Shalat Tarwih Berjamaah

Mengapa sikap pemerintah ragu-ragu dan mengabaikan prinsip kepastian hukum serta membiarkan silang-sengkarut di tengah masyarakat?

Sabtu, 25 April 2020 | 06:03 WIB
0
422
Shalat Tarwih Berjamaah
Din Syamsuddin (Foto: liputan6.com)

"Jika nanti ada yang shalat tarwih berjamaah apakah bisa dipidana," adalah pertanyaan yang diajukan Damang Averroes Al-Khawarizmi, penulis, pengamat hukum serta owner negarahukum.com terkait pelaksanaan PSBB di status facebooknya.

Damang saya kira tidak membutuhkan jawaban, melainkan sedang menyentil mereka yang berpendapat kalau pelanggaran PSBB bisa dipidana sebagaimana ancaman pidana berdasarkan Undang-undang Kekarantinaan. Bayangkan jika terjadi pembangkangan secara massif dimana nantinya banyak masjid yang melaksanakan aktivitas shalat tarwih berjamaah, apa penjara bisa menampung para pembangkang ini.

Terlepas pro-kontra aspek pidana pelaksanaan PSBB berdasarkan tafsir UU Kekarantinaan, Damang ingin menunjukkan kompleksitas dalam penerapan suatu norma hukum. Mereka yang setuju PSBB berimplikasi pidana berangkat dari argumen bahwa PSBB melekat pada UU Kekarantinaan halnya dengan Sistem Karantina yang secara tegas mengatur sanksi pidana paling lama 1 tahun penjara dan denda maksimal 100 juta rupiah.

Pandangan ini berharap PSBB bisa berperan sebagai deterrent efect bagi mereka yang membandel, halnya jika pemberlakuan sistem karantina. Jadi di satu sisi masyarakat bisa dipidana jika melanggar PSBB, sementara pemerintah tidak dibebani kewajiban memenuhi kebutuhan dasar mereka selama PSBB berlangsung.

Sementara Yusril Ihza Mahendra melihat ceruk hukum yang tidak memungkinkan PSBB bermuatan pidana karena dioperasikan lewat Permenkes.

Pemerintah sendiri terlihat sangat hati-hati merespon perbedaan pendapat ini dan memilih melakukan langkah gradual dimana sebelum mengambil langkah tegas dalam pelaksanaan PSBB terlebih dahulu melakukan uji coba.

Makassar misalnya sebelum PSBB secara resmi diberlakukan pada 24 April, sejak 21 hingga 23 April merupakan tahap uji coba. Sampai saat ini publik belum mendengar pernyataan resmi pemerintah apakah pelanggaran PSBB bisa diproses pidana atau tidak. Melihat sikap tidak tegas pemerintah alasannya bisa ditebak, jika pada akhirnya pemerintah menerapkan sanksi pidana akan diperlakukan sebagai ultimun remedium.

Mengapa sikap pemerintah ragu-ragu dan mengabaikan prinsip kepastian hukum serta membiarkan silang-sengkarut di tengah masyarakat?

Menghadapi COVID-19 bagi pemerintah bak menelan buah simalakama, menerapkan sistem karantina wilayah membebani pemerintah dengan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Penambahan belanja APBN secara membabi buta bisa menyebabkan krisis yang jauh hebat dibanding sebelumnya.

Akibat pandemi tingkat pertumbuhan ekonomi diperkirakan terjun bebas hingga minus 0,4 persen membuat pemerintah mustahil menjamin kebutuhan pokok masyarakat dalam sistem karantina. Belum lagi dampak ikutan seperti rush money dan panic buying, ditambah penerapan pidana bagi yang melanggar akan berpotensi menggerogoti kekuasaan.

Penjumlahan seluruh variabel ini yang sejak awal membuat pemerintah menghindari penerapan sistem karantina dan berpaling pada PSBB karena konsekuensi yang lunak dan relatif tidak memiliki implikasi politik signifikan. Bagi Damang Averrush Al-Khawarizmi apa yang dimaksud PSBB sebenarnya sebutan lain dari social distancing.

Menurut Damang, seharusnya sejak awal pemerintah menerbitkan Perppu yang mengatur secara komprehensip hal yang menyangkut COVID-19. Dengan menggunakan instrumen Perppu pemerintah bisa mengatasi dilema antara sistem Karantina dengan PSBB bahkan dengan darurat sipil. Sikap ekstra hati-hati akhirnya menjebak pemerintah pada posisi serba salah. Kondisi ini diperparah akibat derasnya kritikan yang seringkali tidak konsisten.

Tengok misalnya pandangan Refly Harun yang menuduh pemerintah pusat terlalu berhitung pada nyawa manusia di media. Dalam sebuah wawancara dia dengan presenter TV One, Refly mengatakan, "Kita harus mencari langkah yang paling tepat, paling berani dengan segala risiko dengan berbagai cara untuk mengenyahkan COVID-19 dulu, soal perhitungan ekonomi, pelambatan pembangunan citra pemerintahan kita hitungan belakangan saja".

Belakangan Refly bersama ICW, Din Samsuddin, Ahmad Yani, Syaiful Bakhri, menggalang upaya uji materi terhadap Perppu karena menganggap Pasal 27 Perppu No.1/ 2020 disiapkan mem-backup imunitas pemerintah dari ancaman korupsi.

Padahal apa yang dicemaskan ICW dan Refly sebagai pasal imunitas tidak cukup beralasan karena pasal dimaksud tidak menutup ruang bagi penyidikan terhadap korupsi yang dilakukan pemerintah terkait penggunaan dana COVID-19 sebesar Rp405,1 triliun yang digelontorkan pemerintah lewat instrumen Perppu No.1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.

Berbagai variabel yang sulit dikompromikan ini membuat langkah pemerintah terkesan lamban dan tidak tegas. Sikap pemerintah yang serba hati-hati juga sangat dipengaruhi psikologi politik publik yang terbelah pasca pilpres.

Terlepas kompleksitas persoalan yang dihadapi pemerintah, dalam situasi darurat atau state of exception menjadi pembenar bagi pemerintah bersikap tegas dan keras. Namun satu hal, negara juga harus bersikap adil terhadap warga negara.

***