Menelikung Jokowi adalah kejahatan yang tak terampuni. Itulah maka kisruh dan keributan politik terus berlangsung. Semuanya ditimpakan ke Jokowi.
Jokowi tahu para begundal, beludak, penjahat penjual negara. Negara ini kaya-raya. Namun uang banyak dikorupsi. Sumber daya alam dikorup. Hutan dibabat dan dikapling.
Pemberi dan penerima hanya segelintir orang. Ya orang-orang itu lagi – sejak zaman eyang saya Presiden Soeharto.
Jokowi tahu? Tahulah para begundal itu. Mafia. Kekuatan mereka tidak ada batas – nyaris menyaingi Tuhan. Dan, Jokowi hampir sendirian menghadapi mereka.
Seorang senior editor koran ternama di Indonesia mendiskusikan dengan saya. Apa penyebab orang korupsi? Bahkan di tengah maraknya kegiatan keagamaan? Kenapa hedonisme menjadi kiblat kebanyakan masyarakat Indonesia? Saya menjawab secara pendek terkait pandangan psikologis dan kejiwaan yang sakit. Ya bangsa yang sakit.
Hedonis
Bayangkan. Kehormatan itu ada dalam benda. Mobil. Tanah. Rumah mewah. Motor gede. Perhiasan mewah. Hampir setiap orang Indonesia menginginkan benda-benda itu. Benda yang menjadi simbol dan identitas diri. Kehormatan mereka identik dengan benda.
Lalu. Kehormatan adalah hidup mewah. Baju mewah. Jalan-jalan wisata keluar negeri. Pamer. Makan di restoran mahal. Minum kopi Rp. 70 ribu segelas – upah penggali parit sehari. Kuliner dan memanjakan lidah dengan pamer ke publik adalah kehebatan. Kebanggaan.
Pelengkapnya. Nah, pemujaan terhadap wujud lahiriah – materi. Pria ganteng. Atau dianggap ganteng. Wanita cantik. Atau persepsi cantik ala sinetron. Itu yang menjadi ukuran. Perilaku, sifat dan sikap tidak menjadi penting. Wujud lahiriah adalah gebyar kenikmatan duniawi. Surga dunia.
Jabatan publik sebagai kehormatan. Jabatan agama. Jabatan partai. Jabatan BUMN. Jabatan Ketua DPR, MPR, DPRD menjadi rebutan. Godaan untuk hidup terhormat secara fisik. Godaan duniawi. Hedonitas pada jabatan. Membuat mereka gila: gila jabatan. Karena bergelimang uang. Untuk pemenuhan ideologi hedonis.
Hidup sederhana. Bermoral. Seni. Sastra. Berazaskan kebenaran kemanusiaan. Mereka anggap sebagai kemunduran. Kere. Miskin.Papa. Mereka menjaga jarak dengan penderitaan. Kenikmatan duniawi adalah panglima yang mereka sembah. Tuhan mereka adalah benda.
Indoktrinasi Membenci Negara Halalkan Segala Cara
Nah. Sejak 1985 ajaran tentang Pemerintah Thoghut/Thaghut – yang bukan Khilafah – menjadi trend keyakinan. Sok modernitas. Ajaran disampaikan merasuki mahasiswa di ITB. UGM. IPB. Bahwa di bawah pemerintahan Thoghut/Setan. Hukum tidak berlaku. Hanya hukum Allah yang dianggap benar.
Karena di bawah pemerintahan thoghut, jika dihukum, maka hukuman di dunia tidak akan menghapus hukuman di akhirat. Jadi mendapat dua hukuman sekaligus: hukuman dunia dan hukuman akhirat.
Maka, diwajibkanlah konsep jihad yang salah. Jihad dibagi-bagi dari dalam hati sampai menjadi teroris. Lawan. Perjuangan mendirikan khilafah dengan Syariat, Syar’i, Syariah sebagai ujung tombak propaganda. Mereka tak segan memelintir kebenaran. Untuk menghancurkan dan mendiskreditkan pemerintahan. Makar. Teror. Rampok. Boleh. Halal.
Ajaran sesat. Merampok dari pemerintahan Thoghut, demi dan untuk perjuangan itu halal. Keyakinan yang merusak. Namun, itu sejalan dan paralel dengan hedonisme mereka. Maka, tak heran kalangan Khilafah, Ikhawanul Muslimin, Wahabi-Salafi, menguasai jagad kementerian dan lembaga pemerintah, BUMN. Pun mereka berselingkuh dengan para mafia, koruptor, politikus semprul tanpa jiwa, yang muaranya kehidupan dasar mereka adalah ajaran hedonis.
Penghalalan merampok, membunuh, mencuri, korup ini cocok dengan ajaran hedonis yang dibangun. Akibat dari arah pendidikan sesat sejak SD-Perguruan Tinggi. Dasar-dasar kehidupan dan nilai kearifan lokal dimusuhi. Disebut syirik. Dicap tahayul. Dikatakan jumud dan bodoh. Jahiliyah. Mereka memberi cap buruk. Stigmatisasi kebudayaan asli Indonesia sebagai ajaran sesat. Neraka.
Tak mengherankan. Korupsi. Rampok. Itu menjadi hal yang marak. Budaya menghormati benda, bertemu dengan penghalalan aneka cara memenuhi kebutuhan materi. Benda. Hedon. Hedonis. Memuja kenikmatan duniawi.
Hijrah untuk Tutupi Bopeng Kejahatan
Dengan suka-cita mereka hijrah. Hijrah yang dipelintir. Hijrah untuk menutupi kemunafikan. Hijrah untuk menjadi bagian yang legitimate, sah, halal: berjuang mendirikan Khilafah. Mereka menggunakan dalil darurat untuk membenarkan tindakan merampok – dari pemerintah yang mereka sebut thoghut.
Maka mereka dengan gempita mengadakan kajian. Kumpul-kumpul. Isi pengajian bukan mengajak ke kehidupan damai, bermartabat. Pengajian diisi ujaran kebencian.Kebencian terhadap Pemerintah. Maka mereka menyebarkan kebencian – sebagai bagian perjuangan.
Baju rapat. Daster Arabia. Jubah menjadi identitas baru. Sok suci. Padahal jiwa mereka adalah jiwa para penjahat. Baju dan kehidupan keagamaan dimanfaatkan untuk mengelabui orang lain. Mereka tak segan untuk menjual negara. Demi memenuhi kebutuhan hidup hedonis.
Bela negara dianggap syirik dan dosa – karena bukan negara khilafah. Hormat bendera. Lagu kebangsaan mereka lecehkan. Bendera HTI menjadi bendera kebesaran mereka. Awal mereka menghancurkan NKRI.
Dan, Jokowi paham siapa pun yang tidak bekerja dengan baik adalah penjual negara. Penjahat. Itu akan disingkirkan oleh Jokowi tanpa ampun. Menelikung Jokowi adalah kejahatan yang tak terampuni. Itulah maka kisruh dan keributan politik terus berlangsung. Semuanya ditimpakan ke Jokowi.
Lalu dengan siapa Jokowi berdiri untuk NKRI? Yang membela Jokowi? Mereka ngumpet sampai setelah kerusuhan merebak di Jakarta. Medan. Yogyakarta. Papua. Pembakaran hutan. Dan seterusnya. Tujuannya untuk posisi tawar jabatan.
Untuk memenuhi – sekali lagi – pola pikir hedonis yang tidak memercayai kehidupan setelah mati. Itu para penjahat yang menelikung Jokowi. Jokowi harus libas mereka.
Ninoy N. Karundeng, penulis.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews