Tertangkapnya anggota DPR-RI, yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) oleh KPK, tidak sangat mengejutkan. Jika pun mengagetkan, berkait citra Romy (M. Romahurmuziy) selama ini, politikus muda berbakat dan potensial.
Pada Pilpres 2014, sebagai pengurus PPP, ia ikut tim kampanye Prabowo-Hatta. Partainya waktu itu, mendukung Prabowo. Ketika Romy menjadi ketua umum, partainya mendukung capres pertahana Jokowi, melawan capres Prabowo. Di situlah ia terkena OTT KPK, terkait ‘jual-beli’ jabatan di Kemenag. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, berasal dari partai yang sama.
PPP parpol dengan simbol ka’bah, gabungan partai-partai berlatar Islam masa Orba, mempunyai reputasi buruk dua dekade kepemimpinan. Suryadarma Ali, ketum partai sebelum Romy, masuk bui dalam kasus korupsi Kemenag, di mana Suryadarma adalah Menteri Agama. Kepengurusan era Romy juga tak mulus, karena kemelut partai melahirkan kepemimpinan ganda dengan Humphrey Djemat sebagai ketum versi lain (dan mendukung Prabowo).
Perpecahan PPP, dalam amatan mulut Fahri Hamzah, akibat Jokowi. Sekali pun tentu kita bisa pastikan, perpecahan PKS dengan munculnya Garbi, takkan dikata sebagai kesalahan Jokowi. Biasa, mulut politikus adalah bicara seenak udel. Sebagaimana Rachland Nashidik mengatakan tersingkirnya AHY (juga Demokrat) dalam Pilpres 2019, karena kesalahan Jokowi yang dinilai ambisius dua periode. Penganut aliran salawi (semua salah Jokowi), biasanya pengidap penyakit watoni (waton muni), alias asbun.
Reformasi 1998, dengan longsornya Soeharto, dibajak orang-orang partai. Seperti kere munggah bale, gegar politik dan mental. Partai politik bukan sebagai wadah konsolidasi dan rekrutmen kepemimpinan sipil. Politikus hanya mengambil alih perilaku korup, bahkan dilakukan secara masif dan terstruktur.
Lembaga DPR sebagai representasi partai, memiliki citra buruk, tingkat kepercayaan rendah dari rakyat. Lembaga negara terkorup, dengan kesadaran hukum dan kinerja rendah. Dari 50-an RUU yang dimajukan, hanya 5 berhasil dituntaskan. Lebih buruk dari periode sebelumnya yang juga buruk. Kasus korupsi ketum partai, bukan hanya PPP (rekor dua ketum berturut), tapi juga Partai Demokrat, Partai Golkar dan PKS.
Demokrasi sesungguhnya tak hanya bertumpu dan membutuhkan Presiden (eksekutif) yang kuat. Tetapi juga parlemen (legislatif) dan penegak hukum (judikatif), yang persisten. Last but not least, rakyat yang kuat, berdaulat, tak mudah ditipu, tak pasif atau golput. Pemilu adalah alat rakyat, bukan sekedar memilih, tapi juga memilah.
Melihat silang-sengkarut politik dan hukum kita, sayangnya banyak yang justeru cuek, tak mau tahu. Walhal, kesadaran politik (tak harus jadi bagian parpol), akan menghancurkan elitisme itu. Caranya pun (sebenarnya) mudah. Yang punya hak pilih, hadir ke TPS untuk mencegah yang buruk.
Jangan mudah tertipu kambing bandot bertampang manis, apalagi baby-face, dan lebih apalagi berlipstick ayat-ayat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews