2020, Iklim Politik dan Demokrasi Berpayung Awan

Tanpa ikhtiar bersama menyingkirkan awan tebal yang memayungi iklim politik dan demokrasi, sulit berharap datangnya hangat cahaya mentari di 2020

Jumat, 3 Januari 2020 | 08:11 WIB
0
309
2020, Iklim Politik dan Demokrasi Berpayung Awan
Demo anarkis (Foto: RMOL Jatim)

Mendekati gerbang pemilihan kepala daerah serentak 2020 suasana politik makin seru. Persaingan memperebutkan dukungan partai sebagai syarat paslon kian menajam. Koalisi parpol saat pilpres bukan cerminan keberpihakan mereka pada level pemilihan kepala daerah. Hubungan antar partai pengusung yang tegang pada pilpres bisa sangat harmonis di tingkat pemilihan kepala daerah.

Rusdin Abdullah (Rudal), politisi senior Partai Golkar, beberapa waktu lalu melontarkan pendapatnya menyangkut budget 80 miliar yang harus disiapkan seorang jika ingin mencalonkan diri sebagai Walikota Makassar. Pandangan Rudal diamini banyak kalangan.
Direktur lembaga survei 'Nurani Strategic', Dr. Nurmal Idrus, MM, yang juga seorang akademisi mencoba menjabarkan secara detail angka prediksi Rudal.

Tidak hanya politisi, pengamat dan para intelektual ikut terjebak melihat realitas politik transaksional sebagai hal yang normal. Bahkan tanpa sadar ikut menjustifikasi prilaku tersebut lewat diskursus di ruang publik. Para analis politik dan intelektual publik dengan sangat percaya diri memetakan peluang seorang tokoh bisa lolos sebagai paslon bahkan memenangkan kontestasi pemilihan kepala daerah dari sudut politik transaksional yang serba pragmatis tanpa sikap kritis.

Meminjam Pierre Felix Bourdieu, dominasi yang dioperasikan melalui wacana politik transaksional oleh elit politik mengakibatkan kekerasan simbolik (simbolic violence) terhadap rakyat di level grassroots. Alih-alih membangun wacana tandingan mengenai bahaya oligarki, pentingnya melonggarkan syarat jalur independen serta mendorong partisipasi publik melakukan pengawasan terhadap bahaya politik uang misalnya.

Justru kelas menengah terdidik mengadopsi prilaku dan pandangan elit politik yang dalam istilah Bourdieu, memosisikan diri sebagai borjuis kecil yang ingin naik kelas.

Sialnya rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, tanpa sadar justru menikmati politik transaksional dan serba paragmatis ini sebagai hal yang jamak bahkan niscaya. Tengoklah perbincangan warga di ruang-ruang publik mengenai syarat menjadi pemimpin. Track record serta kapabilitas seseorang dianggap variabel kesekian. Sebaliknya asal clan seseorang serta kekuatan sumber daya materil yang milikinya untuk memperoleh usungan partai serta kesanggupan menggerakan mesin pemenangan tim dianggap variabel utama.

Memasuki 2020 iklim demokrasi kecendrungannya makin memburuk. Menjelang pemilihan kepala daerah serentak sama sekali tidak menunjukkan peningkatan signifikan dibanding peristiwa yang sama di masa-masa sebelumnya. Politik transaksional, praktek oligarki, ketidakterwakilan perempuan serta absennya isu minoritas dalam pembahasan seperti hak komunitas masyarakat adat, pengusiran terhadap penganut kepercayaan tertentu, hak-hak difabel dalam pemilihan kepala daerah ikut berkontribusi menurungkan derajat demokrasi.

Tanpa ikhtiar bersama menyingkirkan awan tebal yang memayungi iklim politik dan demokrasi, sulit berharap datangnya hangat cahaya mentari di 2020

***