Runtuhnya Kesombongan Sang Gubernur

Kenapa di banjir Jabodetabek awal tahun lalu, publik hanya menyalahkan gubernur DKI, bukan gubernur Jabar dan Banten? Ya semua karena ucapan Pak Anies sendiri sebagai gubernur DKI.

Selasa, 11 Februari 2020 | 07:40 WIB
0
385
Runtuhnya Kesombongan Sang Gubernur
Anies Baswedan (Foto: lokadata.id)

Anda ingin tahu kenapa kita "sedikit pantas" untuk menyalahkan gubernur DKI jika ada banjir di Jakarta? Semua itu karena ucapan beliau sendiri. Berikut saya coba rangkai penyebabnya.

Saya sebenarnya malas menuliskan ini karena bagi saya banjir adalah musibah yang tak perlu dicari siapa yang salah. Namun, saya juga tidak suka saat para buzzer gubernur selalu pamer tentang banjir di kota lain.

Terutama Surabaya. Entah kenapa buzzer Anies suka sekali jika ada kabar Surabaya banjir. Bahkan kalau di WAG, mereka pakai metode sok peduli sok konfirmasi, "Surabaya banjir, ya?" Habis itu posting video-video banjir Surabaya.

Cepat sebarkan video banjir Surabaya, keburu surut! Mungkin begitu perintah jendral buzzer.

Kenapa di banjir Jabodetabek awal tahun lalu, publik hanya menyalahkan gubernur DKI, bukan gubernur Jabar dan Banten? Ya semua karena ucapan Pak Anies sendiri sebagai gubernur DKI.

Kalimat pertama: "Banjir bukan bencana alam, tapi manajemen air."

Kalimat tersebut memperlihatkan kesombongan yang luar biasa. Seakan-akan dengan kemampuan manajemen dia sebagai gubernur, dia pasti bisa menghindari banjir. Itu kan cuma mengatur jumlah air datang dan keluar. Mudah! Begitu kiranya.

Tapi, saat banjir besar melanda Jakarta, dia baru mengeluhkan bahwa curah hujan tidak bisa dia kendalikan, ini cuaca ekstrim seluruh Indonesia, bla-bla-bla....

Baca Juga: Megawati, Risma dan Banjir

Sadarlah, banjir itu ya memang bencana alam. Kita hanya bisa berusaha untuk meminimalisasi. Mengurangi risiko banjir. Namun, bukan berarti kita bisa sombong terhadap kebesaran alam.

Kalimat kedua: tentang pendapat bahwa membuat gorong-gorong raksasa itu dianggap salah. Melawan Sunnatullah.

Jakarta itu sudah jelas merupakan wilayah pesisir yang akan dilewati air dari daerah yang lebih tinggi. Kalau sadar manajemen air, menciptakan jalur raksasa khusus air tentu sangat bijak dibanding menyalahkan daerah di atasnya.

Yang terjadi, Anies menyalahkan wilayah atasnya agar membuat waduk dan lain-lain. Oke, waduk memang perlu, tapi itu bukan bagian dari wewenang yang bisa diambil sama gubernur DKI. Menciptakan jalur air (gorong-gorong) yaitu dengan normalisasi sungai jelas merupakan langkah nyata yang harusnya dikerjakan.

Itulah kenapa Jokowi dulu bilang bahwa dengan jadi presiden, dia akan lebih mudah mengurangi risiko banjir Jakarta, karena dengan jadi presiden, dia bisa menekan gubernur lain agar mengurangi air yang ke Jakarta dengan waduk dll. Dan itu sudah dikerjakan.

Namun, meski daerah atas sudah dibenahi, normalisasi sungai di Jakarta, ya harusnya juga dilanjutkan. Masalahnya, kesombongan ahli manajemen itu membuat normalisasi dianggap tidak penting dan tidak dilanjutkan. Tentu fatal akibatnya.

Kalimat ketiga: "Bukan normalisasi tapi naturalisasi."

Kalimat di atas diucapkan dengan penuh retorika. Duh!

Kalau sungai sudah normal, baru..., silakan bicara naturalisasi. Memangnya langkah pertamanya apa untuk mewujudkan naturalisasi sungai? Ya normalisasi, itu langkah pertamanya.

Kalimat keempat: "Air hujan harus ditangkap dan dimasukkan ke dalam tanah oleh setiap rumah."

Saya setuju setiap rumah atau gedung punya resapan air sehingga air tanah kembali terisi. Namun bukan berarti sampai air hujan pun harus diresapkan ke tanah semua.

Coba Anda pikir saja, mana mungkin saat hujan deras, setiap bangunan bisa menampung dan meresapkan air hujan ke tanahnya. Tak masuk akal. Ya pasti harus ada yang dibuang keluar, itulah gunanya selokan dan sungai.

Yang wajib buat resapan air adalah untuk air domestik. Air mandi, cuci, dll. Itu harus diresapkan ke tanah. Dan harusnya memang dibuat perda untuk ini. Bangunan vertikal pun harus punya resapan super besar untuk pemakaian air domestik, entah di halaman parkir atau di tamannya.

Pokoknya, untuk air rumah tangga, tidak boleh dibuang keluar. Itu baru masuk akal dan seharusnya diterapkan secara nasional. Tapi air hujan, ya disalurkan ke selokan!

Kalimat kelima: "Banjir yang kemarin itu, bukan apa-apanya dibanding banjir yang pernah dialami pak Basuki."

Kalimat di atas diucapkan Pak Anies setelah banjir di awal Desember 2019. Baru banjir kecil. Namun setelah bicara seperti itu, Jakarta langsung diberi banjir besar di penghujung tahun.

Bahkan mantan gubernur DKI Pak Sutiyoso berkomentar di TV tentang parahnya banjir Jakarta awal 2020 itu, "Tetapi dasar nasibnya si Anies, ini mbahnya parah kalau ini. Ini terlalu ekstrim. Dulu saya itu nggak ada sampai mobil hanyut kayak yang saya lihat ini."

Jadi sekali lagi, kesombongan bahwa banjir di era Ahok lebih besar, ya langsung dibalas oleh alam.

Baca Juga: Mudahnya Anies Mengatasi Banjir

Apa setelah banjir besar itu masih ada kalimat bernada sombong lagi? Ada kutipan di di judul berita detikcom tanggal 9 Januari 2020 yang mengatakan:

Kalimat keenam: "Alhamdulillah bundaran HI tak ketutup."

Kalimat seperti itu adalah kalimat pembenaran dengan cara mencari kesalahan orang lain. Dan celakanya, kalimat sombong itu lalu dibalas dengan tergenangnya wilayah Monas.

Sudahlah, jangan cari kesalahan orang lain untuk membela diri. Jangan mengumbar banjir Surabaya hanya untuk tunjukkan bahwa banjir di Jakarta itu "tidak apa-apa".

Banjir memang tidak apa-apa. Banjir itu memang bencana alam. Makanya nggak usah bilang macem-macem.

Pak Anies, mari berhenti memberi pernyataan yang bernada ujub, takabur dan merasa sudah banyak berbuat. Ingatlah pesan Aa Gym.

Eh, kalau mengenai buzzer yang suka menyerang Surabaya mungkin wajar ya. Kan isunya Risma bakal ditandingkan ke Jakarta tahun 2022 nanti. Wajar kalau Risma harus diserang sejak sekarang.

Tolong diingat, saya sebenarnya malas menulis ini. Tapi buzzer Anies yang memaksa saya untuk menulis ini.

Tapi misal Anda tanya ke saya apakah saya dukung Risma ke Jakarta, saya akan jawab tidak. Risma baik, tapi belum tentu mampu. Saya sih tetap berpendapat kalau gubernur Jakarta itu levelnya harus setangguh Ahok. Dan masih sulit cari yang seperti dia.

Tambahan, penutup:
Jadi, jika berbicara banjir di kota lain itu, tak bisa diberi bumbu kritikan karena banjir adalah bencana alam.

Sedangkan mengkritisi banjir Jakarta itu sangat layak karena itu hanyalah masalah manajemen air dan kembali ke ucapan Pak Gubernur itu sendiri.