Elitisme Politik Posisikan Rakyat sebagai Kambing Congek

Politik di Indonesia masih saja hanya dipandang sebagai alat berkuasa. Untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bukan sebagai alat perjuangan mensejahterakan bangsa dan negara.

Senin, 4 Januari 2021 | 07:06 WIB
0
453
Elitisme Politik Posisikan Rakyat sebagai Kambing Congek
Ilustrasi kambing (Foto: blogger.com)

Panggung politik Indonesia, adalah panggung paling menyebalkan, juga menjijikkan. Tetapi untuk dibiarkan lewat begitu saja, akan menyenangkan mereka. Khususnya para bajingan politik, yang akan jauh  lebih leluasa. Apalagi ketika media massa (baik cetak, elektronik, maupun online), mulai menjadi bagian dari permainan politik dan kepentingan praktis.  

Anda bisa bayangkan, seorang anggota parlemen, dari partai Gerindra (yang konon koalisi Pemerintah), memosting foto dirinya, dengan ekspresi menahan senyum kayak orang mau BAB, memamerkan kaos yang dikenakannya bertuliskan; JUBIR FPI. Orang seperti itu mengatakan bahwa pembubaran FPI adalah lonceng kematian demokrasi. Di mana otaknya coba?

Kalau demokrasi mati, bagaimana ia sebagai anggota parlemen bisa berkata bebas seperti itu, di media massa maupun media sosial? Dia menikmati bayaran demokrasi (gaji sebagai anggota legislatif), dan mempraktikkan demokrasi, tapi dia berbohong atas nama demokrasi. 

Selama tahun 2020, Indonesia memang lebih menonjol dalam dua persoalan yang dimunculkan oleh dua faktor pemicu masalah. Ialah soal politik dan agama. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi, karena dua hal fundamental itu masih menjadi bagian dari persoalan bangsa dan negara kita. 

Setelah berhasil melewati proses politik Reformasi 1998, justeru permasalahan baru muncul. Kehidupan politik dikuasai kaum oligarkis. Lebih buruk dari Aukarno dan Soeharto. Sesuatu yang wajar terjadi karena sistem politik kita yang elitis. Peran mereka sebagai pusat rekrutmen kepemimpinan sipil, sama sekali tak berfungsi. Tak ada pendidikan politik untuk rakyat. 

Hingga akhirnya sistem politik itu mengalami kemacetan, dan melahirkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Bagaimana tidak, Megawati ketua umum partai pemenang pemilu, mempunyi kekuasaan mutlak berdasar keputusan kongres, akhirnya mencapreskan Jokowi, orang luar partai. Mengabaikan kader-kader internalnya. 

Dan Jokowi dua periode, mengalahkan lawan yang sama, yakni perwakilan wajah kepolitikan yang sudah menjadi mummy. Tapi dicobahidupkan terus-menerus. Hingga kini, berkelindan dengan ghirah agama yang palsu. 

Dalam masa pandemi saja, mereka mingkem. Dan baru kelicutan ketika salah satu dari oligarki itu ketangkap KPK, dalam urusan bansos pandemi. Benarkah hanya Kemensos? Bagaimana dengan Kemendes, Kemenaker, atau kementrian yang dijabat orang partai?

Agama, menjadi persoalan kedua, karena ia bagian dari dinamika politik. Bukan sejak Rizieq Shihab, melainkan sejak awal berdiri republik ini. Ketika Sukarno berdebat panjang, jauh sebelum merdeka. Juga bahkan di depan sidang PPKI, hingga pidato 1 Juni 1945, yang tetap saja bermasalah. Perdebatan kaum nasionalis dan kaum agamais (khususnya Islam), dikompromikan sebagai api dalam sekam. 

Hingga sentimen yang tak terselesaikan itu kemudian justeru dipakai, dieskploitasi atau dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Bukannya dieksplorasi dalam pengertian dibongkar akar permasalahannya. Dicari perbedaan-perbedaannya untuk didapatkan titik pertemuannya sebagai rumusan Gus Dur. 

Para elite politik justeru memanfaatkannya. Mengkapitalisasi sebagai strategi mengalahkan lawan, dengan menonjolkan politik identitas. Apalagi ketika kelompok ini, termasuk para donaturnya, berhasil menjungkalkan Ahok, menaikkan Anies. 

Tentu saja hal itu bisa jadi akan terus-menerus dimanfaatkan, hingga 2024 kelak, dalam Pemilu maupun Pilpres. Akan sangat tergantung seberapa besar penghargaan bangsa dan negara ini pada sistem hukum yang sudah disepakati bersama. 

Selama demokrasi hanya bertumpu pada kebebasan berpendapat dan berserikat semata, tanpa ditopang oleh kedisiplinan dalam menegakkan sistem hukum, proses demokratisasi akan berjalan lamban. Bahkan mungkin menjadi faktor pengganggu. Karena tiap hari bukan saja menjadi peristiwa politik, melainkan persoalan politik yang tidak menyelesaikan. Lantas kapan percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, ketika perimbangan anggaran kita masih sangat timpang antara belanja dan pendapatan?

Lemahnya konstitusionalisasi konflik, karena perilaku para praktisi perpolitikan kita yang memang tidak bermutu. Demokrasi menangnya sendiri, mutlak-mutlakan, dan tak sudi mendengarkan apalagi mengapresiasi liyan. Pelanggar hukum yang sedang diproses hukum, oleh para elite politik diminta ditangguhkan, dan mereka rela menjadi penjaminnya. Ini soal kemanusiaan? Bukan. Karena mereka juga tahu, jika pun permintaan tak dikabulkan, mereka telah sukses mempromosi dirinya, untuk menangguk simpati konstituen sebagai investasi dalam masa kontestasi kelak. 

Semasa hidupnya, sebelum jadi Presiden, Gus Dur pernah berujar FPI adalah organisasi bajingan yang harus dibubarkan. Gus Dur bahkan menyebut Rizieq Shihab sebagai teroris lokal. Gus Dur bahkan bertekad hendak membubarkan FPI, meski ketika menjadi Presiden pun, tekad itu tak terlaksana. Hingga Rizieq bisa mengejek Gus Dur, sebagai orang buata mata dan buta hati, hingga bukannya FPI bubar melainkan Gus Dur yang longsor dari kursi kepresidenan.

Pada waktu itu, ketika Gus Dur mengatakan hendak membubarkan FPI, beberapa teman Gus Dur banyak yang diam saja. Tak berkomentar. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan Jokowi menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, juga sedang memproses pelanggaran hukum Rizieq, mereka ini pada bekoar atas nama demokrasi, hukum, keadilan, dan HAM. Itulah sebabnya, SJW itu lebih tepat disebut Social Joker Warrior. Para Sulayan Jokowi Waton, sebagai penganut waham salawi. 

Jika dulu ada gerakan ‘Semut Merah’ untuk menjatuhkan Gu Dur, kini juga ada gerakan serupa, untuk menjatuhkan Jokowi. Beberapa adalah orang yang sama. Apakah tahun 2021 situasi akan tetap? 

Akan sangat tergantung pada Jokowi, apakah ia sesuai janjinya akan tanpa kompromi, menurunkan kadar toleransinya pada para bajingan politik (di dalam maupun di luar Istana). Akan pula sangat tergantung pada kekeraskepalaan Jokowi, dalam memerintahkan para pembantunya, untuk bekerja keras demi bangsa dan negara. Bukannya demi partainya semata. 

Karena politik di Indonesia masih saja hanya dipandang sebagai alat berkuasa. Untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bukan sebagai alat perjuangan mensejahterakan bangsa dan negara. Dalam ungkapan orang Jawa, untung dalam dua periode di masa transisi generasi ini, Jokowi kita menangkan. Dalam sangking riuhnya kepolitikan, kita pura-pura merem, bagaimana performance Republik Indonesia ini (di masa pandemi dunia), lebih mencorong di mata negara luar.

Politik itu mulia. Benarkah? Jika diperlakukan secara mulia. Jika tidak tentu saja menjijikkan. Dan  kalau didiamkan, para bajingan politik tentu akan berpesta pora. Apalagi ketika kita dalam, turbulensi itu, turut serta menuding-nuding Jokowi. Secara tak sadar para jelata dihipnotis kata-kata oleh para demagog, menjadi bagian dari kaum elite politik. Walau hanya sebagai kambing congek. Dan hanya selalu puas dengan permainan kata-kata. 

@sunardianwirodono

***