Tak Layak Terima Penghargaan, Jejak Hitam Benny Wenda yang Kabur dari Penjara

Benny juga pernah menyebar isu yang belakangan diketahui bohong belaka. Saat itu, September 2017, ada kabar petisi rahasia persetujuan referendum Papua telah dikirim ke PBB.

Sabtu, 20 Juli 2019 | 15:19 WIB
0
761
Tak Layak Terima Penghargaan, Jejak Hitam Benny Wenda yang Kabur dari Penjara
Benny Wenda (Foto: The Fiji Times)

Benny Wenda mendapat penghargaan Kebebasan Kota (Freedom of the City) dari Dewan Kota Oxford. Pria kelahiran Papua yang kini jadi warga negara Inggris itu mengklaim sebagai pemimpin gerakan Papua merdeka, namun tak diakui oleh milisi OPM di Papua. Berikut adalah jejak Benny yang pernah masuk daftar buron interpol ini.

 Sebagaimana keterangan resmi Kementerian Luar Negeri, Kamis (18/7/2019), Benny disebut sebagai "pegiat separatisme Papua yang memiliki rekam jejak kriminal di Papua." Indonesia mengecam keras pemberian penghargaan untuk orang seperti Benny.

 Benny adalah putra Suku Lani di Lembah Baliem, Papua. Banyak yang menyebut dia lahir di tanggal yang sama dengan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, yakni 17 Agustus, 29 tahun setelah tahun kemerdekaan RI. Namun di situs webnya, Benny tak menyebut tanggal dan tahun kelahirannya. Dia hanya menuliskan lahir pada dekade '70-an, dibesarkan dalam suasana damai di alam pegunungan.

 Benny berujar, suasana di desanya berubah sejak 1977, yakni saat militer hadir di desanya. Dia mengaku menyaksikan bentuk-bentuk kekerasan saat masa kecilnya. Benny dan keluarganya melarikan diri ke hutan sebelum akhirnya menyerah karena neneknya meninggal dunia saat pelarian itu.

 Benny bersekolah di sekolah Indonesia. Saat SMA, dia adalah satu dari dua saja orang Papua di dalam kelas. Dia mengaku mengalami perlakuan tidak mengenakkan dari teman-teman saat massa remajanya itu. Dia menyimpulkan bullying ini adalah bentuk rasisme. Dia mengaku pernah diludahi teman perempuannya dan ditertawakan teman-teman sekelas. Pendidikannya terus berlanjut. Dia mengaku sebagai lulusan ilmu sosiologi dan politik di salah satu universitas di Jayapura.

 Fajar reformasi 1998 membawa angin perubahan. Presiden Soeharto lengser keprabon. Kontrol militer di Papua menjadi longgar. Bendera-bendera Bintang Kejora mulai berkibar di Papua. Benny menyebut tahun 1999-2000 sebagai 'musim semi Papua', karena pemerintah pusat mulai membuka dialog dengan tokoh-tokoh Papua.

Presidium Dewan Papua (PDP) kemudian dibentuk. Benny kemudian tampil sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) yang pro-kemerdekaan Papua, menolak otonomi khusus, dan menolak kompromi dengan pemerintah Indonesia, namun mendukung PDP.

 Dilansir BBC, pihak Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa Benny terlibat penyerangan Markas Polsek Abepura pada 7 Desember 2000. Penyerangan itu menimbulkan korban jiwa dan kerusakan bangunan. Enam orang yang terdiri dari polisi dan masyarakat sipil tewas dalam serangan itu. Senjata dan amunisi dicuri dari Mapolsek Abepura.

 Dalam buku 'Updating Papua Road Map' yang disunting Suma Riella Rusdiarti dan Cahyo Pamungkas, dijelaskan perihal penangkapan Benny. Pada 6 Juni 2002, Benny ditangkap dan ditahan di Jayapura. Tuduhan yang dikenakan adalah mengajak massa menyerang sebuah kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura pada 7 Desember 2000.

Benny dihadapkan ke pengadilan pada 24 September 2002. Dikatakan di buku itu, Benny disiksa dalam tahanan dan takut mengonsumsi makanan penjara karena khawatir diracun. Benny mendapat rumor bahwa dirinya akan segera dibunuh di tahanan.

 Pada 27 Oktober 2002, Benny membobol jeruji besi. Dia kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura. "Saya menjebol lubang ventilasi dan merangkak ke luar," kata Benny kepada The Guardian.

 Dia dilarikan teman-temannya menyeberang ke negara di sebelah timur Jayapura, yakni Papua Nugini. Berkat bantuan kelompok LSM Eropa, Benny bisa kabur sampai Inggris. Dalam buku 'Papua Berdarah: Kesaksian seorang Fotografer di Papua Barat yang Lebih dari 30 Tahun' karya Peter Bang, Benny lewat bantuan pengacara Australia Jennifer Robinson mendapat perlindungan dari Inggris. Suaka dia dapatkan dari Inggris tahun 2003.

Soal kasus penyerangan Polsek Abepura tahun 2000, Benny menyangkalnya. "Bahkan saya tidak di dalam negeri waktu itu dan Indonesia tidak bisa menemukan saksi mata independen satupun. Tuduhan itu sangat politis. Inggris telah memberi saya suaka namun bertahun-tahun sesudahnya Indonesia masih saja mengancam saya," kata Benny dilansir BBC dari berita 25 November 2011.

Jejak Benny Wenda: Kabur dari Penjara, Diburu Interpol, Hidup di InggrisBalai Kota Oxford (Facebook Oxford City Council).

 

Baca Juga: Gratulatione Mr. Wenda Benny!

Benny mendapat kewarganegaraan Inggris dan tinggal di Oxford bersama istri dan anak-anaknya. "Ketika saya lari dari penjara Indonsia di West Papua (istilah orang-orang pro-kemerdekaan Papua untuk menyebut Provinsi Papua dan Papua Barat teritorial Indonesia) pada 2002, Oxford adalah satu dari tempat pertama di dunia yang menerima saya dan keluarga saya.

Saat mendapatkan suaka di Inggris dan menjadikan Oxford sebagai rumah saya," kata Benny saat menerima penghargaan dari Dewan Kota Oxford, 12 Juli 2019 pekan lalu, dilansir situs resmi Pemerintah Oxford, Kamis (18/7/2019).

Pada 2011, Interpol menerbitkan red notice untuk Benny Wenda, artinya Benny Wenda diburu aparat internasional. Red notice dikeluarkan karena salah satu dari 190 negara anggota menginginkan seseorang itu untuk ditangkap dan diekstradisi. Interpol mengatakan red notice diterbitkan oleh Polisi Papua karena Benny "terlibat tindak kriminal menggunakan senjata/bahan peledak."

Dilansir dari berita BBC pada 6 Agustus 2012, Interpol menghapus nama Benny Wenda dari daftar red notice-nya. Penghapusan itu dilakukan Komisi Pengendalian Berkas Interpol (CCF).

 "Setelah memeriksa kembali semua informasi yang tersedia... Komisi (Interpol) akhirnya memutuskan bahwa kasus terhadap klien Anda pada dasarnya adalah kasus politis," kata Sekretariat Komisi Interpol dalam suratnya kepada LSM yang mengadvokasi Benny, Fair Trial International.

Benny dan rekan-rekan seideologinya kemudian berkumpul di Vanuatu. Di negara yang terletak di Samudera Pasifik ini, Benny dkk mendirikan Serikat Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) pada 7 Desember 2014. Benny Wenda menjadi juru bicara ULMWP. Organisasi ini mendapatkan status pemantau (observer) Melanesian Sparehead Group (MSG), namun Indonesia sendiri juga menjadi anggota di MSG.

 Juli 2019, Benny dengan ULMWP-nya mengklaim telah berhasil menyatukan tiga kelompok milisi separatis di Papua. Tiga kelompok bersenjata yang bersatu itu termasuk Tentara Revolusi Papua Barat (TRWP), TNPB/OPM dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Nama terakhir adalah yang menewaskan puluhan orang di proyek Jalan Trans Papua di Nduga. ULMWP menyatakan sebutan untuk semua faksi militer itu sebagai Tentara West Papua (West Papua Army).

Klaim Benny bertepuk sebelah tangan. "Kami menolak klaim baru yang dibuat ULMWP berkenaan dengan tuduhan merger tentara West Papua," kata pernyataan bersama tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) TPNPB itu pada 7 Juli 2019.

Kemudian pada Januari silam, Wakil juru bicara Badan PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Ravina Shamdasani, menepis klaim Benny Wenda bahwa dia melakoni pertemuan khusus dengan Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet. Shamdasani mengatakan tidak ada pertemuan khusus antara Bachelet dan Benny.

Benny juga pernah menyebar isu yang belakangan diketahui bohong belaka. Saat itu, September 2017, ada kabar petisi rahasia persetujuan referendum Papua telah dikirim ke PBB. Petisi itu diisukan berisi persetujuan referendum Papua Barat. PBB mengonfirmasi bahwa Benny tak pernah menyerahkan dokumen tersebut.

 "Sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24), saya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah menerima, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," ujar Ketua Kolonisasi PBB di New York, Rafel Ramirez dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/9/2017) lalu. Wakil Tetap Venezuela untuk PBB itu menegaskan tak pernah berkomunikasi sama sekali dengan Benny. Ia menilai ada pihak yang ingin melakukan propaganda.

Benny juga pernah sengaja disusupkan Vanuatu ke kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-bangsa (KTHAM PBB). Vanuatu menempatkan Benny sebagai delegasi Vanuatu untuk kunjungan kehormatan ke kantor KTHAM tersebut pada Jumat, 25 Januari 2019.

Kantor KTHAM pun tidak tahu mengenai penyusupan itu. Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa, Hasan Kleib, menyebut kunjungan kehormatan tersebut dilakukan dalam rangka pembahasan UPR (Universal Periodic Review) Vanuatu di Dewan HAM. Indonesia protes.

 "Kami sudah melayangkan nota protes keras kepada Vanuatu. Dalam hubungan diplomatik, sekali lagi, rasa saling menghormati itu harus dijunjung tinggi. Salah satu prinsip yang harus dihormati semua negara adalah menghormati kedaulatan negara lain," kata Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2019) lalu.

***