Di mata mereka Tiongkok adalah negara otoriter. Miskin. Ketinggalan jauh di belakang. Ndeso. Kampungan. Belum punya gambaran Tiongkok akan semaju sekarang.
Waktu saya transit di Hongkong beritanya sudah hangat: akan ada demo besar. Tanggal 9 Juni 2019.
Waktu saya mendarat di Seattle, Amerika, saya baca: 1 juta orang turun ke jalan. Di depan parlemen Hongkong. Koran-koran Amerika menjadikan foto demo itu di halaman pertama. Terasa sekali besarnya.
Waktu saya tiba di Portland, Oregon, saya baca: demo berkembang menjadi ricuh.
Waktu saya transit di Denver saya dapat telepon dari teman di Wan Chai: Hongkong sudah normal seperti biasa. Sibuk. Dagang.
Waktu saya tiba di Hays, pedalaman Kansas, saya baca: Chief Executive Hongkong akan tetap melanjutkan proposal yang memicu demo itu.
Proposal itu tentang apa sih?
Kok bisa bikin 1.030.000 orang turun ke jalan?
Adakah Ahok di sana?
Ternyata itu proposal tentang ekstradisi.
Dalam proposal itu disebutkan "Hongkong boleh menyerahkan buron ke negara lain yang mengejar buron tersebut". Boleh melakukan ekstradisi.
Penentang proposal curiga: pasti proposal itu didalangi Tiongkok. Meski disebutkan 'negara mana saja' tapi opini publik di Hongkong bilang: maksudnya Tiongkok.
Sebetulnya Malaysia juga berkepentingan. Jho Low, anak muda ambisius dari Penang itu pernah lama menyembunyikan diri di Hongkong. Badannya, uangnya maupun kekayaannya.
Malaysia mengalami kesulitan menangkap Jho Low. Yang dituduh dalang segala dalang. Dalam skandal korupsi terbesar di dunia. Yang mengakibatkan Perdana Menteri Najib Razak kalah pemilu tahun lalu. Dan kini sedang diadili di Malaysia. Sedang dalangnya entah ngumpet di mana. Malaysia tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Hongkong.
Indonesia mestinya juga berkepentingan dengan proposal itu.
Yang paling ditakutkan pendemo sebenarnya bukan proposal itu sendiri. Melainkan Tiongkok itu.
Takut mereka, kalau proposal ini lolos akan muncul proposal-proposal lain. Yang kelak bisa mengakibatkan Hongkong kehilangan kemandiriannya.
Penduduk Hongkong memang sangat bangga dengan sistem hukumnya. Tidak bisa diintervensi. Sangat tegak lurus. Peninggalan Inggris.
Hongkong juga bangga pada kebebasan persnya. Bisa nulis apa saja. Saya sering ke Press Club Hongkong. Yang bisa mengundang tokoh oposisi. Bicara apa saja di situ.
Hongkong juga bangga pada KPK-mereka. Yang berhasil membuat Hongkong menjadi salah satu negara terbersih di dunia.
Saya pernah menerbitkan buku tentang KPK Hongkong ini. Judulnya 'Peta Jalan'. Yakni bagaimana Hongkong bisa berubah total. Dari negeri terkorup di dunia. Menjadi salah satu terbersih di dunia.
Baca Juga: 90 Tahun Li Ka-shing, Akhir Era Gangster Hongkong
Hongkong begitu buruk sebelum ada KPK. Saking buruknya perawat pun harus disogok. Saat itu. Untuk mau menyuntik pasien. Padahal jarum suntik sudah ada di tangannya.
Hongkong juga sangat bangga akan kebebasan hukum dagangnya. Kebebasan keuangannya. Pasar modalnya. Yang mampu menjadikan Hongkong sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Pun sampai sekarang. Singapura belum mampu mengalahkannya.
Dan orang Hongkong sangat bangga pada bahasa Kanton mereka. Mereka menganggap bahasa Mandarin itu bahasa orang dari kampung. Waktu itu. Sekarang orang Hongkong semangat belajar berbahasa Mandarin. Agar dapat bisnis.
Waktu Hongkong dikembalikan ke Tiongkok, banyak yang was-was. Itu terjadi tahun 1997. Saat masa sewa 100 tahun Inggris habis. Harus dikembalikan ke pemiliknya: Tiongkok.
Saat itu warga Hongkong gundah gulana. Jangan-jangan semua kebanggaan itu akan hilang.
Di mata mereka Tiongkok adalah negara otoriter. Miskin. Ketinggalan jauh di belakang. Ndeso. Kampungan. Belum punya gambaran Tiongkok akan semaju sekarang. Mereka banyak yang lari ke Inggris. Lebih banyak lagi yang ke Kanada. Melepaskan kewarganegaraan Hongkong mereka.
Carrie Lam, yang sekarang menjabat Chief Executive Hongkong, waktu itu justru memilih melepaskan kewarganegaraan Inggrisnya. la tetap bangga pada Hongkongnya. Percaya pada masa depannya.
Carrie Lam (林鄭月娥) memang lahir di Wan Chai. Besar di situ. Wan Chai adalah satu distrik di pulau Hongkong yang menghadap ke selat Kowloon.
Setiap kali ke Hongkong saya menginap di daerah Wan Chai. Ramai sekali.
Tapi suami Carrie Lam memilih tetap menjadi warga Inggris. Demikian juga anak pertamanya: Jeremy. Yang sekarang bekerja di perusahaan telepon Tiongkok, Xiaomi.
Sang suami adalah ahli matematika. Menjadi mahasiswa kesayangan 'guru aljabar dunia' John Frank Adam. Almarhum. Penemu teori 'homotopi' dalam ilmu aljabar.
Saya perlukan membaca resume teori homotopy itu. Dua kali. Tapi tetap saja tidak mengerti.
Sedang anak keduanya, Joshua, ikut warga negara ibunya.
Carrie Lam adalah wanita pertama yang menjadi kepala pemerintahan di Hongkong. Umurnya 60 tahun. Alumni Hongkong University. Bidang studinya sosiologi. Lalu kuliah di Cambrige, Inggris. Ketemu dengan mahasiswa pintar, yang kelak jadi suaminya itu.
Setiap wanita hebat selalu ada laki-laki di belakangnya.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews