Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues).
Saudaraku, di Multazam, sambil mencicakkan tubuh ke dinding ka’bah, yang pertama terlintas dalam do’aku adalah Indonesia: “Ya Allah, jadikan negeriku tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan kebahagiaan. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya sendiri.”
Seperti Ismail yang siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima rombongan kami terasa tajam menusuk kalbu, "Indonesia tempat bermukim seperlima pemeluk Muslim dunia dengan segala kekayaan alamnya, terlalu penting untuk dilupakan dan terlalu menjanjikan untuk disiasiakan.”
Ada percik kebenaran dalam ucapannya. Sekedar berbekal minyak, Saudi Arabia nan tandus dengan kepemimimpinan otoritarian, toh masih sanggup menghadirkan kesejahteraan bagi warganya. Ketika almarhum Raja Fahd dibuatkan istana di sebuah bukit pinggir kota Madina, masih tersisa kearifan tradisional yang menggugah keinsyafannya. “Bagaimana mungkin saya tinggal di atas bukit, sedang rakyatku bermukim di bawah sana.”
Sedang Indonesia, negeri subur dengan kepemimpinan demokratis, yang seharusnya memuliakan daulat rakyat, bayangan yang segera terlintas adalah barisan TKI yang miskin marwah dan perlindungan. Dalam pesawat yang membawa pulang, seorang TKW yang mengalami gangguan ingatan—yang menurut para pramugari merupakan fenomena yang lumrah—secara ngelantur menyebut Indonesia sebagai “Ibu pertiwi yang tega menyembelih anak-anaknya sendiri.”
Setelah demokratisasi Era Reformasi berjalan dua dekade, dengan kemacetan perbaikan kualitas hidup, mestinya terbit kesadaran lain bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan (freedom). Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani dengan keadilan (justice). Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur.
Jauh-jauh hari, para pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville mewanti-wanti kemungkinanan munculnya bentuk tirani yang lain dalam demokrasi, yakni tirani mayoritas. Namun dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, yang muncul tetap saja tirani minoritas, yakni tirani pemodal yang bersekutu dengan oligarki kepartaian.
Jika persoalan demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan, maka isu utamanya bukanlah pergantian elit dan prosedur politik, melainkan pada kapasitas transformatif dari kekuasaan. Bagaimana mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum.
Malangnya, pergeseran dari rezim otoritatian menuju demokrasi di Indonesia belum menyentuh aspek ini, sehingga upaya-upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.
Dalam hal ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, namu tak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim.
Seperti dikatakan Montesquieu dan Max Weber, kepemimpinan merupakan suatu fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup dan kepentingannya, tergantung pada perkembangan masyarakat. Konsekuensinya, kekuasaan dan lokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.
Masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar (great men) dibanding pada masa normal dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik.
Namun, perkembangan anti-teori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis terus memagut, tapi pemimpin-pemimpin karismatik tak kunjung muncul, atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan.
Hal itu terjadi karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan lebih mengandalkan sumberdaya “alokatif” ketimbang “otoritatif.” Yang pertama berarti kemampuan kontrol atas fasilitas-fasilitas material, sedang yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain berdasarkan kewibawaan visi dan ideologis. Yang dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan, melainkan daya beli dari para pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual organiknya; sedangkan para pemimpin yang punya bibit-bibit karismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika “alokatif”, yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.
Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itulah sebabnya mengapa visi baru harus diperjuangkan seiring dengan kemunculan para pemimpin dengan mental baru.
Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues). Setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas penggembala, sebagai pengayom yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan rakyatnya. Dan untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar dari dirinya sendiri.
Seperti kata Vaclav Havel, ”Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggungjawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.”
Makrifat Pagi, Yudi Latif
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews