Pergaulan Dunia Juga Butuh Keseimbangan

Kemanusiaan itu tak pernah muncul dalam perdamaian yang gersang. Perdamaian itu hanya ilusi yang dibutuhkan para pedagang, untuk menjadikan mereka makin serakah.

Selasa, 1 Maret 2022 | 18:55 WIB
0
170
Pergaulan Dunia Juga Butuh Keseimbangan
Tentara Ukraina (Foto: tirto.id)

Kebetulan saja, saya pernah kuliah di Jurusan Hubungan Internasional UI. Sebuah jurusan yang dulu pernah menjadi "mimpi besar dan indah" anak-anak generasi baby boomers. Saya pun memaksakan diri kuliah di situ, padahal sudah kuliah di PTN lain. Ya hanya karena ingin menikmati "sensasi" itu. Bagaimana menjadi seorang mahasiswa yang mengalahkan seribuan pesaing lain hanya untuk satu kursi.

Berpuluh tahun kemudian, hal itu tak membuktikan apa-apa tentang kami. Tak semua jadi diplomat, tak semua piawai sebagai pengamat, tak semua terlibat dalam urusan "internasional". Bahkan sebagian sangat besar di antaranya justru sangat tidak peduli.

Tanya kenapa? Mengapa kami gagal....

Berpuluh tahun kemudian, kami menyadari bahwa ilmu tersebut bukanlah ilmu murni. Ia terlalu hybrid, terlalu bauran, terlalu kompleks. Setiap tesis, setiap asumsi, apalagi sebuah simpulan akan mudah patah jika diberikan anti-tesisnya. Ia terlalu jauh dari sifat eksak.

Saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana teori yang disusun sedemikian rumit oleh seorang profesor terlalu mudah patah di tangan seorang penjual nasi goreng di kampus. Hanya ketika ia nylekop, ia nylonong berkomentar berdasar intuisinya, dengan selera kampung-nya, bahkan justru karena ia tak berbekal teori apa pun.

Konon "ilmu hubungan internasional" jadi tampak gagal sebagai ilmu, karena ia selalu justru berperan memperumit masalah. Ia tak pernah hadir sebagai apa yang kadang secara berlebihan didaku sebagai peran penting agama hari ini sebagai "pencerahan". Gampang dipahami semua orang. Sedemikian gampangnya hingga orang bodoh tampak jadi pintar.

Orang miskin merasa dirinya kaya. Hanya karena merasa dirinya relijiyes, dan tanpa berbuat dan menyumbang kebaikan apa pun setengah kaki mereka sudah berasa menginjak surga.
Dalam ilmu HI terlalu banyak variabel yang harus diperhitungkan. Saat seluruh variabel telah kita anggap lengkap, ternyata muncul (atau lebih tepat "dimunculkan") variabel baru hanya sekedar mematahkan tesis yang sedang diangkat.

Karena itulah, sulit kita temukan seorang pengamat masalah internasional yang bisa tampil jernih, berhasil menyederhanakan masalah, dan memikat semua pihak. Ilmu HI karenanya selalu tampak eksotis, ia duduk di atas awan. Melihat bak mata elang, tapi selalu luput membedakan mana anak ayam mana seekor gajah.

Dalam konteks inilah, sesungguhnya kenapa saya termasuk yang enggan menulis atau berkomentar tentang persoalan apa yang disebut "invansi" Rusia ke Ukraina. Betulkah ini sebuah invansi? Dari konteks ini saja bisa jadi perdebatan panjang lebar. Tapi saya tak ingin membahas hal ini, terlalu sentimentil. Bagaimana mungkin kita mau mengingat bahwa Rusia-lah yang justru menceraikan Ukraina pada tahun 1990an.

Ketika ia juga melakukannya pada banyak negara bagian lainnya menjadi negara merdeka. Sebuah kebangkrutan yang harus dibayar mahal akibat ambisinya menguasai secuil "negara bagian lain yang hilang" yang dianggapnya cukup mudah ditaklukan yaitu Afghanistan.

