Jokowi Tak Perlu Rangkul Prabowo, Indonesia Butuh Oposisi

Dengan menjadi oposisi, Gerindra tetap bisa menjaga kehormatannya, jadi tidak perlulah icip-icip kekuasaan di pemerintahan.

Senin, 1 Juli 2019 | 09:25 WIB
0
478
Jokowi Tak Perlu Rangkul Prabowo, Indonesia Butuh Oposisi
Ilustrasi Jokowi dan Prabowo (Foto: Rilis.id)

Saya tetap istiqomah dengan pernyataan saya sebelumnya, "tak ada rekonsialisi" usai Pilpres 2019 dan tak perlulah Jokowi rangkul Prabowo segala. Bukan persoalan yang menang harus merangkul yang kalah seperti pepatah Jawa, tetapi dalam alam demokrasi, kita butuh oposisi.

Kata kuncinya, Indonesia perlu oposisi. Tanpa oposisi atau ada oposisi tapi semu, pemerintahan bisa jatuh menjadi otoriter seperti yang terjadi pada zaman Orde baru.

Kita tidak ingin pemerintah yang berkuasa terlalu kuat tanpa adanya oposisi cenderung menjadi otoriter dan represif dalam bertindak di semua lini. Tetap harus ada penyeimbang, bahkan pengeritik. Ibarat kendaraan, perlu ada rem agar jalannya pemerintahan tidak asal ngegas, tabrak sana tarabak sini.

Hanya saja yang harus menjadi catatan, kritik di sini adalah kritik yang benar-benar kritik, bukan nyinyir dan hoax berbalut kritik sebagaimana yang terjadi selama ini.

Potensi kritik dengan para pengeritiknya masih ada pada Prabowo dan para pendukungnya, sebab kritik dari orang yang kalah biasanya tajam, meski cenderung nyinyir dan hoax itu tadi.

Menjadi oposisi juga tidak kalah terhormatnya kok dengan mereka yang berkuasa, hanya saja kritik yang bagaimana dulu yang harus disampaikan kepada Jokowi yang diberi amanah rakyat menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan. Tidak bisa dibayangkan kalau semua anggota koalisi Prabowo sisa-sisa Pilpres 2019 menjadi bagian yang berkuasa!

Di samping itu, secara etika pun tidak elok yang kalah dan berkeringat buat orang lain diberi begitu saja kue kekuasaan. Anak-anak baru gede bilang, "Enak aja lu, tuman!!"

Konsiliasi, rekonsiliasi --apapun namanya-- jika itu terjadi, akan menciptakan pergolakan di tubuh koalisi pemenang karena ini sudah menyangkut kekuasaan. Seperti yang dibilang Muhaimin Iskandar, boleh saja rekonsiliasi asal jatah kekuasaan tidak berkurang.

Hakikatnya setiap pertandingan, setiap kompetisi, termasuk kompetisi politik dalam bentuk Pemilu ini adalah mencari pemenang. Tidak bisa draw atau seri. Harus ada pemenang, bahkan bila perlu hal itu ditentukan dengan lemparan koin.

Coba lihat drama  adu penalti dalam permainan sepak bola saat pertandingan berlangsung imbang sampai peluit panjang dibunyikan. Tujuannya tidak lain mencari pemenang. Jika ada pemenang, pasti ada yang kalah.

Gugatan di Mahkamah Konstitusi ibarat perpanjangan waktu dalam sebuah pertandingan sepak bola, pasti bakal ada pemenangnya. Ketika yang menang dan kalah sudah ditentukan, masak penonton dari pendukung yang kalah berteriak misuh-misuh pake rusuh, 'kan nanti ada pertandingan lagi, Pilpres 2024.

 Dalam pertandingan sepak bola yang berakhir dengan penentuan adu penalti itu si pemenang tidak perlu berbagi kemenangan dengan si pecundang, bukan? Kalau merangkul untuk memberi semangat, itu biasa. Tetapi ketika yang dirangkul tidak mau, ya tidak usah dipaksa-paksa juga, tuman! Biarlah kekalahan dijadikan pelajaran berharga bagaimana bisa menang di kompetisi berikutnya, bukan mengganggu si pemenang.

Pemerintah tanpa oposisi adalah omong kosong, oposisi tetap harus diberi jalan. Yang perlu ditata cuma etiket dan etikanya saja bagaimana menjadi oposisi yang baik dan bermanfaat, bukan nyinyir seperti Fadli Zon atau Ahmad Dhani yang boleh di kata jauh Jakarta dari  Srilanka.

Baca Juga: Prabowo Harus Tolak Semua Negosiasi dengan Jokowi

Memang seperti yang terbaca di sejumlah media, santer terdengar Gerindra, PAN dan Demokrat akan merapat ke pemenang, yang berarti akan kebagian jatah kekuasaan, setidak-tidaknya mengisi komposisi menteri. Plus minus sudah dianalisa, misalnya PAN yang mencla-mencle satu kaki di Istana, tetapi satu kaki lainnya ngeloyor ke Kartanegara. Pun Demokrat yang selalu bimbang dan ragu, seperti syair lagu.

Gerindra? Ini ada kelucuan tersendiri jika benar-benar ikut dalam pemerintahan yang berarti inilah pertama kalinya kader partai itu merasakan manisnya gula-gula kekuasaan, padahal calon yang didukungnya selalu kalah. Kalaupun jadi gabung ke Jokowi, mungkin Gerindra dan Prabowo-nya sudah lelah.

Padahal sebenarnya, dengan menjadi oposisi pun suara Gerindra masih lumayanlah. Bahwa suara melorot yang berimbas pada berkurangnya kursi di parlemen, itu karena politik hoax yang telah menjadi "ideologi" selama ini yang bikin eneg publik. Gerindra perlu mengoreksinya di sini.

Dengan menjadi oposisi, Gerindra tetap bisa menjaga kehormatannya, jadi tidak perlulah icip-icip kekuasaan di pemerintahan. Agak sulit membayangkan tiba-tiba Fadli Zon menjadi Menteri Kebudayaan.

Lebih unik bin aneh lagi kalau PKS sendiri yang tidak diajak di pemerintahan, benar-benar seperti membiarkan PKS bagai anak hilang di tengah kerumunan.

Tetapi kalaupun itu terjadi, terpaksalah kita dukung PKS sebagai oposan yang mengeritik pemerintah dengan kritik yang benar, kritik yang tidak sedikit-dikit membawa agama dan gema takbir.

Bisa jadi dengan kesendirian menjadi oposisi inilah PKS akan menjadi besar, setidak-tidaknya tidak sekecil seperti sekarang ini.

Mana tahu!

***