Waspadai Intervensi Asing di Papua, Jangan Sampai Terjadi Timor Timur Jilid II

Apakah isu kehadiran itu sekedar dusta politik untuk melegalkan kehadiran pasukan AS di Papua, seperti di Irak sekarang ini yang akan tetap menyatakan keinginan untuk tetap berada di Irak?

Rabu, 24 Juli 2019 | 11:57 WIB
0
764
Waspadai Intervensi Asing di Papua, Jangan Sampai Terjadi Timor Timur Jilid II
Benny Wenda (Foto: Detik.com)

Meski Indonesia telah mengecam penghargaan bagi tokoh separatis Papua di Inggris, pemerintah Indonesia harus tetap waspada, apakah Papua sengaja diangkat ke permukaan demi memunculkan opini baru tentang Papua yang seirama dengan keinginan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selama ini selalu mengacaukan situasi dalam negeri Indonesia, terutama di Papua.

Sudah tentu tingkat kewaspadaan ini mengingatkan akan sejarah Timor Portugis sekarang menjadi Negara Timor Leste, di masa lalu. Indonesia terpaksa melepas wilayah yang telah menjadi provinsi di Indonesia tersebut. Awalnya Amerika Serikat (AS) mendukung masuknya tentara Indonesia melawan komunisme. 

Tetapi setelah kelompok komunis tumbang, Indonesia menjadikannya sebagai wilayah Indonesia. Selanjutnya terjadilah apa yang saya istilahkan "akal-akalan" negara Paman Sam itu. Akibatnya Timor Portugal lepas dari Indonesia.

Minggu ini memang kita terkejut dan kaget dengab ulah Dewan Kota Oxford, Inggris, yang memberikan penghargaan "Freedom of the City Award" kepada tokoh separatis Papua Benny Wenda, hari Rabu, 17 Juli 2019, yang tinggal di Inggris. Sekaligus penghargaan itu merupakan kelanjutan dukungan Dewan kota kepada gerakan Papua Merdeka setelah memberi izin pembukaan kantor "Free West Papua Campaign" di Oxford pada 2013.

Baca Juga: Tak Layak Terima Penghargaan, Jejak Hitam Benny Wenda yang Kabur dari Penjara

Dalam jumpa pers mingguan di kantornya, Kamis, 18 Juli 2019, pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan, pemerintah Indonesia mengecam tindakan Dewan Kota Oxford yang telah memberikan penghargaan kepada Benny Wenda, pegiat separatisme yang memiliki rekam jejak kriminal di Papua.

"Penghargaan ini menunjukkan ketidakpahaman Dewan Kota Oxford pada sepak terjang yang bersangkutan dan kondisi provinsi Papua dan Papua Barat," kata Faizasyah.

Meski begitu, lanjutnya, Indonesia menghargai sikap tegas pemerintah Inggris yang konsisten mendukung penuh kedaulatan dan integritas Indonesia.

Dia menambahkan, pemberian penghargaan oleh dewan kota bukan sesuatu yang luar biasa. Karena itu, sikap Dewan Kota Oxford tidak bermakna apapun dan tidak merepresentasikan sikap pemerintah Inggris.

Pertanyaan yang muncul, jika peristiwanya tidak bermakna apa pun, mengapa pemberitaannya meluas ke manca negara. Selama ini kita ketahui, Inggris adalah sekutu Amerika Serikat. Hampir sama sikap kedua negara ini dalam memahami "Standar Ganda," atau "Double Standard." 

Kita masih ingat bagaimana ketika Inggris melalui mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, menyampaikan permohonan maaf atas serangan yang dilancarkan Inggris terhadap Irak tahun 2003 lalu. Saat itu, Inggris yang tergabung dalam koalisi pimpinan Amerika Serikat menyerang Irak untuk melengserkan mantan Perdana Menteri Irak Saddam Hussein.

Blair mengaku, dirinya menyesalkan atas perencanaan konflik yang buruk. Ia tidak memikirkan bagaimana nasib Irak selanjutnya, setelah Saddam Hussein berhasil dilengserkan. Blair meminta maaf karena telah mempercayai laporan intelijen yang salah, yang dia gunakan untuk membenarkan serangan ke Irak saat itu. 

Apa memang benar mengenai kata-kata Blair? Di samping itu dapat kita lihat perkembangan terbaru di mana Amerika Serikat dan Republik Rakyat China (RRC) mengatakan mengakui satu China yaitu RRC. Tetapi dapatkah kita membenarkan bahwa AS mengirim juga senjata kepada Taiwan?

Diberitakan dari Wikileak, bahwa Benny Wenda sekarang memiliki tujuh Putra-Putri Papua Lulus Universitas di AS, Seorang dengan Magna Cum Laude. Benny meninggalkan Indonesia pada 1990-an.

Saat menerima penghargaan tersebut, Benny Wenda, berujar: "Oxford adalah salah satu yang pertama mendengar tangisan rakyat Papua Barat untuk keadilan, hak asasi manusia, dan menentukan nasib sendiri".

Pemimpin Serikat Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) ini mendapat suaka politik di Inggris pada 2002 dan membuka kantor gerakan Papua merdeka di Oxford pada 2013. 

Secara pribadi, saya pernah di Papua ketika tahun 1975-1979 dan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Negeri Cenderawasih, Abepura, Papua. Namanya dulu Fakultas Ilmu-Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES). Saya kuliah di Jurusan Hukum. Tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM), sering kami lihat di kampus, kemudian menghilang.

Baca Juga: Gratulatione Mr. Wenda Benny!

Ada baiknya pihak keamanan banyak didatangkan ke Papua, lebih-lebih ketika terhadap gangguan bersifat sporadis dari OPM. Apalagi isu masuknya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) di Papua, jangan sampai mengundang kehadiran pasukan AS dan Inggris.

Apakah isu kehadiran itu sekedar dusta politik untuk melegalkan kehadiran pasukan AS di Papua, seperti di Irak sekarang ini yang akan tetap menyatakan keinginan untuk tetap berada di Irak?

Tema sentralnya yaitu kehadiran ISIS, meski sebenarnya itu gerilyawan ciptaan AS sendiri.

***

Keterangan: Artikel yang sama telah ditayangkan di Kompasiana.com dengan sedikit peribahan di judul, disesuaikan dengan karakter pembaca PepNews.