Pelaku Pelecehan Seksual, Sudahkah Efektif Ditindaki?

Kiranya sistem hukum yang sudah ada melalui proses kesepakatan bersama dapat dijalankan secara optimal, tanpa pandang bulu.

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:42 WIB
0
191
Pelaku Pelecehan Seksual, Sudahkah Efektif Ditindaki?

Berbicara tentang kasus pelecehan sebagai topik yang sudah tidak asing lagi terdengar, khsusunya oleh masyarakat di Indonesia. Perlu diketahui bahwa pelecehan merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan, dimana fenomena ini kian marak terjadi dalam lingkungan sosial. Seperti yang diketahui pelecehan seksual merupakan suatu tindakan pemaksaan untuk berhubungan seksual yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya persetujuan dari korban. Rata-rata yang menjadi korban pada kasus ini adalah wanita.

Tidak sampai disitu, fakta yang lebih mengejutkan adalah pelaku melaksanakan tindak kekerasan ini dengan mengeyampingkan usia korbannya. Ada begitu banyak bentuk dari pelecehan seksual, beberapa diantaranya adalah perilaku cat calling, siulan, main mata, dan yang lebih parahnya adalah sentuhan fisik yang disengaja. Sehingga bisa dikatakan bahwa semakin menyempitnya ruang aman bagi wanita.

Pelecehan seksual ini tidak menutup kemungkinan pelakunya bisa dari kalangan sosial kelas atas. Seperti orang-orang yang memiliki kekayaan, pengaruh, atau posisi penting dalam masyarakat, yang sering kali memanfaatkan posisi dan kekuasaan yang di milikinya untuk melakukan hal-hal yang merugikan. Salah satu diantaranya adalah tindak pelecehan seksual ini sendiri.

Pelecehan seksual oleh kelas atas ini tidak hanya terjadi di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan sosial dan masyarakat secara umum. Sayangnya, pelecehan seksual yang pelakunya merupakan kalangan sosial kelas atas ini seringkali sulit untuk diungkapkan dan dilawan, hal ini seolah tidak dapat dielak lantaran korban sering kali dibuat ketakutan oleh ancaman pelaku. Seperti akan kehilangan pekerjaan atau posisi sosial, dan bahkan ancaman untuk tidak akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kejahatan seperti ini akan terus berlanjut.

 Alasan paling dominan yang sering dikenakan pelaku, baik dari kalangan biasa hingga kalangan kelas atas, sebagai motif dasar atas tindakan pelecehan mereka adalah karena cara berpakaian korban. Padahal jika ditinjau dari beberapa kasus pelecehan seksual yang sudah terjadi, korbannya pun ada dari berbagai kalangan. Baik anak-anak, remaja, hingga dewasa. Bahkan cara berpakaiannya pun beragam, ada yang mengenakan seragam sekolah, daster panjang, baju kantoran, bahkan ada yang berhijab.

Hal serupa pun masih menimpah mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa pola pikir tersebut tidak dibenarkan, untuk dijadikan sebagai suatu alasan yang mendasari terjadinya tindak kekerasan pelecehan seksual.

Sementara itu untuk para korban, beberapa ada yang melapor untuk memperjuangkan keadilan atas         dirinya. Namun, tidak sedikit juga yang memilih untuk diam terkait perlakuan yang mereka dapatkan. Pasalnya, dalam beberapa situasi, sering kali korban yang disalahkan atau bahkan tidak ada yang mau memercayainya. Dampak dari tindak kekerasan seksual ini pada korban pun beragam. Seperti, trauma yang mendalam, rusaknya kondisi psikis dan mental korban, rasa tidak percaya diri untuk berada di lingkungan sosial, mengangap dirinya tidak lagi berharga, bahkan ada yang berujung pada bunuh diri.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang sekiranya dapat mencegah dan menindak pelecehan seksual, yang dilakukan oleh para pelaku. Beberapa langkah yang dapat diambil yakni termasuk meningkatkan kesadaran tentang masalah ini, memberikan pelatihan serta dukungan kepada korban, dan meningkatkan pengawasan terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan atau posisi sosial yang lebih tinggi.

Selain itu, perlu juga bagi pemerintah membentuk sistem hukum yang lebih kuat dan adil dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual, dan menjamin bahwa korban mendapatkan perlindungan dan dukungan yang memadai. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pelecehan seksual oleh kelas sosial atas tidak lagi dianggap sebagai hal yang wajar atau dibiarkan terus berlangsung, dan membuka jalan bagi masyarakat yang lebih aman dan lebih adil bagi semua orang.

Topik ini akan ditinjau secara lebih mendalam berdasarkan cara pandang yang tercakup dalam teori psikologi sosial. Paling utama untuk diketahui bahwa psikologi sosial merupakan ilmu psikologi yang penerapannya pada lingkung sosial. Beberapa perspektif yang ada di dalamnya adalah teori psikologi strukturalisme, psikodinamika, behavioristik, dan kognitif.

1.      Psikologi sosial strukturalisme merupakan salah satu teori yang sangat sesuai dengan konteks pelecehan seksual. Teori strukturalisme sendiri menekankan pada pentingnya faktor-faktor sosial dan struktural dalam membentuk perilaku individu.

 

Berdasarkan topik pembahasan yakni fenomena tindak pelecehan seksual, teori strukturalisme mengasumsikan bahwa pelecehan seksual terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Pelaku memiliki kekuatan dan kontrol yang lebih besar dalam situasi yang memungkinkannya untuk memaksa atau mempengaruhi korban agar melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan oleh korban. Faktor-faktor struktural berupa gender, ras, kelas sosial, dan status sosial juga dapat memainkan peran dalam menguatkan ketidakseimbangan kekuasaan ini.

 

Selain itu, teori strukturalisme ini juga memperimbangkan tentang bagaimana norma-norma sosial, nilai-nilai budaya, dan sistem kepercayaan dapat mempengaruhi tindakan individu dalam masyarakat. Misalnya, jika norma sosial mengeksploitasi atau merendahkan perempuan, maka ini dapat menyebabkan pelecehan seksual terhadap perempuan berpotensi untuk lebih sering terjadi.

 

Kesimpulannya adalah melalui teori strukturalisme ini memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana faktor-faktor sosial dan struktural dapat mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual, serta memperjelas mengapa kasus tindak pelecehan seksual ini semakin meninggkat dalam masyarakat.

 

 

2.      Psikologi sosial psikodinamika merupakan teori yang berfokus pada pengaruh konflik bawah sadar terkait perilaku manusia dalam situasi sosial. Teori ini menganggap bahwa tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, hubungan interpesonal, serta konflik bawah sadar. Teori ini juga menekankan pentingnya proses internalisasi dalam pembentukan identitas diri.

 

Fenomena pelecehan seksual merupakan salah satu contoh perilaku yang dapat dijelaskan dengan menggunakan teori psikodinamika. Seperti yang diketahui bahwa pelecehan seksual merupakan perilaku yang tidak diiginkan dan tidak senonoh yang bersifat pemaksaan. Pelecehan seksual dapat terjadi di tempat kerja, di sekolah, di lingkungan sosial atau di dalam keluarga.

 

Menurut teori psikodinamika, perilaku pelecehan seksual dapat terjadi akibat konflik bawah sadar yang belum terselesaikan. Konflik ini dapat berasal dari pengalaman di masa lalu atau dari interaksi sosial di masa kini. Konflik ini kemudian dapat mempengaruhi cara seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain, terutama dalam hal keintiman dan seksualitas.

 

Contoh yang bisa diambil berdasarkan topik yang dibahas adalah korban pelecehan seksual. Mereka yang pernah mengalami kejadian tersebut, mungkin memiliki konflik bawah sadar yang belum terselesaikan, khsusnya seksualitas dan keintiman. Sesuai dengan isi dari teori psikodinamika yang dikaitkan dengan kasus ini, konflik trauma tersebut akan mempengaruhi cara seseorang untuk berinteraksi. Korban kemungkinan menjadi pribadi yang tidak percaya diri, merasa rendah diri berada di lingkungan sosial, dan kemungkinan buruk lainnya. Atau mungkin mengalami kesulitan dalam membedakan antara perilaku yang sesuai dengan yang tidak sesuai dalam konteks keintiman dan seksualitas.

 

Selain itu, konflik bawah sadar juga dapat berhubungan dengan perasaan inferioritas atau kekuasaan yang tidak seimbang. Orang yang merasa inferior atau tidak berdaya mungkin menggunakan perilaku pelecehan seksual sebagai cara untuk merasa lebih kuat atau memiliki kendali dalam situasi sosial tertentu. Orang tersebut mungkin merasa bahwa dengan melakukan perilaku tersebut, mereka memiliki kendali atas situasi atau orang yang menjadi korbannya. Konteks ini mungkin lebih mengarah pada pelaku tindak pelecehan seksual.

 

Namun, perlu di ingat bahwa tidak semua kasus pelecehan seksual dapat dijelaskan dengan menggunakan teori psikodinamika. Beberapa kasus dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, sosial, atau budaya yang memungkinkan atau bahkan mendorong perilaku tersebut. Misalnya, budaya yang mempromosikan objektifitasi dan pengeksploitasian seksual dapat memicu perilaku pelecehan seksual.

 

3.      Psikologi sosial behavioristik yang dapat menjelaskan fenomena pelecehan seksual adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory). Teori ini menjelaskan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh proses belajar yang terjadi melalui pengalaman-pengalaman sosial, termasuk pengalaman yang terkait dengan seksualitas.

 

Pelecehan seksual dapat dipandang sebagai hasil dari pembelajaran sosial yang tidak sehat. Individu yang melakukan pelecehan seksual mungkin telah terpapar pada pengalaman-pengalaman sosial yang tidak sehat, seperti pengalaman seksual yang buruk, atau bahkan paparan terhadap pornografi yang kasar atau kekerasan seksual. Hal-hal ini yang kemudian berpotensi berdampak pada keyakinan individu tentang seksualitas dan mempengaruhi perilaku mereka.

 

Teori pembelajaran sosial (social learning theory) ini juga menunjukkan bahwa perilaku seseorang dapat dipelajari melalui pengamatan dan imitasi. Jadi, jika individu telah terpapar pada perilaku pelecehan seksual melalui pengalaman sosial atau melalui media, mereka mungkin cenderung meniru perilaku tersebut.

 

Sama seperti sebelumnya, teori pembelajaran sosial (social learning theory) pun tidak dapat sepenuhnya menjelaskan fenomena pelecehan seksual. Beberapa faktor yang juga turut berpengaruh pada perilaku individu adalah faktor psikologis, biologis, serta biologis. Oleh karena itu, fenomena pelecehan seksual juga perlu di pelajari dari beberapa sudut yang akan di bahas berikut.

 

4.      Teori psikologi sosial kognitif yang juga sesuai dengan fenomena pelecehan seksual adalah teori pemrosesan informasi sosial (social information processing theory). Dalam teori ini akan menerangkan bahwa individu yang melakukan pelecehan seksual memiliki pemrosesan informasi yang berbeda dari individu yang tidak melakukan pelecehan seksual.

 

Teori ini beranggapan bahwa individu yang melakukan tindak pelecehan seksual memiliki pola pemikiran yang menyebabkan mereka kurang peka terhadap tindakannya dan kurang mampu untuk merespon dengan tepat terhadap sinyal-sinyal sosial yang menunjukkan bahwa perilaku mereka tidak diterima. Mereka cenderung untuk memperoleh pemahaman yang bias dan keliru tentang situasi sosial dan perilaku seksual.

 

Teori pemrosesan informasi sosial (social information processing theory) ini juga menjelaskan bahwa individu yang melakukan pelecehan seksual mengalami kesulitan dalam mengenali sinyal nonverbal, sosial, bahkan emosional yang diterima dari korban mereka. Mereka juga cenderung menginterpretasikan situasi sosial dan perilaku seksual dengan cara menguntungkan diri mereka sendiri, dan kurang mampu memahami konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka.

 

Dalam konteks ini, terapi kognitif perilaku (cognitive-behavioral therapy) dapat menjadi alternatif pilihan untuk membantu individu yang melakukan pelecehan seksual. Terapi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sehat atau tidak etis, serta meningkatkan kemampuan individu dalam memahami cara merespons sinyal sosial yang tepat.

 

Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi atau bahkan mungkin dialami oleh sebagian kita, kemudian disangkutkan dengan beberapa perspektif yang tercakup dalam teori psikologi sosial ini. Dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena tindak pelecehan seksual ini, merupakan hal yang sangat perlu di perhatikan. Tidak hanya berfokus pada korban dan pelaku tetapi perlu menelaah lebih jauh terkait latar belakang timbulnya fenomena ini. Beberapa diantaranya adalah edukasi yang masih kurang ditunjang.

 

 Tidak sedikit orang yang merasa bahwa edukasi yang diberikan cenderung lebih ditekankan pada cara berpakaian wanita dibanding pola pikir pria yang juga perlu diberi pemahaman. Hal berikutnya yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah sistem hukum yang sudah disepakati bersama.

Kiranya sistem hukum yang sudah ada melalui proses kesepakatan bersama dapat dijalankan secara optimal, tanpa pandang bulu. Hal ini dimaksudkan sebagai pencegahan akan munculnya pelaku-pelaku berikutnya yang menggangap sistem hukum yang sudah ada ini hanya berupa ancaman semata, dan juga diharapkan hukuman yang nantinya diberikan mampu memberikan efek jera pada para pelaku.

***