Oil Bonanza

Administrasi pajak modern sekarang menganggap bahwa peningkatan kepatuhan sukarela sebagai tujuan utama.

Senin, 7 Maret 2022 | 06:12 WIB
0
441
Oil Bonanza
Pajak minyak ilustrasi (Foto: Mucglobal.com)

Target penerimaan pajak tahun 2021 sebesar Rp 1.229, 58 triliun ditutup dengan capaian mengesankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Meskipun sebelum berakhirnya tahun anggaran 2021 memang telah diprediksi target pajak akan tercapai.

Pada Oktober 2021 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyatakan di hadapan para wartawan bahwa terjadi lonjakan harga komoditas internasional terutama Batubara dan Kepala Sawit, sehingga membuat penerimaan pajak saat itu tumbuh 17%. Maka Indonesia ibarat mendapat ‘durian runtuh’ saat pandemi Covid-19. Saat negara lain kesulitan mencari uang untuk menutupi anggaran, Indonesia justru mampu mencapai target APBN.

Saya ingin mengajak Anda semua melihat pada masa lalu ketika Oil Bonanza melanda Indonesia lebih dari empat dekade silam. Ini bukan cerita isapan jempol. Indonesia pernah mengalami masa-masa emas ketika harga minyak bumi bertahta atau dikenal sebagai Oil Bonanza (Bonanza Minyak) atau Oil Boom. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak, tiba-tiba mengalami lonjakan permintaan internasional atau mengalami lonjakan harga penjualan minyak bumi yang sangat tinggi.

Bonanza Minyak terjadi sebanyak dua kali. Pertama, pada 1974 yaitu saat perang Arab-Israel. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Organization of Oil Exporting Countries (OPEC) memboikot Amerika dan menghukum negara-negara barat yang mendukung Israel. Tindakan tersebut menyebabkan harga minyak melonjak
tinggi, dari 3 USD per barel menjadi 12 USD per barel.

Kedua, Bonanza Minyak terjadi pada 1979-1980 ketika Revolusi Iran yang mengakibatkan lonjakan harga minyak dunia menjadi dua kali lipat. Kedua masa tersebut menyebabkan Indonesia meraup keuntungan penjualan minyak bumi yang sangat berlebih. Sehingga Indonesia mempunyai kemampuan untuk membangun perekonomian dari dana sendiri dan hanya sedikit membutuhkan investasi asing.

Namun masa Bonanza Minyak itu tak bertahan lama. Pada 1981-1982 harga minyak bumi mulai menurun dan tahun-tahun berikutnya harga semakin berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Bonanza Minyak. Saat itu lah pemerintah Indonesia mulai memikirkan sumber daya lain untuk membiayai pembangunan, yaitu dari pajak.

Permasalahannya adalah jumlah wajib pajak pada 1983 baru mencapai sekitar 600 ribu orang, sementara penduduk Indonesia sekitar 150 juta jiwa. Jumlah wajib pajak kaya bahkan belum mencapai 60 ribu orang. Padahal, posisi Indonesia telah naik tingkat, tidak lagi sebagai negara miskin, tapi sebagai negara berkembang. Kampanye pajak pun mulai dilakukan untuk menggerakkan pembangunan.

Tahun 1983 perpajakan Indonesia mulai memasuki tonggak baru. Fase baru tersebut ditandai lahirnya UU No. 6 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU No. 7 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), dan UU No. 8 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) beserta peraturan pelaksanaannya.

Sistem pemungutan pajak diperbaharui. Reformasi perpajakan dilakukan untuk membangun sistem yang baik dan kokoh. Era baru ini akhirnya kita kenal sebagai Self Assesment System. Perbedaan mendasar dari sistem sebelum yang dikenal sebagai Official Assesment adalah Self Assesment System lebih mendorong keterbukaan dan kesadaran wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya yang terhutang. Selain kemudahan itu, juga diberikan kebijakan berupa pemutihan pajak pada tahun 1985. Strategi tersebut menghasilkan hal positif. Jumlah wajib pajak yang semula hanya 600 ribu orang menjadi lebih dari satu juta.

Ada tiga tujuan dilaksanakannya Reformasi Perpajakan, yaitu: sederhana, keadilan dan pemerataan beban, dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Menyederhanakan dengan memangkas jenis perpajakan menjadi lima peraturan perpajakan, mengurangi tarif perpajakan sebelumnya 58 jenis tarif menjadi tiga tingkatan tarif, dan Surat Pemberitahuan (SPT) tidak lagi dikirimkan tetapi diambil oleh wajib pajak sendiri.

Keadilan dan pemerataan beban dengan memberlakukan tarif progresif, yang berarti semakin tinggi penghasilan, pajak yang harus dibayar semakin besar. Sementara upaya meningkatkan kepatuhan dilakukan dengan mengenakan tarif marginal tertinggi 35%, diharapkan akan lebih meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Upaya Reformasi Pajak tak berhenti sampai di situ. Pada 2002 dilakukan modernisasi administrasi Perpajakan dengan membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Satu dan KPP Wajib Pajak Besar Dua. Upaya ini untuk mendukung visi DJP yaitu menjadi model pelayanan yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia.

Tahun 2008 seluruh kantor pajak telah melakukan modernisasi sistem perpajakan. Reformasi pajak yang dilakukan meliputi tiga pilar, yaitu kebijakan pajak (tax policy), administrasi pajak (tax administration), dan peraturan pajak (tax law), di mana pembaharuan terhadap administrasi pajak idealnya mampu meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Namun faktanya kepatuhan pajak Indonesia masih terbilang rendah bahkan di kawasan ASEAN. Pada 2021 tax ratio Indonesia bahkan di kisaran 8,4 persen.

Administrasi pajak modern sekarang menganggap bahwa peningkatan kepatuhan sukarela sebagai tujuan utama. Karena audit, sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kepatuhan keberhasilannya terbatas dalam mengubah perilaku kepatuhan sukarela wajib pajak (IMF, 2017).

Karena itu pada 29 Oktober 2021 pemerintah mengesahkan UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, di mana salah satu tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Dalam Bab V UU tersebut mengatur tentang Program Pengungkapan Sukarela (PPS). PPS ini merupakan salah satu ikhtiar pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Kita memang harus mampu belajar dari sejarah, bahwa booming komoditas tertentu sumber daya alam tak pasti dan bertahan lama. Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak (Benjamin Franklin).


Refleksi. Majalah Internal DJP Intax Edisi 1/2022