Charlie Hebdo, PSG, Messi dan Taliban

Saya banyak belajar dari Charlie Hebdo. Ia selalu berhasil menelanjangi semua orang. Bukan pada pribadi-pribadinya, tatapi terutama sikap naif dan kemunafikannya.

Jumat, 20 Agustus 2021 | 08:33 WIB
0
320
Charlie Hebdo, PSG, Messi dan Taliban
Charlie Hebdo tentang Taliban (Foto: portal-islam-id)

Dulu sekali, saya sempat berpikir setelah anak2 lepas SMA: untuk mengkuliahkan anak-anak di Perancis. Batal oleh satu alasan sederhana, gak kuat dengan gaya "sinistik" warga di sana. Keegaliteran mereka, bikin orang Jawa seperti saya gak kuku. Sikap kritis dan gaya nyinyir itu beda-beda tipis saja. Lah kalau saya sudah punya watak kayak begitu, tanpa punya latar belakang sedikit pun dari sana. Memberi kesempatan kuliah anak2 di sini, kan yah cuma memproduksi "anak-anak nyinyir triple kuadrat".

Representasi tertinggi dari kondisi itu adalah media kontroversial bernama Charlie Hebdo. Surat kabar mingguan yang didirikan tahun 1970 ini. Ia selalu menampilkan jurnalisme satir ala Prancis, dalam bentuk kartun, laporan, polemik dan lelucon. Ia secara konsisten menyuarakan sikap non-konformis dalam setiap publikasi dengan kecondongan sangat anti-religius, sayap kiri, dan anarkis. Artinya, jadi salah jika menganggap dia anti-Islam, ia anti segala agama. Semua agama ia kritik habis tanpa kecuali.

Hanya kebetulan saja, eh nggak ding. Bukan kebetulan kalau cuma umat Islam yang selalu bereaksi paling keras. Lumrah anak bungsu, selalu begitu. Agama lain paling cuma cengar-cengir dengan berbagai lelucon satir mereka. Mereka mikirnya sederhana "wong edyan kok dilawan, cah kenthir kok dipaido... "

Tapi benarkah mereka sekedar "edyan keturutan". Jelas tidak!

Mereka justru punya basis riset yang luar biasa. Dari setiap karikatur atau tajuk yang mereka angkat setiap minggunya. Mereka punya pijakan yang sangat kuat untuk mengangkat suatu tema. Selalu ora umum, tidak biasa. Kecerdasannya luar biasa. Saya pikir setiap orang yang memiliki "kecenderungan" tertentu, apalagi telah punya prinsip dasar "pathok bangkrong". Dengan "ilmu pokoke", pasti gampang marah....

Tema liputan terakhirnya, bagi saya sebagai seorang penggemar Messi, harusnya membuat saya tersinggung berat. Tapi setelah baca dalam versi aslinya, saya bisa sangat mengerti. Entah kalau yang cuma baca versi kutipannya, apalagi yang dipotong2. Dalam apa yang dalam kaidah bahasa jurnalistik disebut "diframing".

Tiga pihak, atau entahlah mungkin bisa lebih banyak lagi yang terpapar dan terdampak kritiknya kali ini.

Pertama, tentu saja yang paling wadag Lionel Messi. Yang dianggap munafik. Nangis pada hari Jumat. Minggu-nya sudah bersorak gembira. Memang ini drama menyebalkan. Membuktikan bahwa klub sepakbola yang dikelola oleh manjemen publik itu juga tidak lebih baik dibanding yang dimiliki pribadi atau yang berlatar belakang bisnis. Suka tidak suka, pandemi ini membuka borok klub2 raksasa yang katanya is the legend itu. Sementara itu PSG, bebas seenak udelnya beli pemain tanpa sedikit pun menghormat aturan finacial fairplay.

Kedua, tentu pemilik klub PSG yang walau di bawah sebuah manajemen investasi. Tapi sesungguhnya, representasi sebuah negara. Yang dalam praktek finansial, urusan duit tentu tak jadi masalah. Saya harus akui, kecerdasan Qatar dalam "membranding" dirinya. Ia memilih PSG dengan basis di Paris yang walau sangat demokratis dalam berbicara, tapi sangat menghormati kebebasan kepemilikan. Hal yang nyaris muskil terjadi di Jerman misalnya! Dengan membesarkan klub ini, ia berhasil menyamarkan watak asli dari negaranya yang sesungguhnya adalah sponsor utama terorisme di banyak negara.

Ketiga, ya tentu saja terkait langsung Taliban. Yang sebenarnya, dengan kemenangannya "everybody happy". Salah, kalau menganggap AS yang telah bercokol di sana selama 20 tahun merasa dirinya kalah. Ia minimal selama kurun itu, telah mayokne barang dagangan utamanya. Membuat laku industri militer di dalam negerinya. Bahwa ia mau keluar, saya pikir peta geo-politik memang sudah bergeser ke arah Laut China Selatan yang lebih seksi. Bahkan, ini menjelaskan kenapa kemenangan Taliban di dalam negeri kita, dengan cepat membuka kedok tokoh-tokoh ambigu yang nyebelinnya sampai ke ubun-ubun itu. Tidak satu dua, tapi buanyak....

Baca Juga: Kita Pun Ikut Menangis Bersama Lionel Messi

Sejujurnya, saya banyak belajar dari Charlie Hebdo. Ia selalu berhasil menelanjangi semua orang. Bukan pada pribadi-pribadinya, tatapi terutama sikap naif dan kemunafikannya. Media seperti ini tidak akan pernah jadi besar, karena mimpinya mungkin memang tidak di situ. Ia akan selalu terancam dan terpinggirkan, tapi justru di situlah habitat istimewanya. Selalu ada yang pergi karenanya, tapi juga akan selalu datang menggantikannya.

Ia adalah simbol kejujuran dalam era dimana kemunafikan menjadi panglima! Saat semua tidak boleh, tapi sekaligus boleh. Asal dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Charlie Hebdo: jangan pernah sembuh, teruslah jadi gila!

NB: Satu-satunya "pesan" terpenting bagi Indonesia dari kemenangan Taliban. Adalah pilihlah pemimpin perempuan. Biar ia tak semudah itu, mengekspor ideologi mereka ke bumi kita tercinta.

Apakah ini sejenis "kampanye"? Sithik wae nak ya rapopo to? Hawong emak2 kae nak menggok, ya ra tau riting kok.... Lihat Lebih Sedikit

***