Let's Kill All the Lawyers

Rendahnya posisi tawar penasihat hukum di depan persidangan sama payahnya ketika mendampingi kliennya dihadapan penyidik kepolisian.

Rabu, 7 April 2021 | 06:21 WIB
0
294
Let's Kill All the Lawyers
Ilustrasi pengacara (Foto: solopos.com)

Dengan jaminan dari tim penasihat hukum untuk menaati protokol covid, majelis hakim akhirnya memutuskan sidang Rizieq Shihab ditetapkan secara offline.

Terlepas materi kasus Rizieq Shihab yang butuh perdebatan terpisah, keberhasilan tim penasihat hukum Rizieq Shihab "memaksa" majelis hakim menggelar sidang offline layak diapresiasi. Faktanya selama ini meskipun mekanisme persidangan selama covid ditetapkan secara terbuka di depan persidangan, diakui atau tidak aspirasi penasihat hukum lebih sering tidak dipedulikan.

Majelis hakim lebih mempertimbangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai pihak yang lebih menentukan sukses tidaknya persidangan digelar.

Kehadiran penasihat hukum saat mendampingi terdakwa meskipun dikategorikan wajib menurut undang-undang jika menyangkut ancaman pidana 5 tahun atau lebih, namun tidak bersifat imperatif.

Tidak ada persidangan yang gagal digelar hanya karena alasan tidak didampingi penasihat hukum. Sebaliknya tanpa kehadiran JPU tidak mungkin persidangan digelar atau dilanjutkan.

Posisi JPU dalam persidangan andai diletakkan dalam hirarki menempati peringkat kedua setelah majelis hakim sebagai pemimpin dan pengendali jalannya persidangan.

Sementara penasihat hukum meskipun dibackup undang-undang serta haknya diatur dalam KUHAP, keberadaannya tidak sepenting jaksa apalagi hakim.

Rendahnya posisi tawar penasihat hukum di depan persidangan sama payahnya ketika mendampingi kliennya dihadapan penyidik kepolisian. Aturan yang memaksa penyidik memenuhi hak-hak klien penasihat hukum tidak diatur secara ketat, soal hak tersangka wajib didampingi penasihat hukum jika ancaman pidananya 5 tahun ke atas atau mengenai hak tersangka mengajukan saksi meringankan dalam BAP misalnya.

Lemahnya posisi tawar penasihat hukum di depan aparat penegak hukum lainnya misalnya ditunjukkan secara vulgar oleh tim penasihat hukum Rizieq Shihab yang ditolak masuk ruang sidang.

Ekspresi kekecewaan sampai histeris oleh penasihat hukum di ruang publik sekaligus merupakan strategi membangun posisi tawar dengan berharap dukungan publik. Termasuk misalnya sikap gagah-gagahan mereka yang sering diledek sebagai SJW (Social Justice Warrior) merupakan cermin rendahnya posisi bargaining para advokat.

Sialnya organisasi profesi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan advokat justru sibuk bertikai. Organisasi profesi yang pernah bersatu di bawah PERADI sebagai wadah tunggal berdasarkan UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat memilih berpisah dan membentuk tiga kubu saat Munas II Peradi berlangsung di Makassar.

Sengkarut di tubuh PERADI tidak berhenti, nasib sial terus membayangi profesi yang disanjung sebagai officium nobile. Selain PERADI yang kembar tiga, organisasi yang merupakan payung yang menaungi mereka yang dulu digelar Pembela juga melahirkan wajah baru, KAI, PERADRI, FERARI serta organisasi lain yang konon segera menyusul.

Semua organisasi merasa berhak mengatasnamakan advokat serta melaksanakan seluruh agenda keadvokatan seperti rekrutmen anggota dan seterusnya.

Akibatnya profesi advokat terlihat semrawut, dari pola rekrutmen advokat baru hingga pemberian sanksi etik terhadap prilaku negatif anggotanya terkesan tidak profesional.

Tidak adanya aturan main yang wajib dipedomani bersama membuat masing-masing organisasi merasa berhak mengatur diri sendiri tanpa harus mempertimbangkan pandangan organisasi lain. Tidak bulatnya suara advokat membuat pihak lain merasa tidak perlu mempertimbangkan saran maupun kritik mereka dalam hal pengambilan keputusan penting menyangkut advokat serta masyarakat pencari keadilan yang diwakilinya. Saat menentukan regulasi serta mekanisme sidang online selama pandemi misalnya, organisasi advokat tidak diajak bicara dan celakanya mereka bisa jadi menganggap hal tersebut merupakan kewenangan mahkamah agung yang tidak bisa dicampuri padahal taruhannya adalah nasib pencari keadilan yang juga merupakan klien para advokat.

Menetapkan satu organisasi sebagai wadah tunggal yang memayungi advokat sama sekali bukan jaminan lahirnya organisasi advokat yang kuat dalam arti memiliki posisi tawar yang seimbang dihadapan aparat penegak hukum lain, terutama saat berhadapan dengan negara. Ada banyak argumen yang bisa diajukan untuk mendukung premis ini, termasuk fakta saat PERADI masih berstatus sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Atas dasar hak kebebasan berkumpul dan berorganisasi lahirnya organisasi baru menjadi sulit didebat. Akibatnya isu organisasi tunggal yang memayungi advokat menjadi isu yang dianggap tidak relevan sekarang ini. Namun yang pasti marwah serta eksistensi profesi harus bisa ditegakkan bagaimana pun format organisasinya. Kesadaran serta jiwa besar terutama para elit profesi untuk duduk bersama memikirkan jalan keluar serta implikasi akibat lemahnya posisi advokat dihadapan aparat penegak hukum lain.

Disadari atau tidak lemahnya eksistensi advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum akan ditanggung khususnya masyarakat kecil yang menuntut keadilan. Bila para advokat tidak juga menyadari kondisi ini dan tetap memilih bermasa bodoh, saatnya publik mengingatkan akan bahaya yang mengancam pencari keadilan dengan kembali meneriakkan ucapan William Shakespeare, "Let's kill all the lawyers" agar para advokat terbangun dari tidur panjangnya.

***