Tuhan pun percaya dan memakai konsep pembalasan sebagai keniscayaan untuk menyamankan manusia dengan sense kemanusiaannya, agar kondisi yang tidak seimbang menjadi seimbang.
Atas kematian Santino (Sonny) Corleone yang dihabisi oleh kelompok Barzinni, dan Luca Brasi dibunuh oleh kelompok Tataglia, Don Vito Corleone berbicara kepada Michael dan orang-orang kepercayaannya, “Pembalasan dendam adalah hidangan yang paling lezat kalau disajikan dalam keadaan dingin.” Pada waktunya, Barzinni dan Tataglia pun dibantai habis.
Setelah peristiwa penyanderaan dan pembantaian atlet-atlet Israel peserta Olimpiade Munchen 1972 oleh Kelompok Black September pada 5 September 1972 di Munchen, Perdana Menteri Israel, Golda Meir berseru, “Tak seorangpun bisa lari dari lengan keadilan kami yang panjang lagi kokoh.” Mulai tanggal 8 September, Israel menggelar Operasi Wrath of God, satu per satu anggota Black September dibunuh.
Karena pangkalan militer Amerika Serikat di Filipina diserang Jepang, pada Maret 1942 Jenderal MacArthur dan pasukannya menyingkir ke Australia. Ketika meninggalkan Pulau Bataan, MacArthur mengucapkan kalimat yang kemudian menjadi sangat legendaris, “I shall return...!” Tahun 1944 pasukan Amerika dan sekutunya menghancurkan Jepang di semua medan pertempuran Pasifik.
Tiga kisah itu, dan mungkin ribuan bahkan jutaan cerita serupa, semuanya ditandai dengan pembalasan. Kata ‘pembalasan’ memang sering terdengar jahat, kejam, atau buruk.
Tapi itulah cara semesta, dan merupakan mekanisme tunggal dalam setiap proses menuju keseimbangan baru. Tidak perlu alergi atau resisten dengan kata pembalasan.
Kehidupan selalu mencari keseimbangan. Gerak alami semesta, seperti gerak lempeng bumi, gempa, angin, banjir, longsor, atau jatuhnya benda langit menghantam bumi, semua adalah proses mengenyahkan beban ketidakseimbangan, untuk sampai pada keseimbangan yang diam dan hening.
Begitu juga dengan aktivitas umat manusia, interaksi antar manusia atau antar kelompok manusia, dilakukan untuk menemukan keseimbangan yang lebih kokoh.
Revolusi, perang, bekerja, dan seterusnya, adalah proses untuk mereduksi ketidakseimbangan, menciptakan hidup yang lebih nyaman.
Semua proses pergerakan atau perubahan menuju keseimbangan yang diinginkan, ditandai dengan ‘pembalasan’. Karena tekanan udara di satu tempat sangat tinggi, maka udara bergerak ke tempat lain yang tekanannya lebih rendah, lalu terjadilah angin.
Setelah tekanan di ruang yang berhubungan itu seimbang, merata, maka ruang menjadi tenang. Itu hukum yang tak akan pernah terpatahkan.
Dalam semua drama, film, atau dongeng tentang kemenangan, puncak thrillernya adalah pembalasan. Demikian halnya dengan kehidupan sehari-hari, tidak lepas dari ‘pembalasan’.
Hukum yang dibuat untuk mengatur hak, kewajiban, serta perilaku masyarakat, pada dasarnya mengacu pada konsep pembalasan: yang bersalah dihukum.
Bukankah semua sepakat bahwa hakim sebagai pengadil dalam persidangan adalah atas nama Tuhan dan negara dipercaya memegang otoritas untuk membalas tindak melanggar hukum dari terdakwa?
Memang banyak hakim yang karena keteguhannya atas keadilan, mati dibunuh. Tapi deretan hakim-hakim lain akan mengetukkan palu keadilannya, agar hukum tetap tegak: memberikan sesuatu yang seharusnya diberikan.
Pada ruang yang transendental, doktrin semua agama dan kepercayaan juga mempercayai dan berlaku konsep pembalasan. Apakah itu namanya karma, surga – neraka, atau apapun, adalah ‘manifestasi’ dari konsep pembalasan.
Karena memperlakukan Musa dengan tidak adil, Fir’aun gabener ditenggelamkan Tuhan di Laut Merah. (Kenapa ketawa? Emang apa yang dilakukan Fir’aun terhadap Musa itu bener?). Ketika Namruz dengan Pasukan Gajahnya menyerang Mekkah, Tuhan mengirim Burung Ababil untuk membalasnya.
Artinya, Tuhan pun percaya dan memakai konsep pembalasan sebagai keniscayaan untuk menyamankan manusia dengan sense kemanusiaannya, agar kondisi yang tidak seimbang menjadi seimbang, yang tidak adil kembali jadi adil. Pembalasan adalah jawaban, keniscayaan. Kapanpun.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews