukup berat. Bagaimana dia akan misalnya saja, ketika digerakkan ke level yang lebih tinggi di "calon rumah baru"-nya kelak di DKI Jakarta.

Sebagai fans-club TR. Saya hanya merasa seperti "munyuk ketulup", monyet yang sesungguhnya jadi kehilangan sedikit asa. Saya harus berposisi layaknya, para politisi busuk itu selalu berujar: Politik itu dinamis, dinamis matama.

Ah sudahlah, pret semua pada akhirnya!

***