Jumatan di Negeri Minoritas Muslim

Masalah Jumatan di negeri minoritas muslim memang tidak selalu sederhana.

Sabtu, 1 Mei 2021 | 07:07 WIB
0
171
Jumatan di Negeri Minoritas Muslim
Shalat Jum'at di Norwegia (Foto: dok. Pribadi)

Meski termasuk kota kecil berpenduduk 34.000 jiwa, Haugesund beruntung karena punya dua masjid. Ya, meski kalau dibandingkan masjid-masjid di Indonesia atau negara muslim lainnya, masjid di kota kami ini lebih tepat disebut Musala atau langgar.

Untuk Masjid Falah-ul-Muslimin yang ada di foto ini, daya tampung maksimal 100 jamaah di masa sebelum pandemi. Masjid ini didirikan oleh pengungsi asal Pakistan di awal 1980-an.

Sekarang jamaah masjid ini beragam latar belakang budaya dan mazhabnya. Mulai muslim dari Pakistan, Afghanistan, Uighur, Irak, Turki, Palestina, Suriah, Somalia, Sudan, hingga jamaah asal Indonesia yang jumlahnya tetap paling sedikit.

Ada satu lagi masjid yang ukurannya lebih kecil dan tempatnya nyempil di gang. Namanya Masjid el-Salam, hasil patungan komunitas Arab. Kapasitas maksimalnya sekitar setengah dari Falah-ul-Muslimin.

Sebelum pandemi, kedua masjid ini selalu ramai dan hidup, terutama ketika Jumatan, terlebih saat Ramadan. Namun seperti tempat-tempat lain di seluruh dunia, kedua masjid ini sempat ditutup hingga cukup lama. 

Ketika diterapkan lockdown nasional kedua pada bulan lalu, masjid ditutup lagi setelah sebelumnya sempat melaksanakan ibadah salat berjamaah dengan peserta terbatas.

Sejak pekan lalu, alhamdulillah lockdown mulai dilonggarkan. Salat Jumat kembali diadakan, tetap dengan jamaah terbatas.

Ketika kapasitas maksimal yang dibolehkan (20 orang) sudah terpenuhi, maka pintu masjid akan ditutup. Jamaah dipersilakan ke masjid lain, atau bersabar sampai jadwal Jumatan pekan depan.

Fatih dan ayahnya sempat tidak dapat tempat di Falah-ul-Muslimin, tapi alhamdulillah masih bisa ditampung di el-Salam, meski selama dan setelah salat mereka khawatir kena denda karena berkerumun.

Menurut cerita Fatih, saat itu masjid penuh sesak, tapi jamaah terus datang. Masjid tak kuasa menolak.

Alhamdulillah semua aman. 

Masalah Jumatan di negeri minoritas muslim memang tidak selalu sederhana. 

Soal azan jangan ditanya. Ada dan terdengar hanya di dalam masjid. Beruntunglah beberapa negara Barat lain sekarang sudah mengizinkan suara azan diperdengarkan sampai ke luar masjid.

Seringkali lokasi masjid jauh dari pemukiman. Jarak rumah kami ke masjid terdekat sekitar 3 km. Alhamdulillah masih terjangkau dengan kendaraan umum, atau sepeda untuk kasus Fatih yang harus bolak-balik masjid - sekolah di hari Jumat di musim dingin.

Kami masih beruntung. Norwegia termasuk negara Barat yang sangat toleran dalam hal kebebasan beribadah bagi umat agama apapun. 

Komunitas agama dianggap sebagai organisasi, yang bila memenuhi persyaratan (tempat ibadah, jumlah jamaah, dan AD/ART), maka akan mendapatkan funding dari pemerintah. Perlakuannya sama, tanpa pilih kasih, karena memang sudah diatur dalam UU.

Yang agak tricky adalah mendapatkan izin salat Jumat di tengah jam sekolah/kerja. Tidak semudah itu. 

Pak suami misalnya, harus bisa mengatur jadwal kerja di kantornya, agar tiap Jumat dia bisa pulang lebih cepat untuk Jumatan. Kantornya berlokasi agak jauh di luar kota Haugesund. Maka ketika dia Jumatan, setelahnya nggak akan sempat kembali ke kantor lagi. Jadi jam kerjanya dia tambah sendiri di rumah sebagai pengganti.

Untungnya sistem kerja di kantornya memungkinkan seperti ini. Karena tidak semua pekerja bisa fleksibel mengatur jam kerja. Mereka yang bekerja di supermarket / retail, sektor kesehatan, sebagian perkantoran, atau supir bus misalnya, seringkali tidak mungkin dapat izin untuk Jumatan.

Anak sekolahpun demikian. Waktu SD dulu, kami pernah memintakan izin bagi Fatih supaya bisa izin Jumatan, dan setelahnya kembali ke sekolah. Waktu itu pihak sekolah tidak bisa memutuskan sendiri. Akhirnya permohonan dibawa ke kotamadya, yang kemudian dikembalikan pada kebijakan sekolah (walikelas).

Sayangnya waktu itu ibu walikelas Fatih tidak mengizinkan Fatih izin keluar setiap Jumat. Karena bisa jadi preseden dan tidak fair buat teman-teman lainnya. 

Untungnya ketika itu Fatih belum baligh. Jadi belum kena kewajiban salat Jumat.

Di SMP, alhamdulillah walikelas Fatih lebih toleran. Izin bisa diberikan, tapi tidak setiap Jumat. Akhirnya kami sepakat Fatih Jumatan tiap dua minggu. Alhamdulillah, masih lebih baik daripada tidak bisa sama sekali.

Syukurnya mumet soal Jumatan di jam sekolah ini hanya terjadi di musim dingin (November - Februari). 

Konsekuensi negara empat musim, maka jam salat, termasuk salat Jumat, juga bergeser mengikuti pergerakan matahari.

Di musim dingin, Jumatan di masjid kami dimulai jam 12:30. Masih jam sekolah. 

Di musim semi dan panas, waktu Jumatan bergeser hingga ke jam 15:30. Ini jam aman, karena sekolah selesai jam 14:00. Jadi Fatih bisa Jumatan setelah pulang sekolah. Nggak perlu terburu-buru. Setelah Jumatan bisa leyeh-leyeh.

Begitulah. Di tengah keterbatasan dan kesulitan, Allah pasti menyediakan solusi dan kemudahan. Semoga semua pria muslim di manapun, termasuk di negeri minoritas muslim, atau di negeri mayoritas muslim yang terjajah (Palestina, Uighur, dll), selalu diberi kemudahan dan kemampuan untuk menjalankan kewajiban salat Jumat.

Dan bagi yang dikaruniai kemudahan, manfaatkan sebaik-baiknya. Don't take everything for granted. Karena sesuatu yang kita anggap biasa saja di tanah air, bisa jadi perjuangan bagi saudara muslim di negeri lain.

***

#CeritaRamadhanDiNorwegia2021_18

#JumahMubarrak