Dalam konteks Ukraina, mungkin banyak yang tidak tahu atau tutup mata. Saat Ukraina "dimerdekakan" ia tidak sekedar ditinggali Rusia aset yang sedemikian besar. Bukan saja aset publik, tetapi juga fasilitas militer yang sangat besar. Bahkan utang 200 M $ US juga Rusia-lah yang membayari.

Saya ingin sedikit menyegarkan ingatan, kapal induk pertama yang dimiliki China adalah salah satu aset Rusia yang ditinggalkan di Laut Hitam. Ia dijual ke China "hanya" sebagai barang rongsokan. Tak terhitung berapa banyak jet tempur, pesawat pembom dll yang akhirnya hanya jadi barang dagangan murah. Dan sejauh ini Rusia tak bisa apa-apa...

Isu krisis Ukraina bukanlah muncul tiba-tiba. Bahkan ia telah diramalkan sebagai potensi pemicu Perang Dunia III, jauh hari sejak ia dimerdekakan. Tersebab apa? Sederhana saja alasan geopolitik. Tersebab geopolitik ini pula, bila kemudian muncul Gerakan Non-Blok. Bila posisi geografis-mu tidak menguntungkan, jika dirimu lemah. Pilihan terbaik adalah jadilah negara Non-Blok, dan bukan malah sebaliknya ikut aliansi ini itu.

Ingat negara paling damai di dunia adalah Swiss di Eropa dan Bhutan di Asia, ketika ia justru masuk kelompok non-profelirasi. Mereka tak membangun angkatan perang dan menyatakan dirinya netral senetralnya.

Di sinilah urgensi Ukraina yang tergiur oleh godaan AS dan Inggris terutama untuk masuk bergabung dengan NATO. Seseungguhnya persoalannya sesederhana itu! Hal inilah menjelaskan kenapa Rusia sedemikian marah dan nekad "menghukum" Ukraina. Yang dianggapnya tidak sekedar mau berterima kasih, tapi ngelunjak membahayakan keamanan nasional Russia.

Setiap hari, saya melihat banyak orang menjadikan krisis Ukraina sebagai bahan hoaks, menyebarluaskan berita simpang siur tentang proses perang. Bahkan sebagian orang kurang kerjaan, tanpa empati, dan berotak udang menjadikannya bahan guyonan dan becandaan.

Alih-alih ikut prihatin, sebagian besar menunjukkan posisinya sebagai suporter kelompok yang selama ini memang berwatak preman seperti AS dan NATO. Mereka semua berciri sama seolah-olah dengan mencaci maki Russia akan membuat Russia mengendorkan manuver militernya.

Saya melihat salah satu yang paling menyebalkan adalah reaksi Inggris yang justru bertindak sangat sedemikian fasis dan rasis. Bahkan mereka masuk justru dari sektor olah raga, yang selama ini harusnya dijauhkan dari permainan politik. Sepakbola adalah pintu masuk terburuk di antaranya. Dan ini bagi saya keterlaluan sekali, bagimana UEFA tiba-tiba memindahkan venue Liga Champion, diikuti FIFA yang tiba-tiba membekukan semua aktivitas dan partisipasi sepakbola Russia. Seolah-olah sepakbola jauh lebih penting dari sebuah harga diri sebuah bangsa.

Bagi saya inilah pandemi baru yang jauh lebih akut. PBB tiba-tiba saja bukan bertindak sebagai wasit, yang berupaya meredakan ketegangan. Ia tiba-tiba justru akan membekukan posisi Russia sebagai pemilik hak veto. Seolah-olah Russia adalah satu-satunya pihak yang patut dipersalahkan. Satu-satunya yang saya ingat dari ilmu HI yang saya peroleh, ketika suatu krisis terlanjur meletus. Semua pihak bisa jadi benar, kebenaran yang tertinggal sebagai hipotesis. Tapi ralitas sebenaranya yang paling nyata adalah semua pihak sudah pasti salah dan kalah!

Saya bukan siapa-siapa, tapi saya menyesalkan krisis ini sebagai bahan adu argumentasi yang tidak jelas. Negara-negara besar seperti AS dan sekutunya bukanlah sebuah kekuatan yang patut diteladani, kecuali kita bangsa yang berwatak bebek atau beo. Watak seperti inilah menjelaskan orang-orang, siapa pun mereka yang berada di belakangnya.

Mereka-mereka ini adalah para amnesia sejarah bahwa kondisi jahat mereka ini yang pada beberapa dekade terakhir menciptak monster sejenis ISIS dan menjadi sponsor utama terorisme di dunia. Mereka adalah pemain dengan standar ganda, selalu main di dua kaki. Dan jangan lupa mereka tanpa henti menciptakan antek di seluruh dunia.

Seburuk-buruk Russia, jangan lupa tanpa mereka. ISIS, terorisme berbasis agama sudah menghancurkan dunia sejak sedekade lalu. Saya gak pernah mengerti kenapa mereka mudah saja lupa "tangan berdarah" AS saat mereka menghancurkan Irak dan Suriah.

Kita gampang lupa berapa banyak pajak yang dikeruk dari warga AS, berapa banyak emas Papua yang dirampok, tak terhitung berapa ongkos preman yang harus dibayar sekutu mereka. Hanya untuk melihat AS kocar-kacir kalah perang di Vietnam, Irak, dan terakhir Afghanistan. Jangan lupa AS adalah penyumbang atau inisiator 81% perang yang terjadi sejak mereka memperoleh kemenangan besar dalam PD II.

Dan jangan lupa, mereka aktor sesungguhnya yang memancing terjadinya krisis Ukraina. Sebagian sangat besar itu memang maunya mereka...

Sayangnya publik tak mau pernah mau peduli. Karena proxy mereka terlanjur mengakar kuat di seluruh penjuru dunia. Dulu sekali negara ini pernah dipimpin SBY yang semua perilakunya adalah copy paste watak Partai Demokrat yang bengis dan sadis. Menjelaskan kenapa lima tahun AS di bawah Donald Trump yang Republiken tampak jauh lebih baik. Ia yang dianggap maniak yang posesif itu justru jauh lebih baik dalam kehendak memperbaiki citra manusiawi.

Bukan tanpa alasan, bila Rusia menghukum Ukraina justru ketika AS berada di bawah Joe Biden, presiden gaek yang tangannya kotor sekali.....

Tulisan ini hanya ingin mengajak publik untuk lebih bersabar. Menjaga tangan, mulut, atau apa pun dari sikap tidak bijak, penilaian yang tergesa-gesa, membuat analisis yang bahkan jadi hiperbolik. Wis to, seturut pengalaman saya tak akan pernah ada satu analisis tunggal.

Saat perang terlanjur terjadi, saat itu justru kita menemukan "kemanusiaan" kita kembali. Kemanusiaan itu tak pernah muncul dalam perdamaian yang gersang. Perdamaian itu hanya ilusi yang dibutuhkan para pedagang, untuk menjadikan mereka makin serakah.

Perdamaian sejati itu hanya tercipta jika keseimbangan itu terjadi. Tanpa keseimbangan, selamanya semua hanya jadi pasar. Dan ketika semua sekedar pasar, siapa pun yang bertikai pemenang sesungguhnya tetap adalah China!

NB: Tulisan ini berhutang budi pada seorang humanis-fatalis, sahabat saya Sri Wahyuni. Dia ini perindu kedamaian, selalu ingin membela mereka yang tertindas. Tapi (selalu) lupa mereka yang tertindas itu, terjadi justru karena mereka menyediakan dirinya untuk ditindas. Ukraina contoh terbaik untuk itu. Dan itu mungkin karena saat ini dipimpin seorang badut bernama Volodymyr Zelenskyy.

Saya berkelakar kepadanya, Indonesia akan jatuh jadi New Ukraina. Jika kelak presidennya memiliki karakter lemah seperti Zelenskyy. Yang ndilalah plek-ketipleks ada pada figur Anies Baswedan, orang yang ngakunya tak berpartai. Tapi orang lupa ada babon besar seperti AS di belakangnya.

Menjelaskan kenapa ia bisa korupsi seenak udelnya sendiri tanpa jeri ditangkap KPK. Bisa terus berkuasa dan didukung karena sentimen agama. Walau prestasinya nol besar dan malah bangga ngaku-ngaku bekerja dalam senyap. Itu satu-satunya pelajaran terpendek dan tergampang yang warga Indonesia bisa petik dari krisis Ukraina.

***