Fakta di Balik Debat Capres Keempat

Kalau pun Prabowo menjadi Pemenang Pilpres 2019, belum tentu juga bisa secepat itu memperbaiki keadaan.

Rabu, 3 April 2019 | 22:01 WIB
0
471
Fakta di Balik Debat Capres Keempat
Rossa menyanyikan Indonesia Raya sebelum debat Capres (Foto: Dream)

Memang kalau bicara bobot, Jokowi tidak sebanding dengan Prabowo, secara penampilan saja sudah beda. Lihat saja Prabowo tampil dengan Jas yang lengkap, sehingga kalau dibandingkan dengan Jokowi terasa Jomplang.

Sementara Jokowi tampil dengan pakaian kebesarannya, kemeja putih dan celana hitam. Kalau dari segi penampilan jelas Jokowi kalah dibandingkan dengan Prabowo. Kalau ibarat sebuah produk, secara kemasan Prabowo lebih menarik.

Secara postur juga tidak sebanding, Prabowo bobotnya gemuk, sementara Jokowi bobotnya kurus, tidak pantas untuk bilang berbobot, hanya orang yang gemuk pantas dibilang berbobot.

Tulisan ini tidak ingin membahas bobot secara fisik, karena kalau bobot fisik jelas tidak sebanding. Saya ingin membahas tentang 'Bobot' dalam hal memberikan solusi dari berbagai pertanyaan yang diajukan Panelis.

Dari jawaban Jokowi maupun Prabowo, mana saja yang sesuai dengan faktanya, dan mana yang tidak sesuai dengan fakta. Dari fakta inilah kita bisa menakar bobot kedua Capres, yang mana bicara sesuai dengan fakta, dan yang mana pula yang bicara tidak sesuai dengan fakta dan data.

Saat memaparkan visi misi, Prabowo Subianto dengan intonasi yang tinggi, dengan gaya orator mengatakan, saat ini korupsi sudah terlalu banyak bak penyakit stadium IV, jual beli jabatan, dan masyarakat menginginkan pemerintahan yang bebas dari korupsi.

Faktanya:

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 2018 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII), Indonesia memiliki indeks 38 dari skala 0 sampai 100. Nol untuk yang terendah atau paling korup, sementara 100 untuk yang tertinggi atau paling tidak korup.

IPK Indonesia itu naik satu poin dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 37. Dengan angka tersebut Indonesia menempati peringkat ke 89 dari 180 negara.

Sementara itu di era sebelumnya, tepatnya di 2014, Indonesia mendapatkan skor IPK 34. Skor itu naik dua angka dibanding 2013 yang mencapai 32. Saat itu Indonesia masih berada di peringkat ke-109. Artinya IPK lebih baik dari sebelumnya, dan pernyataan Prabowo tidak sepenuhnya benar.

Jokowi mengatakan di bidang pemerintahan ke depan diperlukan "Pemerintahan Dilan" (digital melayani), yang terdiri dari empat komponen. Ini terdiri dari reformasi dalam pelayanan publik lewat elektronik (e-government), penajaman dan kelembagaan, peningkatan kualitas aparatur dan reformasi tata kelola.

Faktanya:

Berdasarkan indeks persepsi pelayanan publik dan indeks persepsi anti-korupsi Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, nilai rata-rata indeks reformasi birokrasi meningkat, baik di tingkat kementerian/lembaga (K/L) maupun pemerintah daerah.

Di tingkat K/L, indeks itu meningkat dari 65,78 pada 2015 menjadi 71,91 tahun 2017. Di tingkat pemerintahan provinsi, nilainya meningkat dari 41,61 di 2015 menjadi 60,47 tahun 2017. Sementara level kabupaten/kota meningkat dari 42,96 di tahun 2015 menjadi 64,61 di tahun 2017.

Sementara itu, berdasar survei EGDI (E-Government Development Index) PBB, peringkat Indonesia pada 2018 berada di 107 dari 193 negara. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat 116 dari 193 negara. Artinya ada peningkatan dalam hal pelayanan, dan apa yang dikatakan Jokowi adalah benar.

Dari hal ini bisa dinilai, bahwa apa yang dikatakan Jokowi tersebut tentang Pemerintahan Dilan, jelas akan memberikan efek yang positif dalam segi pelayanan publik. Hanya saja Prabowo tidak terlalu hirau dengan tekhnologi terbarukan, bagi dia bagaimana caranya kebocoran anggaran tidak terjadi. Pemerintah menjadi efektif kalau bisa mengatasi hal tersebut.

Dalam Debat tersebut juga, Prabowo Subianto menyebut masalah bangsa Indonesia adalah kekayaan yang tidak tinggal di dalam negeri. Ia lebih memilih memakai teknologi lama namun bisa menjaga kekayaan ekonomi di Indonesia ketimbang menggunakan teknologi terbaru tapi kekayaan lari keluar negeri.

Faktanya:

Kementerian Keuangan pada 2016 memperkirakan ada sekitar Rp11.450 triliun potensi harta warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri. Jumlah tersebut hampir menyamai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar Rp11.540 triliun pada kuartal IV 2015.

Sebelumnya, laporan Panama Papers mencatat ada 2.960 nama wajib pajak Indonesia yang tercatat sebagai klien dari 43 perusahaan offshore yang terafiliasi dengan Mossack Fonseca. Bahkan sempat dilansir berbagai media, diantara klien Panama Paper, termasuklah nama Prabowo dan Sandiaga uno. Perusahaan offshore adalah perusahaan yang beroperasi di mancanegara dan dibentuk guna mengkapitalisasi modal para kliennya.

Dalam konteks Mossack Fonseca, dana yang dipercayakan para kilennya diputar oleh perusahaan offshore di negara-negara yang memberikan fasilitas perpajakan (tax haven).

Dari berbagai data ini, pemerintah kemudian membentuk program pengampunan pajak (tax amnesty) untuk memulangkan harta WNI di luar negeri. Dari hasil tax amnesty, pemerintah mengantongi deklarasi sebesar Rp4.813,4 triliun dan repatriasi Rp146 triliun.

Secara fakta, apa yang dikatakan Prabowo memang benar, tapi kalau  pada kenyataannya bahwa dia sendiri termasuk dari bagian orang-orang yang membawa kekayaan Indonesia keluar negeri, jelas ini seperti menepuk air didulang.
==
Sebagai Mantan militer, sepertinya Prabowo sangat Concern pada Pertahanan. Prabowo merasa prihatin melihat alokasi anggaran Pertahanan. Prabowo Subianto menyatakan anggaran sektor pertahanan Indonesia masih terlalu kecil.

Prabowo Subianto mengatakan anggaran pertahanan Indonesia saat ini sebesar Rp107 triliun atau 5 persen dari APBN serta 0,8 persen dari GDP (Produk Domestik Bruto/PDB). Padahal, kata dia, Singapura memiliki anggaran sebesar 30 persen dari APBN negara itu serta 3 persen dari PDB.

Faktanya:

Berdasar data dari Stockholm International Peace Research Institute, pada 2017, anggaran belanja militer Singapura sebesar 3,3 persen dari PDB, dan Indonesia sebesar 0,8 persen dari PDB.

Jika berdasarkan APBN masing-masing negara, belanja militer Singapura sebesar 17,2 persen dan Indonesia 4,8 persen.
Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014-2019, anggaran pertahanan, yang ada di Kementerian Pertahanan, menunjukkan kenaikan signifikan.

Pada 2014, anggaran pertahanan mencapai Rp86,2 triliun. Jumlah ini naik pada 2015 menjadi Rp101,4 Triliun. Pada 2016, anggarannya sempat turun menjadi Rp98,1 triliun.

Sedangkan pada 2017 mengalami kenaikan tertinggi hingga Rp117,3 triliun. Lalu pada 2018 mengalami penurunan menjadi 99,8 triliun. Angka ini naik kembali pada 2019 menjadi 108,4 triliun.

Pada 2019, Kementerian Pertahanan dinobatkan sebagai kementerian nomor dua yang mendapatkan alokasi anggaran terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Umum (PUPR). Kementerian PUPR sendiri mendapatkan alokasi sebesar Rp110, 7 triliun.

Artinya, anggaran Pertahanan termasuk dalam skala prioritas. Kalau anggaran Pertahanan prosentasenya lebih besar lagi, pastinya akan menggangu pemenuhan kebutuhan lainnya. Kesenjangan kemiskinan akan semakin melebar, bisa jadi masyarakat kita akan bernasib yang sama dengan Korea Utara.

Memang apa yang dikatakan Prabowo rerata sesuai dengan kenyataannya, tapi bukan didasari oleh ketidakpeduliian Pemerintah. Memperbaiki keadaan yang sudah puluhan tahun rusak, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi upaya Pemerintah selama 4,5 tahun, perlu juga diapresiasi.

Kalau pun Prabowo menjadi Pemenang Pilpres 2019, belum tentu juga bisa secepat itu memperbaiki keadaan. Belum terjun kelapangan, pastinya belum bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Apa lagi kalau cuma memimpin dari belakang meja. Silahkan saja Anda menilai sendiri mengenai bobot keduanya, siapa yang lebih berbobot.

 

***