Tantangan terbesar Presiden Biden nantinya adalah bagaimana menyatukan kembali rakyat Amerika yang terbelah.
Simbol demokrasi Amerika jebol. Bukan karena serbuan pasukan asing, tapi oleh sebagian rakyatnya sendiri. Mereka tidak menerima hasil pilpres yang lalu. Mereka menganggap bahwa integritas pilpres telah dicurangi. Seharusnya Trump yang menang, bukan Biden.
Sebagai champion of democracy, kejadian ini jelas mempermalukan Amerika di muka dunia. Seluruh dunia menontonnya, live. Amerika bagaikan negara Dunia Ketiga yang sedang belajar berdemokrasi. Yang politisinya mau menang dengan menghalalkan segala cara, yang tidak mau menerima kekalahan, lalu ngamuk.
Sejauh ini, satu nyawa sudah melayang. Massa menyerbu ruang sidang utama. Kantor Nancy Pelocy, Speaker of the House diduduki, dan para senator dan anggota Kongres diungsikan.
Kejadian ini memang diarahkan untuk mendesak Senat, yang mayoritasnya dari Partai Republik dan diketuai secara ex-officio oleh Wapres Pence, untuk tidak mengesahkan hasil penghitungan electoral college yang dilakukan bulan Desember yang lalu. Perhitungan electoral college ini dilakukan berdasarkan hasil pilpres di masing-masing negara bagian.
Presiden Trump dengan tim pengacaranya telah mengajukan tuntutan hukum di beberapa negara bagian atas berbagai "kecurangan" yang terjadi. Tapi tuntutan hukum itu ditolak oleh Mahkamah Agung negara bagian dan juga oleh Mahkamah Agung AS. Lalu, Trump kemudian "mengarahkan" pendukungnya untuk melakukan "protes" dan "mendesak" Senat untuk "mengubah" hasil pemilu sehingga dia tetap menjadi Presiden.
Persoalannya adalah, di Amerika, pemilu adalah kewenangan negara bagian, bukan pemerintah pusat. Perhitungan final ada di komisi pemilihan umum negara bagian. Kongres dan Senat hanya memberikan pengesahan atas perhitungan electoral college yang sudah dilakukan sebelumnya. Setelah itu, tanggal 20 Januari nanti, presiden (baru) akan dilantik.
Menarik untuk melihat apakah Presiden Trump akan hadir dalam pelantikan Presiden Biden, yang merupakan tradisi politik AS. Atau juga, apakah dia akan berusaha bertahan di Gedung Putih.
Politik AS memang sedang terbelah, antara konservatif dan liberal. Persoalannya adalah media Amerika pun terbelah mengikuti dua pasar besar ini. Masing-masing kelompok menonton atau membaca media yang sesuai dengan kecenderungan politiknya.
Kaum konservatif menonton Fox News, dan kaum liberal menonton CNN. Masing-masing kaum juga mengembangkan sosmednya sendiri-sendiri. Walhasil, masing-masing kaum berada dalam gelembung dengan echo chamber-nya masing-masing.
Post truth politics memperparah keterbelahan ini, karena masing-masing kaum berpegang pada kebenarannya sendiri. Kebenaran yang nonpartisan menjadi langka. Dan inilah yang digunakan oleh Trump untuk mengobarkan semangat pendukungnya yang konservatif, bahkan memobilisasi mereka.
Tantangan terbesar Presiden Biden nantinya adalah bagaimana menyatukan kembali rakyat Amerika yang terbelah. Bagaimana menjadi Presiden bagi seluruh rakyat AS, dan bukan hanya menjadi Presiden bagi pendukungnya semata. Ironisnya, ini juga tantangan utama bagi para pemimpin Dunia Ketiga.
Andi Mallarangeng
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews