Djakarta, Ali Sadikin dan Mimpi Sukarno

Kini warga kota Djakarta seakan dikelilingi tembok kapitalis, tidak ada ruang yang nyaman yang bisa dimasuki tanpa harus membayar.

Senin, 22 Juni 2020 | 18:55 WIB
0
365
Djakarta, Ali Sadikin dan Mimpi Sukarno
Ali Sadikin dan Soekarno (Foto: liputan6.com)

Suatu waktu di tengah kemelut akibat Gestapu 1965, Bung Karno duduk di depan Istana Negara. Pikirannya menerawang, ada satu soal yang belum ia selesaikan. "Membangun Djakarta". Dulu pemerintahan Hindia Belanda sudah membangun sebuah kota model kolonial yang terbaik sedunia, Bandung namanya. Kota Bandung pernah dipamerkan dalam Pameran Kota-Kota Kolonial di Paris sekitar tahun 1920-an sebagai kota paling cantik yang dibangun pada permulaan abad 20.

Bung Karno berpikir, ia ingin Djakarta menjadi Jiwa dari bangsa Indonesia, kota yang teratur tapi dinamis. Kota yang menjadi poros revolusi struktur masyarakat Indonesia. Inti dari Revolusi Sukarno adalah kemandirian, Mandiri total sebagai bangsa. Dengan mandiri maka sebuah bangsa akan membangun kebudayaaannya sendiri, membangun ekonomi kerakyatannya sendiri dan membangun karakter yang kuat.

Bung Karno memang terpukau dengan kota-kota di Negara Komunis yang disana sini banyak monumen, tapi Bung Karno juga sedari muda jatuh cinta dengan kota-kota di Amerika Serikat, saat ia berkunjung ke AS ia minta diantar untuk melihat taman-taman kota, pusat-pusat seni dan yang paling favorit bagi Bung besar ini adalah 'mengunjungi museum'. Bung Karno melihat ada dua fungsi dalam sebuah kota.

Jiwa yaitu Monumen yang merupakan petilasan akan kenangan perjalanan hidup sebuah bangsa dan Gedung yang merupakan fungsi ruang bagi sebuah warga kota bergerak. Monumen dan Gedung akan selalu menjadi paralel dalam pembangunan kota impian bagi Bung Karno.

"Djakarta ini sebuah kampung besar, sebuah big village dan Djakarta dalam cepat harus dibangun sebagai kota Internasional... untuk itu aku harus mencari orang yang bisa memimpin sebuah kota besar. Seorang pemimpin yang paham Accynering, City Planning, Architectuur, dia harus tau soal sampah, tau bagaimana mengatur selokan dan keras kepala. Seorang pemimpin yang bisa melihat jauh ke depan tanpa mengeluhkan kekurangan. Bung Karno berpikir keras....."

Esok paginya, Bung Karno memanggil beberapa stafnya termasuk Waperdam Leimena. "Coba sodorkan aku beberapa nama untuk pimpin ini kota Djakarta..!" perintah Bung Karno. Salah seorang menyebut Henk Ngantung, Bung Karno terdiam 'Henk itu susah, dia dijepit posisinya...dan dia sudah memimpin kota Djakarta. lalu Leimena bilang, "Bagaimana kalau Ali Sadikin?"

Bung Karno menoleh pada Leimena "Pak Lei, bukankah Ali sekarang sudah jadi menteri?"... Leimena bilang, orang yang paling keras di Djakarta ya Ali Sadikin. Kemudian salah seorang dari pertemuan itu nyeletuk :"Mayor Sjafei kalah gahar ketimbang Jenderal Ali"....Bung Karno tertawa. Coba siapkan pelantikan untuk Ali Sadikin.

Pada tanggal 28 April 1966, di Istana Negara Bung Karno melantik Ali Sadikin. Bung Karno berpidato dalam pelantikan Ali ini dengan penuh semangat, matanya menyala-nyala, ia gembira melihat salah satu pemuda Indonesia akan memimpin sebuah kota. Ali Sadikin tampak seolah-olah bayangan kecil Bung Karno.

"Ali kamu akan memimpin kota, itu bukan pekerjaan gampang, tetapi Insya Allah doe je best, agar engkau dalam memegang kegubernuran Djakarta Raya sekian tahun lagi orang masih mengingat, die heeft Ali Sadikin Gedaan - Inilah perbuatan Ali Sadikin. Bismillah, mulailah engkau punya pekerjaan" Tutup Pidato Bung Karno. Dan Bung Karno pun maju menyematkan tanda jabatan kegubernuran, tinggal Ali Sadikin yang pusing bukan maen.

Bagaimana tidak, ia mewarisi satu sistem pemerintahan daerah yang tidak teratur. Administrasinya berantakannya, dan yang paling sinting lagi ia hanya memiliki anggaran sangat terbatas. Sekitar 66 juta per tahun. Bagi Ali Sadikin ini proyek mustahil. Tapi Ali Sadikin agak tertolong oleh kasus carut marutnya take over kekuasaan sehingga ia ada waktu untuk berpikir tentang arah kebijakan umum kota.

Ali Sadikin di satu sisi sangat loyal pada Bung Karno tapi realitas kekuasaan sudah pelan-pelan bergeser ke Suharto, dan pilihan Bung Karno benar adanya, Suharto nggak bakalan berani ciduk Ali Sadikin karena bekingan KKO-nya sangat kuat, disamping itu memang Ali terkenal keras dengan Komunis jauh sebelum Suharto belagak anti Komunis. Pak Harto tidak berani secara frontal berhadapan dengan Ali.

Suatu waktu di tahun 1969, Ali pernah melihat Bung Karno secara sepintas dan Ali menangis. Ia melihat Bung Karno yang dirusak kesehatannya oleh tentara-tentara Orde Baru duduk tak berdaya disiksa sakit, kepala Bung Karno yang botak dan badannya lemah.

Bung Karno agak sedikit mengenali Ali ditengah ingatannya yang dulu terkenal kuat itu melemah akibat penyakit ginjal yang merusak kondisi mental psikisnya Bung Karno berkata lirih. "Ali...Djakarta..Ali...Djakarta" kata Bung Karno terbata-bata. Dan Ali dalam hati membatin, "aku harus jaga amanat Bung Karno ini, bagaimanapun ini kota kecintaan bangsa Indonesia, kota kesayangan Bung Karno...". Setahun setelah pertemuan itu Bung Karno meninggal.

Suatu waktu Ali Sadikin menyetir sendiri mobilnya ke kantor Gubernuran. Ali biasa berangkat jam 5.30 pagi, ia sengaja melihat seisi kota. Ali senang incognito jalan-jalan ke pasar untuk melihat stok sayuran di Djakarta, mengontrol selokan dan sudetan kali. Di satu tempat dekat Pasar Santa Kebayoran Baru ia melihat segerombolan orang bermain gaple. .."Teng" ia mendapat ilham. Ia berputar-putar sejenak di dalam kota Djakarta dan berpikiran tentang judi ini. Sesampainya di kantor ia berteriak dan memanggil staf-nya. "Hai, coba kau cari peraturan tentang judi".

Setelah stafnya mengambil data peraturan Ali baru tau ternyata Pemda bisa mengambil pajak dari judi lewat peraturan daerah no.11 tahun 1957. "Kamu, panggil Pak Djumatidjin, ke ruangan saya" Djumatidjin adalah pegawai senior di Pemda DKI. "Pak Djum, apa bisa Pemda DKI narik itu uang judi buat pajek?" kata Ali sambil tangannya mendekap dada, matanya melebar."Bisa Pak, dasar aturannya ada".

Lalu Ali berkata singkat "Saya perintahkan adakan judi legal dan dipajekin. Hasilnya buat saya bikin ini Djakarta baik..laksanakan". Pak Djumatidjin dan beberapa orang staff Ali menyahut bersamaan 'Siap Pak'.

Dan dengan cepat tindakan Ali ini mendapat sambutan para jago judi se Djakarta terutama Cina-cina yang suka sekali dengan judi. Kasino banyak dibentuk, pajak judi terus mengalir ke Kas Pemda. Ledakan kas luar biasa. Tapi Ali bukanlah jenis pejabat korup, ia berbakti pada tugasnya. Uang Judi itu ia arahkan ke pos-pos pembangunan infrastruktur, sekolah-sekolah rakyat, pusat-pusat kesenian, taman hiburan rakyat macam Ragunan, gelanggang olahraga dan Pasar-pasar rakyat.

Ali sudah menaburkan benih bahwa pada sebuah kota itu keteraturan, dinamika yang terpisah dan kebudayaan menjadi satu kesatuan. Suatu kota yang harus punya iramanya sendiri. Ia harus punya jiwa, ia punya badan, janganlah satu kota hanya menempatkan manusia menjadi besi-besi tua yang berjalan. Ali menjadikan Djakarta sebagai kota dimana manusia menemui kemanusiaannya.

Di satu waktu Ali disidang oleh anggota DPRD terhadap dana judi. Dengan lantang Ali berkata pada mereka :"Oke Saudara-saudara sekalian, ini memang dana judi. Tapi kalau kalian mengharam dana judi, itu hak saudara-saudara, silahken Saudara naik helikopter karena jalan-jalan yang mulus itu saya bangun dari dana judi!"......

Ali memang pemarah tapi tegas. Ia tiap pagi kerjanya mengontrol saluran selokan, kali-kali besar di Djakarta ia perintahkan untuk dibersihkan bantarannya, Ia kumpulkan seniman dan menanyakan problem-problem masyarakat pada seniman dan sastrawan. Ali sadar bahwa jiwa sebuah bangsa, teriakan sebuah bangsa itu yang bisa menangkap seniman dan sastrawan. Ali melindungi kesenimanan dan kepengarangan dengan mengadakan kompetisi, pemda sendiri yang membiayai.

Tahun 1974 kepopuleran Ali sudah mencapai puncak. Ada dua rivaal Suharto saat itu, Jenderal KKO Ali Sadikin dan Jenderal Mitro Gendut, Jenderal Mitro sempat menegur Ali "Pak Ali, saya tidak mau ambil pusing berita soal bapak digadang-gadang jadi Presiden RI, tapi tolong kalau bapak bicara ke mahasiswa jangan memanas-manasi situasi" ditegur begitu Ali diam saja. Tak lama setelah Malari meletus Mitro tersingkirkan.

Ali Sadikin maju terus, proyek Taman Mini ali oke..Ali juga memanggil Ciputra dan berkata "Pak Tji, saya mau itu Ancol jadi pantai mirip Ipanema atau Copacabana.." Ciputra tertawa dan berkata "segera pak" PT Jaya yang merupakan pelaksana proyek dari proyek2 Pemda melaksanakan dengan cepat.

Ali Sadikin sudah mengajarkan pada kita tentang makna sebuah kota. Kota harus menjadi ruang gerak yang dinamis bagi penduduknya, ia menjadi pusat ekonomi tapi juga harus punya jiwa. Kota adalah ruang terbuka, ia ruang publik dan disitulah nafas harus dihirup sepuas-puasnya. Kota yang dikurung gedung hanya untuk kepentingan Kebendaaan akan mejadi kota yang bisu, kota yang beku tidak ada dinamika.

Kota sudah selayaknya sebagai tempat sarang seniman, sastrawan dan budayawan. Tempat berkumpulnya atlet-atlet membina tubuhnya. Kota harus memiliki museum, dari museum sebuah masyarakat bisa banyak mengerti bagaimana kekikinia dibentuk. Kota harus memberikan akses ekonomi pada seluruh rakyat, bukan satu lapisan elite saja, kota mustinya tempat produktif sebuah pemikiran bangsa dibentuk bukannya malah tempat konsumtif yang berlebihan dan mendangkalkan daya pikir.

Kini Djakarta tumbuh tanpa konsep, setelah Ali disingkirkan dan dijadikan warga negara kelas dua karena keterlibatannya dalam Petisi 50, Djakarta gagal berkembang secara teratur. Gubernur-Gubernur Djakarta setelah Ali Sadikin bukanlah orang berpikiran ke depan, mereka sibuk menangkapi becak tapi mobil impor terus banjir tanpa mau peduli membangun sarana transportasi massal. Padahal Ali sudah membuatkan rencana pembangunan subway dan beberapa sarana angkut transportasi massal tahun 1976 tapi sudah keburu digusur Suharto.

Bahkan ada seorang Gubernur Jakarta yang berkata "Kita kekurangan Mall" Pusat-pusat perbelanjaan macam Mall mewah harus dibangun seribu lokasi lagi.

Padahal Ali Sadikin membangun pasar tanah abang, yang dibangun adalah ekonomi rakyat, bukan ekonomi elite. Yang dibangun adalah infrastruktur untuk rakyat bukan kepuasan elite, ruang terbuka mustinya dibangun untuk kecerdasan bukan melatih ketumpulan warga kota. Kini warga kota Djakarta seakan dikelilingi tembok kapitalis, tidak ada ruang yang nyaman yang bisa dimasuki tanpa harus membayar.

Kota kita adalah kota dimana uang menjadi Tuhan dan manusia terbudaki karenanya...Kota yang tidak lagi mengantarkan manusia menemui kemanusiaannya.

ANTON DH NUGRAHANTO, 2010

***