Tari Jaipong Politik Luar Negeri Indonesia

Kondisi serupa, kini terulang kembali. Sejarah memang selalu berulang dan berputar. Yang berganti hanyalah tokohnya.

Minggu, 6 September 2020 | 15:26 WIB
0
157
Tari Jaipong Politik Luar Negeri Indonesia
Armada laut AS di Laut China Selatan (Foto: matapolitik.com)

Amerika Serikat dan Tiongkok, keduanya mitra strategis perekonomian Indonesia. Mitra dagang yang sangat dibutuhkan. Namun, kini keduanya berseteru hebat di kawasan Laut Cina Selatan (LCS).

Kedua negara super power itu mempertontonkan alat utama sistem senjata (alutsista) paling canggih. Termasuk senjata pemusnah massal. Ketegangan tingkat tinggi ini bisa menjadi pemantik Perang Dunia Ketiga.

Namun, keduanya tidak akan gegabah meluncurkan rudal balistik ke arah rival utamanya. Sebab jika terjadi akan sangat merugikan kedua negara, utamanya dari sisi pertahanan dan ekonomi. Mereka hanya pamer dada. Belum pamer paha. Apalagi pamer yang paling vital. Seperti sinematografi elektronik (sinetron), bagai opra sabun. Ulur-ulur waktu sampai satu pihak lengah.

Bagaimana posisi Indonesia? Jika dua gajah berseteru, pelanduk terjepit di tengah. Itulah posisi Indonesia. Jangan coba-coba berpihak kepada salah satu. Pasti akan diserang oleh pihak lain. Secara kekuatan militer, kita masih di urutan kisaran dua digit. Jauh tertinggal dan tak akan bisa menandingi keduanya.

Di sinilah, kita perlu kembali menyimak pidato Bung Hatta (Mohammad Hatta) pada tahun 1948. Ia mengibaratkan "mendayung di antara dua karang” untuk menjalankan politik luar negeri Indonesia.

Apa maksudnya? Bukan sekadar menjadikan Indonesia memilih jalan tengah antar dua blok yang berpengaruh (Komunis dan Liberal). Melainkan politik internasional Indonesia harus didasarkan tanpa sentimen dan lebih memperhatikan aspek realitas dan kepentingan negara.

Pastilah dalam pemerintahan dan penduduk Indonesia, ada yang merasa nyaman banget jika kita berlindung di kandang panda di bawah pohon bambu yang rindang. Ada pula yang merasa lebih baik di rumah koboi yang bebas liberal, bisa letakkan kaki di meja.

Saat itu Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948, berpidato tentang politik luar negeri bebas aktif.

Komunis dan liberal sebagai pemenang Perang Dunia Kedua, berupaya mempengaruhi agar negara-negara lain ikut dalam gerbongnya. Tapi Indonesia menolak ikut blok barat (liberal yang dipimpin Amerika Serikat) dan blok timur (komunis yang dipimpin Uni Soviet). Indonesia memilih membentuk Gerakan Non Blok.

Kondisi serupa, kini terulang kembali. Sejarah memang selalu berulang dan berputar. Yang berganti hanyalah tokohnya.

Jadi, Indonesia mesti pandai menari di antara Naga dan Elang yang sedang berseteru. Jangan ikut gendang mereka. Kita melenggak-lenggok ikuti gendang jaipong sendiri saja.

Tarik, Mang....

***