“Abraham Accord” dan Palestina

Langkah UEA itu juga memberi sinyal kepada Palestina bahwa orang lain tidak akan menunggu mereka untuk membuat perdamaian dengan Israel.

Selasa, 20 Oktober 2020 | 06:10 WIB
0
188
“Abraham Accord” dan Palestina
Ilustrasi UEA dan Israel (Foto: triaskun.id)

Ketika, pesawat El Al, milik Israel dengan nomor penerbangan LY971 yang terbang dari Tel Aviv, Israel hari Senin (31/8) mendarat di Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab, sebuah peristiwa bersejarah terjadi. Tentu, istilah “bersejarah” ini bisa diperdebatkan: bagi siapa?.

Dari foto yang diambil oleh kantor berita Reuters, terlihat di luar jendela kokpit dipasang bendera tiga negara—Uni Emirat Arab, AS, dan Israel. Di atas jendela kokpit tertera tulisan: “damai” dalam tiga bahasa Arab, Inggris, dan Yahudi.

Pesawat yang membawa delegasi tingkat tinggi itu menandai babak baru hubungan Israel-Uni Emirat Arab. Pesawat Israel—untuk pertama kali terbang di langit Arab Saudi, setelah mendapat lampu hijau dari Riyadh—membawa penumpang penting, antara lain,  PM Israel Benjamin Netanyahu, menantu Presiden AS, Jared Kushner yang juga menjabat sebagai penasihat senior Trump dan Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O’Brien yang memimpin delegasi AS. Sedangkan tim Israel dipimpin Meir Ben-Shabbat, Penasihat Keamanan Nasional Israel.

Apa yang terjadi hari Senin kemarin adalah “buah” dari pendekatan antara Israel dan UEA yang sudah berlangsung lebih dari 25 tahun. Sebuah proses panjang yang dilakukan secara rahasia, yang kemudian menghasilkan apa yang disebut sebagai Abraham Accord (Kesepakatan Abraham).

Kesepakatan ini menambah perubahan-perubahan besar di kawasan Timur Tengah. Bulan Mei lalu, Mesir, Yunani, Perancis, Siprus, dan UEA mengecam keras meningkatnya agresivitas Turki di kawasan Laut Tengah. Israel, bulan Juli lalu, menandatangani kesepakatan pembangunan jalur pipa gas EastMed (sepanjang 1.900 kilometer bila sudah selesai semua) dengan Yunani dan Siprus. Jalur pipa ini akan mengalirkan gas alam dari Israel dan Siprus ke Eropa Barat dan Timur.

Masih pada bulan Juli, dua perusahaan pertahanan Israel menandatangani kesepakatan kerja dengan perusahaan yang bermarkas di UEA untuk mencari solusi melawan Covid-19. Kerja sama dalam berbagai bidang sudah lama, secara diam-diam dilakukan, oleh Israel dan UEA. Semua perubahan itu memberikan gambaran jelas adanya aliansi yang lebih dekat antara Israel, Mesir, Yunani, Siprus, dan UEA.  Dan, kini, dipertegas dengan Abraham Accord.

Kesepakatan Abraham

PM Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald Trump, dan Menlu UEA Abdullah bin Zayed menunjukkan naskah Kesepakatan Abraham setelah mereka tandatangani di South Lawn, Gedung Putih, AS, pada 15 September 2020 (Foto: Istimewa)

Pada tanggal 13 Agustus 2020, Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) diperantarai AS menandatangani kesepakatan akan dijalinnya hubungan diplomatik antara kedua negara. Kesepakatan itulah—dicapai setelah pertemuan antara Presiden AS Donald Trump, Putra Mahkota sekaligus Deputi Komandan Tertinggi UEA Pangeran  Mohammed Bin Zayed dan PM Israel Benjamin Netanyau—yang  disebut sebagai Abraham Accord.  Disebut Abraham Accord (Kesepakatan Abraham) karena ketiga pihak—Israel-AS-UEA—menurut mereka merepresentasikan  tiga agama Abrahamian yakni Yudaisme, Kristen, dan Islam.

Kesepakatan dicapai setelah Israel dan UEA bersetuju untuk membangun hubungan diplomatik secara normal termasuk hubungan bisnis, turisme, penerbangan langsung, kerja sama sains, dan pada waktunya, hubungan diplomasi secara penuh pada tingkat duta besar.  Sebaliknya, Israel menyatakan bahwa pihaknya membekukan klaim atas Lembah Yordan (menghentikan aneksasi) untuk sementara waktu, tetapi masih tetap ada dalam agendanya.

Bisa dikatakan, tercapainya Abraham Accord, merupakan capaian besar bagi Israel, tentu juga bagi AS, khususnya pemerintah Trump sebagai “mak jomblang.” Sejak  lahir (1948), Israel diisolasi oleh negara-negara di Timur Tengah. Semua memusuhi Israel. Tetapi, pada tahun 1979, Mesir  lalu Yordania (1994), dan Mauritania (1999, meski putus lagi 2009), menandatangani perjanjian damai dan menjalin hubungan.

Karena itu,  Kesepakatan Abraham ini dikatakan—terutama oleh AS—sebagai terobosan bersejarah. Bersejarah bagi Trump, karena ia bisa melakukan—membawa Israel dan UEA menjalin hubungan diplomatik—yang tidak bisa dilakukan oleh presiden pendahulunya. Ini sumbangan Trump bagi usaha perdamaian Timur Tengah. Capaian ini adalah modal penting bagi Trump untuk pemilu presiden November mendatang. Apakah capaian ini akan berdampak positif pada pemilu presiden di AS? Banyak hal yang menentukan hasil akhir pemilu mendatang.

Yang pasti, Trump menjadi presiden ketiga AS yang berhasil membawa Israel keluar dan “merobohkan benteng” Dunia Arab. Tahun 1979, Presiden Jimmy Carter, berhasil membawa PM Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Saddat menandatangani perjanjian damai di Camp David. Lalu, Tahun 1994, Presiden Bill Clinton berhasil mendamaikan Israel dan Yordania: PM Yitzhak Rabin dan Raja Hussein menandatangani perjanjian damai yang disebut Deklarasi Washington.

Pada tahun 1999, di zaman pemerintahan Bill Clinton, Mauritania mengakui Israel sebagai negara berdaulat. Presiden Mauritania Maaouya Ould Sid’Ahmed Taya pada tanggal 28 Oktober 1999, menandatangani kesepakatan dijalinnya hubungan diplomatik secara penuh dengan Israel. Perjanjian ditandatangani di Washington, dan dari pihak Israel penandatangan perjanjian adalah Menlu David Levy.

Baca Juga: Hubungan Diplomatik UEA-Israel, Tak Berarti Tinggalkan Palestina

Pangeran Mohammed bin Zayed akan tercatat sebagai berhasil menghentikan ancaman aneksasi sebagian Tepi Barat oleh Israel sebagai imbalan hubungan diplomatik itu. Meski Israel memilih menggunakan kata “suspend” (menangguhkan) bukan menghentikan. Sementara peristiwa ini bersejarah bagi Netanyahu, karena ia bisa menancapkan tonggak sejarah baru dalam hubungan dengan dunia Arab.

Secara simbolik Abraham Accord mengakhiri sehuah era dan paradigma “Israel versus negara-negara Arab” yang telah mewarnai hubungan internasional di Timur Tengah selama ini, bahkan dunia. 

Selama ini, menurut National Review (14/8/2020) Israel diam-diam mengupayakan hubungan tingkat rendah dengan Maroko, Tunisia, dan negara-negara Teluk lainnya seperti Oman, Qatar, Bahrain, dan U.A.E sebelum bersepakat menjalin hubungan diplomatik. Israel dan Qatar sering melakukan kontak untuk meredakan ketegangan di Gaza yang didanai Qatar, yang dikelola Hamas.

Dengan demikian, Abraham Accord untuk saat ini lebih dirasakan manfaatnya oleh ketiga negara. Sementara Palestina merasa ditinggalkan oleh negara-negara Arab. Yakni bukan hanya oleh UEA tetapi juga negara-negara Arab lainnya yang mendukung langkah UEA tersebut, seperti Mesir, Yordania, Bahrain, dan Oman.

Nasib Palestina

Orang-orang Palestina di Ramallah, Tepi Barat, demonstrasi menentang peresmian hubungan diplomatik anara Israel dan Uni Emirat Arab, 15 September 2020. (Foto: Istimewa dari AFP)

Apakah Abraham Accord akan memuluskan jalan bagi terselesainya masalah Palestina dan terwujudnya solusi dua negara? Ini pertanyaan kuncinya. UEA memang menyatakan tetap mendukung perjuangan rakyat Palestina mewujudkan cita-cita mereka menderikan negara merdeka dan berdaulat; terwujudnya solusi dua negara.

Namun, sejarah mencatat bahwa sejak Mesir berdamai dengan Israel, disusul Yordania, masalah Palestina tidak kunjung selesai bahkan semakin ruwet. Sejumlah perundingan perdamaian dilakukan, juga tidak memberikan hasil. Bagaimanapun, masing-masing negara memiliki kepentingan nasional yang harus diutamakan, sebelum “mengurusi” negara lain.

Kepentingan nasional, menurut Brookings Institution, adalah “Apa yang dirasa suatu bangsa diperlukan untuk keamanan dan kesejahteraannya … Kepentingan nasional mencerminkan tujuan umum dan berkelanjutan yang menjadi tujuan suatu bangsa.” Dalam kepentingan nasional itu, Abraham Accord lahir.

Dengan terbangunnya hubungan resmi antara Israel dan UEA, maka kedua negara akan saling melengkapi. Kedua negara memiliki PDB per kapita tertinggi di Timur Tengah (menurut data Bank Dunia tahun 2019, Israel 43.641,4 dollar AS, dan UEA, 43.103,3 dollar AS). Israel juga jagoan dalam teknologi pertahanan, misalnya, sistem pertahanan udara Iron Dome; sementara UEA adalah pusat perdagangan global, yang membutuhkan perlindungan. Bila mereka bekerja sama, bisa mejadi kekuatan regional yang sangat perlu diperhitungkan.

Berangkat dari kenyataan itu, menurut Omar H Rahman (Brookings Doha Center), terjalinnya hubungan diplomatik kedua negara didasari oleh tiga pilar. Pilar pertama adalah Iran dan geopolitik Timur Tengah setelah 2011. Poros Israel, Arab Saudi, dan UEA menghadapi musuh yang sama di kawasan yakni Iran. Bagi Abu Dhabi, intervensi yang dilakukan Teheran di sejumlah negara di kawasan—Bahrain, Irak, Lebanon,  Suriah, dan Yaman—adalah acaman yang sangat signifikan baginya sebagai negara kecil.

Baca Juga: Joseph Cohen, Tokoh di Balik Normalisasi Hubungan Israel-UEA

Apalagi kedua negara hanya dipisahkan Selat Hormus selebar 70 kilometer yang tidak berarti bagi peluru kendali Iran. Karena itu, sebagai negara kecil, UEA melihat Israel yang juga kecil sebagai model bagaimana menghadapi ancaman keamanan.

Pilar kedua, adalah meningkatnya kebutuhan negara-negara Teluk akan platform keamanan dan pengawasan yang canggih untuk mengawasi penduduk mereka sendiri setelah pemberontakan regional. Keahlian Israel dalam hal ini, yang diasah selama 51 tahun pendudukannya di wilayah Palestina, sangatlah canggih.

Dan, pilar ketiga selama beberapa dekade negara-negara Teluk memelihara hubungan dekat dengan Washington berdasarkan kepentingan bersama untuk menjaga keamanan dan stabilitas di Teluk Persia, dan aliran bebas minyak ke pasar global. Namun ikatan tersebut selalu dibatasi oleh prinsip-prinsip transaksionalisme mereka dan penekanan pada membangun hubungan pribadi dengan orang-orang berkuasa di Washington. Selain itu, negara-negara Teluk — dan negara-negara Arab pada umumnya — selalu dihalangi oleh ketidakpercayaan para pendukung setia Israel di Washington, yang sangat berpengaruh pada kebijakan Timur Tengah Amerika.

Karena itu, dengan menjalin hubungan dengan Israel langsung, maka persoalan tersebut dapat diatasi. Ini semua adalah kepentingan nasional UEA yang menjadi dasar dibangunnya hubungan diplomatik dengan Israel.

Dengan demikian, maka pertimbangan kepentingan nasional lebih mengemuka dibandingkan untuk membela kepentingan Palestina. Persepsi ancaman dari Iran lebih jelas di depan mata dibanding perjuangan rakyat Palestina dalam mewujudkan sebuah negara merdeka dan berdaulat.

Sementara, Israel sekarang merasakan bahwa musuh terbesar mereka bukan lagi negara-negara Arab, melainkan Iran. Apalagi, Iran yang memiliki rudal jarak jauh dan mengembangkan program nuklir mendukung kelompok Hezbollah di Lebanon, juga pemerintah Suriah, dan pemberontak Houthi—yang memiliki slogan “mampuslah Israel, kutuk Yahudi—di Yaman. Semua itu ancaman bagi Israel. Maka membangun sebuah aliansi atau poros Jerusalem—Abu Dhabi—Riyadh adalah sangat penting.

Lalu, bagaimana nasib bangsa Palestina? Untuk sementara—entah sampai kapan—mereka lupakan. Arab Saudi dan UEA lebih peduli pada aspirasi regional Iran dan “neo-Ottoman” Turki ketimbang pada memerangi pendudukan “Israel atas Palestina.” Langkah UEA itu juga memberi sinyal kepada Palestina bahwa orang lain tidak akan menunggu mereka untuk membuat perdamaian dengan Israel.  

****