Lewat CHAZ masyarakat Amerika memberi pelajaran berharga ke dunia, termasuk dalam hal berdemokrasi. Sikap Presiden Trump yang dikecam luas itulah cermin sikap seorang diktator.
Maka lahirlah wilayah baru ini. Tanpa pemerintahan. Di Amerika Serikat. Tepatnya di kota Seattle, di negara bagian Washington.
Wilayah baru itu diproklamasikan tanggal 8 Juni lalu.
Yang seperti ini hanya bisa terjadi di Amerika. Yang negara itu didirikan oleh manusia-manusia merdeka. Pribadinya merdeka.
Nama wilayah baru itu Capitol Hill Autonomous Zone. Disingkat CHAZ. Luasnya 6 blok. Posisi wilayah itu: di pusat kota Seattle --kota terbesar di negara bagian Washington.
Sejak itu 6 blok ini tidak lagi menjadi bagian kota Seattle. Juga tidak di bawah negara bagian Washington. Tapi tetap Amerika Serikat.
Proklamasi itu dilakukan oleh warga yang tinggal di 6 blok tersebut. Warga di situ menyatakan bisa mengurus diri sendiri. Tanpa pemerintah perlu ikut mengatur.
Mereka tidak memerlukan polisi, lurah, camat, pegawai negeri, dan seterusnya. Instansi-instansi seperti itu dinilai hanya akan merepotkan warga. Juga hanya akan membuat warga tidak merdeka.
Mereka akan dan merasa bisa mengatur diri sendiri. Kalau pun mereka perlu listrik atau air, itu bisa lakukan sendiri-sendiri. Lewat transaksi komersial biasa. Sisi lain yang hebat dari proklamasi itu: masyarakat CHAZ akan mengatur kehidupan warga di 6 blok itu berdasarkan demokrasi masyawarah mufakat di antara mereka sendiri.
Menyaksikan deklarasi seperti itu saya pun berdebar-debar: jangan-jangan sebentar lagi mereka akan punya Pancasila.
Lelucon?
Sama sekali bukan. Ini serius.Yang seperti itu sudah banyak di Amerika. Bahkan banyak sekali. Saya pernah menuliskannya di DI’s Way. Sudah agak lama. Ketika saya keliling Amerika bersama dua teman saya ini: John Mohn yang American dan Robert Lai yang Singaporean.
Di sana ada lebih 1.000 wilayah kecil seperti itu. Yang tanpa pemerintahan. Yang kelompok masyarakatnya merasa mampu mengurus diri sendiri.
Dalam sistem kenegaraan di Amerika itu disebut ”Unincorporated Community”.
Misalnya saat kami berkendara dari Norfolk di Virginia ke Washington DC. Lewat Delaware. Melalui terowongan bawah laut yang amat panjang.
Tiba-tiba John melihat ada papan nama ”Unincorporated Community” di dekat sebuah perumahan.
”Itu yang kita diskusikan tadi,” ujar John --sambil menunjuk papan nama itu.
Sebetulnya tadi itu bukan diskusi. Lebih pada kuliah privat --tentang sistem pemerintahan dan politik di Amerika. Sepanjang jalan --lima jam sebelum makan dan lima jam setelah makan-- kami memang tidak pernah kehabisan bahan diskusi.
Begitu juga keesokan harinya. Lusanya. Dan lusanya lagi.
Begitu John menunjuk papan nama itu saya pun menghentikan mobil. Kebetulan saya yang lagi pegang kemudi. Kebetulan lagi ada pompa bensin di dekat situ.
Perumahan itu tidak luas. Sekitar 20 rumah. Besar-besar.
Sebenarnya tidak tepat juga disebut perumahan. Jarak antar rumah jauh-jauh. Masing-masing rumah dikelilingi pohon-pohon besar yang rindang. Dan semak-semak.
Kampung seperti itu tidak tercakup di administrasi desa di situ. Tidak juga di bawah pemda mana pun.
Sepengetahuan saya wilayah Unincorporated Community seperti itu semacam peninggalan lama. Wilayah seperti itu sudah ada sebelum ada pemerintahan kota. Bahkan sebelum ada negara bagian.
Sewaktu pemerintahan kota/kabupaten dibentuk mereka tidak mau gabung. Pilih tetap independen.
Tapi rasanya baru di Seattle ini. Yang di era modern seperti ini masih ada yang mau mendeklarasikan independen. Istilahnya pun tidak mau sama. Tidak Unincorporated Community, tapi CHAZ.
Sama saja.
Wali kota Seattle tenang-tenang saja. Tidak ada nada jengkel --apalagi sampai nangis-nangis. Tidak menentang juga tidak menyetujui.
Sang wali kota menyadari sepenuhnya: hak tertinggi adalah milik warga.
Gubernur Washington juga tidak ambil pusing. Kemerdekaan adalah hak segala warga.
Yang kebakaran jenggot justru --siapa lagi kalau bukan-- Presiden Donald Trump.
Presiden langsung mengeluarkan perintah. ”Ambil alih. Sekarang juga. Segera," unggah Trump di Twitter-nya.
Pernyataan keras itu ditujukan kepada Wali Kota Seattle dan Gubernur Washington. ”Kalau kalian tidak melakukan, saya yang akan melakukan,” tulis Trump.
Yang diperintah tenang-tenang saja. Tidak sedikit pun acuh.
Ketika Trump kian murka --menganggap itu terorisme lokal-- barulah wali kota Seattle bereaksi. Juga keras. Terhadap Presiden Trump.
Inilah respons sang wali kota: Baiknya Presiden Trump kembali masuk bunker, biar kami tenang!
Itu sekaligus ejekan dari sang wali kota untuk presidennya. Trump memang diberitakan mengungsi ke bunker --persembunyian di bawah Gedung Putih-- ketika demo besar mulai mendekati rumah presiden awal Juni lalu.
Trump sendiri berdalih itu bukan untuk mengungsi. Apalagi takut. Kepergiannya ke bawah tanah itu untuk inspeksi.
Mungkin Trump beranggapan deklarasi wilayah CHAZ itu bagian dari protes pada kepresidenannya. Trump memang sangat sensi belakangan ini. Atau sejak dulu.
Jangan-jangan Trump juga tidak tahu bahwa di Amerika Unincorporated Community seperti itu diperbolehkan.
”Sensi didemo” itu wajar. Demo anti rasialis itu terjadi di mana-mana. Termasuk di Seattle. Akibat terbunuhnya George Floyd di Minneapolis itu.
Itulah gelombang demo terbesar sejak tahun 1960. Terjadi di zaman Trump.
Lewat CHAZ itu masyarakat Amerika terus memberi pelajaran berharga ke dunia. Termasuk dalam hal berdemokrasi. Justru sikap Presiden Trump yang dikecam sangat luas: itulah cermin sikap seorang diktator.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews