Pasal penghinaan presiden bukanlah cara untuk memberangus demokrasi, melainkan cara untuk mengendalikan agar netizen tidak membabi-buta.
Pasal penghinaan Presiden akan dimasukkan ke dalam RKUHP langsung disetujui masyarakat, karena sebagai bentuk dukungan kepada Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara. Sehingga jika ada yang terang-terangan menghina dengan membuat anekdot, akan tersangkut pasal dan kena ancaman penjara.
Presiden Jokowi adalah presiden yang paling dicintai oleh rakyat, buktinya beliau terpilih kembali menjadi RI-1 pada pilpres tahun 2019 lalu dan elektabilitasnya tinggi. Masyarakat menilai presiden saat ini sudah bertindak adil dan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang ada di Indonesia. Sehingga mereka puas dengan kepemimpinan beliau.
Oleh karena itu, ketika ada pasal penghinaan presiden yang akan dimasukkan ke dalam RKUHP, masyarakat langsung menyetujuinya. Karena presiden adalah simbol negara dan tentu tidak boleh dijelek-jelekkan, dengan alasan apapun. Bagaimanapun, seorang presiden wajib dihormati oleh seluruh rakyatnya dan tidak boleh dijadikan bahan lelucon.
Pasal yang akan dimasukkan ke dalam RKUHP adalah pasal 217, bab II tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden, yang intinya “tiap orang yang menyerang presiden atau wakil presiden akan dipenjara paling lama 5 tahun”. Sedangkan di pasal 218 ayat 1 intinya “tiap orang yang menyerang martabat presiden dan wakilnya akan dipenjara 3 tahun 6 bulan”.
Sedngkan di pasal 219 intinya “tiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan gambar, rekaman, dll yang berisi penyerangan kehormatan terhadap presiden dan wakil presiden akan terancam hukuman 4 tahun 6 bulan”. Dalam artian, gambar itu termasuk meme, lelucon, anekdot hasil editan, dll.
Mengapa harus ada pasal-pasal untuk mengatur penghinan presiden? Penyebabnya karena sejak era reformasi, terjadi euforia tentang kebebasan berpendapat. Karena dulu saat masa orde baru, demokrasi dikungkung dan masyarakat tidak boleh bersuara sama sekali. Mereka takut akan dibreidel, bahkan kemungkinan terburuknya ditangkap petrus, saat protes.
Namun akhirnya kebebasan berpendapat ini langsung kebablasan. Apalagi di era internet, media sosial juga booming sehingga masyarakat bisa menyuarakan isi hatinya dengan cepat dan langsung viral. Sayangnya kebebasan disalahgunakan dengan menyerang pihak yang kurang disukai, termasuk presiden.
Pihak yang antipati terhadap presiden karena mereka membela paslon lain saat pilpres 2014 dan 2019 lalu. Padahal pilpres sudah lama sekali berlalu, tetapi mereka masih saja sinis, nyinyir, dan menentang setiap kebijakan pemerintah. Sungguh terlalu, karena masih hidup di Indonesia tetapi tidak mau taat aturan di Indonesia.
Sinisme mereka diungkapkan dengan membuat editan foto, meme, hoaks, dll. Meme yang beredar selama ini sudah keterlaluan, karena foto presiden diedit sedemikian rupa sehingga martabat beliau terganggu. Sehingga perlu adanya pasal yang tegas, untuk mengatur tindakan oknum yang sudah kelewat batas tersebut.
Ketua DPP Organisasi Masyarakat DPP Projo Budi Ari Setiaji mendukung pasal penghinaan presiden, karena UU yang sekarang belum cukup untuk mengantisipasi tindakan yang bisa menghina presiden. Karena RI-1 harus dijaga marwah dan martabatnya. Dalam artian, UU yang dia maksud adalah UU ITE.
Kalangan masyarakat lain juga setuju dengan pasal ini, karena bagaimanapun seorang pemimpin negara tidak boleh dihina begitu saja. Seorang presiden wajib dijunjung tinggi dan dihormati, karena kedudukannya sebagai RI-1. Bagaimana bisa ada yang tidak suka dengan presiden lalu seenaknya menghina? Sudah tentu ia wajib mendapatkan hukuman yang setimpal.
Pasal penghinaan presiden bukanlah cara untuk memberangus demokrasi, melainkan cara untuk mengendalikan agar netizen tidak membabi-buta. Sebab ada oknum yang sudah keterlaluan, dengan membuat meme dan hoaks untuk menjelekkan kepala negara. Tindakan mereka patut untuk dihukum dan diingatkan dengan cara yang sangat keras. (Putu Prawira)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews